Minggu, 25 Desember 2011

Ekonomi Indonesia 2012



EKONOMI INDONESIA 2012 :
Dibayang-bayangi krisis ekonomi dunia dan kenaikan harga BBM

Dr. Harry Azhar Azis
Wakil Ketua Komisi XI Keuangan dan Perbankan DPR RI (2010-2014), Ketua Badan Anggaran DPR RI (2009-2010), Wakil Ketua Panitia Anggaran (2008-2009), Anggota FPG DPR Dapil Kepulauan Riau, PhD Oklahoma State University, Amerika Serikat (2000), lahir di Tanjungpinang (1956).



Pendahuluan

Menjelang tahun 2012, ekonomi Indonesia dihadapkan situasi global tidak menentu.  Krisis keuangan global berlanjut.  Krisis Yunani, Italia, Hongaria, termasuk Amerika Serikat menjadi penyebabnya.  Pertumbuhan ekonomi dunia melambat.  Tahun 2010 mencapai 5,1%, 2011 diperkirakan menurun ke 4%.  Perdagangan dunia melambat, pertumbuhan hanya 7,5%, lebih rendah dibanding 2010 sebesar 12,8%.    Perlambatan  di 2012 diperkirakan perekonomian dunia 4% dimana pertumbuhan ekonomi negara maju 1,9 %.  Volume perdagangan turun drastis  menjadi 5,8 % pada 2012.

Keyakinan fundamental ekonomi Indonesia 2012 masih kokoh dipertanyakan.    Pertumbuhan ekonomi diprediksi 6,7% atau sedikit naik dibanding 2011 sebesar 6,5%.   Ini cukup bagus sejak krisis ekonomi 1997 dimana pertumbuhan ekonomi minus 13,1%.  Daya beli masyarakat terjaga dan masih ada “gain”  dari volume perdagangan dunia.  Peringkat utang Indonesia dari BBB- menjadi BB+ versi The Fitch's Asia-Pacific Sovereign Ratings. Kenaikan peringkat ini mencerminkan pertumbuhan ekonomi yang kuat, rasio utang publik rendah dan menurun, likuiditas eksternal menguat, dan kerangka kebijakan makro yang hati-hati[1]

Inflasi rendah 5,3%, atau  lebih rendah dibanding tahun lalu 6,96% %. Indikator lain stabil.  Tahun 2012, suku bunga SPN ditetapkan 6,0% dan nilai tukar rupiah Rp. 8.800/US$1. Target penurunan kemiskinan 10,5-11,5%, pengangguran  6,4-6,6% dan setiap 1 % pertumbuhan ekonomi menyerap 450 ribu tenaga kerja.

Tulisan ini mengangkat isu penting 2012, krisis global dan kenaikan harga BBM agar pemerintah menjadikan early warning system sehingga kebijakan efektif.

Krisis Global dan Efeknya

Secara teori, efek krisis keuangan global dapat terjadi di Indonesia dalam dua jalur: jalur pasar keuangan dan perdagangan.  Di pasar keuangan melalui  capital inflow maupun outflow yang volatilitasnya tinggi.  Pada capital inflow karena tekanan pasar keuangan negara maju yang beralih ke negara berkembang yang ekonominya tumbuh baik.  Akibatnya,  permintaan terhadap rupiah sangat tinggi sehingga rupiah terapresiasi terhadap US$.  Pada capital outflow terjadi karena sentimen negatif di pasar keuangan dimana permintaan cash US$ yang tinggi, rupiah terdepresiasi.  Untuk menjaga tetap stabil, yield di pasar obligasi pemerintah akan semakin tinggi.

Bank Indonesia (2011) mencatat selama November 2011, terjadi penarikan modal asing (net-outflows) dari SUN (Rp 0,21T), saham  (Rp 2,23T), dan SBI (Rp 6,2T). Outflows dari SBI karena jatuh tempo. Penarikan modal portofolio menyebabkan pembelian devisa oleh pihak asing mencapai net outflows USD 1,6M, sehingga rupiah terdepresiasi 2,12%.  Juga terjadi di pasar saham, selama November 2011, net-beli asing mencapai  Rp  2,7T, meski demikian IHSG selama Nov cenderung stabil dengan koreksi 0,9%.  Sementara di pasar Surat Utang Negara selama November 2011,  net jual asing mencapai Rp 0,2T dengan tingkat yield SUN rata-rata stabil dengan penurunan 2 bps (Alamsyah, 2011).

Efek krisis global  di jalur perdagangan menyebabkan permintaan ekspor turun dan terjadi pergeseran pasar ekspor.  Total negara maju mencapai 34,3% (Semester I-2011).  Jumlah tersebut menurun dibanding 2010 mencapai 34,6%. Jika dilihat dari negara tujuan ekspor,  Eropa menempati 10,4% dari pasar produk Indonesia, kawasan Asia mencapai kurang lebih 62%. Implikasi ini berakibat peta pasar ekspor Indonesia berubah meskipun sangat tergantung krisis global. Pasar kawasan Asia akan menjadi tulang punggung ekspor negara ini, termasuk China menjadi tujuan ekspor Indonesia.   

Ekspor Indonesia didominasi sektor primer dimana elastisitas permintaan rendah yang meski gejolak namun hanya berdampak rendah bagi eskpor primer.  Meski demikian, pada sektor manufaktor non-resources based akan terkoreksi.  Ekspor manufaktur natural resources based mencapai 31%, eskpor pertanian 12%,  pertambangan 38% serta manufaktor yang non-resources based 19% (Bank Indonesia, 2011).

Efek global akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi dari sisi ekspor barang dan jasa.  Penurunan ekspor berimbas pada menurunnya aktivitas ekonomi masyarakat.  Pada akhirnya konsumsi domestik berkurang dan pertumbuhan ekonomi terkoreksi.  Bank Indonesia, Bank Dunia dan ADB,  memperkirakan laju pertumbuhan ekonomi turun dari prediksi semula yakni 6,3%.

Konsekuensi lain yakni penurunan inflasi yang diakibatkan oleh permintaan global yang menurun dan harga komoditas di pasar internasional juga terkoreksi.  Bank Indonesia memperkirakan efek global 2012 menurunkan laju inflasi menjadi 4,9%.

Kondisi  APBN 2012

Situasi global ini sedikit berbeda dengan tahun 2008  karena krisis keuangan baru dimulai dan terasa di 2009.  Saat itu, asumsi makro ekonomi terkoreksi.  Peran stimulus pemerintah diperlukan agar perekonomian tetap tumbuh. Misalnya, dengan mempertahankan tingkat konsumsi masyarakat tetap tinggi.  Pengalaman 2009 berbeda dengan 2012 dimana “tingkat kegentingan”  juga berbeda.

Situasi tersebut tergambarkan dari postur APBN 2012.  Posisi penerimaan negara, diperkirakan Rp  1.311T.  Naik sebesar 12,09 % dibanding APBN-P 2011. Penerimaan didorong peningkatan pajak dalam negeri 18,98% dibanding tahun sebelumnya.  Pajak dalam negeri 2012 ditetapkan Rp 989,6T. Pajak internasional justru turun 8,53% dibandingkan APBN-P 2011.  Penyebabnya selain tarif rendah, faktor harga CPO internasional yang menurun.

Dilihat dari struktur belanja negara 2012 terjadi kenaikan 8,68% dibanding APBN P 2012.  Belanja negara (Rp 1.435T), untuk belanja pemerintah pusat Rp 964,9 T (67,2%) sementara sisanya (Rp. 470 T) untuk transfer daerah (32,8%).  Jika dibandingkan tahun sebelumnya belanja transfer daerah terjadi kenaikan 14,04% sementara belanja pemerintah pusat sebesar 6,25%.

Dari jenisnya,  belanja negara 2012  didominasi belanja pegawai Rp 215,7T (22,6%) dan belanja subsidi Rp 208,9T (21,9%). Belanja modal yang diharapkan menggerakkan perekonomian hanya Rp 168,3T (17,6%).  Komposisi belanja pegawai mengalami peningkatan besar.  Tahun 2005,  belanja didominasi subsidi dan belanja bunga utang namun 2011 dan 2012, belanja pegawai menggantikan belanja bunga utang.  Pertumbuhan rata-ratanya dalam periode 2006-2012 mencapai 20% per tahun.

Pemerintah menetapkan defisit 2012 sebesar  Rp 124T  atau 1,53 % dari PDB.  Defisit dibiayai pembiayaan dalam negeri Rp 125,9T serta pembiayaan luar negeti neto minus Rp 0,29T.  Sumber pembiayaan luar negeri menggunakan surat berharga negara (SBN)  sebagai sumber utama pembiayaan defisit.

Kebijakan rutin menghadapi krisis yakni tersedianya dana cadangan risiko fiskal (untuk perubahan asumsi makro dan stabilisasi harga) sebesar Rp 15,8T,  dialokasikannya anggaran Bantuan Sosial (PNPM, PKH, Jamkesmas, dan bencana alam) Rp 64,9T,  anggaran subsidi pangan dialokasikan Rp 15,6T, cadangan beras Pemerintah dialokasikan Rp 2,0T, serta belanja lain-lain untuk keperluan mendesak dialokasikan sebesar Rp 5,5T.   Kebijakan rutin bukanlah kebijakan “extra ordinary”, seperti halnya  kebijakan stimulus fiskal 2009 yang lalu.

Pembatasan BBM Bersubsidi

Kebijakan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi dengan pengalokasian BBM bersubsidi tepat sasaran. Pembatasan konsumsi BBM premium untuk kendaraan pribadi di Jawa dan Bali mulai April 2012.  Meskipun total konsumsi BBM bersubsidi sebesar 40 juta kilo liter namun 2,5 juta kilo liter premium bersubsidi tidak dicairkan.  Kebijakan ini tentu akan mengakibatkan setidaknya terjadi inflasi.

Studi Brahmantyo (2011) mengemukakan beberapa temuan menarik.  Jika terjadi penurunan volume BBM 20% maka terjadi kenaikan inflasi sebesar 0,944%, peningkatan PDB riil sebesar 0,029%, peningkatan investasi 0,198%, peningkatan kesempatan kerja sebesar 0,115%, peningkatan pengeluaran konsumsi rumah tangga riil 0,183%, peningkatan penerimaan pemerintah 4,572%, peningkatan tabungan pemerintah 3,578%, penurunan daya saing sebesar 1,104%, penurunan ekspor 0,556%, dan peningkatan impor 0,993%.  Hal ini menunjukkan bahwa penurunan volume subsidi BBM menunjukkan gejala yang cukup baik bagi perekonomian.

Walaupun volume subsidi BBM dibatasi, ekonom senior Bank Dunia Indonesia, Enrique Blanco Armas, justru menyebutkan bahwa opsi kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi lebih baik ketimbang membatasi penggunaan BBM untuk jenis kendaraan tertentu (Kompas, 16 Desember 2011).  Hal ini mengingat pada prakteknya kebijakan ini sulit dikendalikan mengingat infrastruktur yang ada serta sistem pengawasann lemah.  Kebocoran masih tetap akan terjadi. Apalagi secara riil di lapangan bahwa subsidi BBM lebih banyak dinikmati oleh kelompok mampu ketimbang orang miskian.

Gambar 1.  Belanja Subsidi Tahun 2005-2012 (Triliun, Rp)
Sumber : Depkeu, 2011

Jika harga BBM dinaikkan tahun 2012?  Bank Indonesia memperkirakan jika terjadi kenaikan harga BBM Rp 500 hingga Rp 1.000  per liter  akan meningkatkan inflasi kurang lebih 1 %.  Artinya, kenaikan tersebut tidak banyak pengaruhnya terhadap perekonomian seperti kenaikan harga BBM tahun 2005. Efek positif bahwa dana penghematan subsidi BBM ini dapat dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur maupun program-program pemberdayaan sosial ekonomi untuk orang miskin.  Walaupun demikian, perlu diwaspadai pada beberapa daerah yang jumlah volume distribusinya sangat terbatas sehingga memungkinkan inflasi regional jauh lebih tinggi.  Terutama pada wilayah infrastruktur buruk dengan sistem distribusi BBM buruk pula.  Pada wilayah tersebut jumlah orang-orang miskin akan semakin meningkat.

Penutup
Dua isu ini akan menjadi bahan pembicaraan dominan pada tahun 2012. Walaupun dalam sudut pandang banyak pihak ekonomi kita tetap tumbuh dengan baik namun gejolak-gejolak ekonomi tetap akan terjadi.  Penerapan Crisis Management Protocol dengan melibatkan DPR dapat memperkuat langkah antisipasi krisis, disamping tentunya kesiapan dana SAL jika pasar SBN domestik bergejolak sangat drastik.  Jika dimungkinkan, seperti kasus tahun 2005,  kebijakan stimulus fiskal dapat diterapkan, meskipun saat ini tampaknya peningkatan kualitas penyerapan belanja menjadi jalan terbaik.  Hal yang terpenting adalah  respon kebijakan monter atas  suku bunga, nilai tukar, devisi hingga pengelolaan capital inflow yang prudensial.
Di sisi yang lain tentunya terkait dengan efek pembatasan volume bersubsidi yang dinilai paling kecil dampaknya namun praktek implementasinya jauh lebih rumit.  Paling tidak pemerintah harus cepat mempersiapkan infratruktur, kelembagaan hingga penegakan hukum sehingga jangan sampai kebocoran tetap terjadi. Kenaikan harga BBM premium hingga Rp 1.000 menjadi alternatif yang perlu diperkuat dengan perbaikan infastruktur serta rantai distribusi yang menyebabkan inflasi di negara ini tetap tinggi.  Kompensasinya  dana dapat dialokasikan langsung untuk orang miskin.



Lampiran 1.  APBN TAHUN 2006-2012


[1] Philip McNicholas, Direktur Fitch's Asia-Pacific Sovereign Ratings (Kompas, 15 Desember 2011)

Senin, 28 November 2011

Seminar LSM Fitra, besok siang di Htl Alia Jkt, 29 Nov 2011: Soal Transfer Daerah


POLITIK ANGGARAN DALAM MERESPON PERUBAHAN UU NOMOR 33 TAHUN 2004[1]
Dr. Harry Azhar Azis, MA.[2]
PENDAHULUAN         
            Sejak otonomi daerah, keberhasilan pembangunan menjadi tanggung jawab bersama Pemerintah Pusat dan Daerah, dimana daerah terbagi menjadi Provinsi, Kabupaten, dan Kota. Pemerintah pada setiap tingkatan memiliki tugas dan wewenang dalam menjalankan urusan pemerintahan dalam kerangka desentralisasi, namun dalam hal perencanaan sampai tanggung jawab suksesnya pembangunan masih terletak pada Pemerintah Pusat sebagai agen pengontrol sumber-sumber pendapatan strategis. Kuatnya peran Pemerintah Pusat dilatarbelakangi oleh pemerataan fiskal antar daerah atau upaya distribusi pendapatan antar daerah, yang tidak sepenuhnya benar.
            Perubahan UU Nomor 33 Tahun 2004 sejatinya harus membawa perubahan nyata untuk daerah dalam menstimulasi pembangunan daerah. Pemerintah Pusat masih enggan memberlakukan sistem reward and punishment di jajarannya, sementara untuk daerah diberlakukan. Sebagai contoh dalam penetapan belanja modal daerah yang harus mencapai sekurang-kurangnya 20% APBD dan belanja pegawai setinggi-tingginya 50% APBD. Pertanyaannya adalah apakah kebijakan pusat mencerminkan pola dalam belanja modal? Seperti diketahui, porsi belanja modal dari APBN rata-rata sebesar 8,82% APBN.
            Permasalahan kedua dalam draft perubahan UU, sistem perencanaan, pelaporan dan pengawasan dana perimbangan tetap menjadi domain Pemerintah, sementara peran DPR hanyalah memberikan persetujuan. Perubahan UU 33/2004 tidak jelas karena masih ada yang bias (missing link) terkait dengan fungsi DPR dalam UU MD3. Konsultasi publik diperlukan dalam penyempurnaan draft perubahan UU 33/2004 karena ketahanan fiskal daerah mencerminkan ketahanan fiskal nasional dengan iklim politik stabil.

UU 33/2004 VS PERUBAHANNYA
Perubahan pokok-pokok anggaran beserta formulasinya, pertama, DAU tidak lagi menggunakan Alokasi Dasar sebagai landasannya. Perubahan DAU terletak pada aspek input, dimana basis yang digunakan untuk alokasi berdasarkan celah fiskal. Dalam perubahan UU 33/2004, wewenang Gubernur menjadi lebih luas dengan kewenangan memberi pembobotan masing-masing variabel kebutuhan fiskal seperti indeks jumlah penduduk,  luas wilayah, IPM, dan indeks kemahalan konstruksi daerah penerima DAU. Proksi Alokasi Dasar (belanja gaji PNSD) digantikan oleh rata-rata belanja daerah secara nasional, sehingga kebutuhan fiskal dicerminkan oleh perkalian antara rata-rata belanja daerah secara nasional dengan bobot dari 4 indeks yang telah disebutkan sebelumnya. Hal yang perlu dicermati adalah penggunaan proksi belanja daerah akan semakin memperlebar kesenjangan fiskal karena ukuran belanja daerah akan berbanding lurus dengan jumlah daerah dan kegiatan perekonomian. Ditinjau dari segi demografi dan aspek ekonomi, maka daerah Jawa akan semakin menikmati porsi DAU yang besar karena sumber DBH sebagai komponen kapasitas fiskal yang diandalkan sebagian besar dari PPh wajib pajak orang pribadi dimana share kepada daerah hanya 20%. Disamping itu, kesenjangan antar daerah juga timbul akibat perbedaan belanja sesuai dengan tingkatan Pemerintahan. Daerah dengan tingkatan pemerintahan tertinggi akan mengeluarkan porsi belanja tertinggi, sehingga berpotensi memperlebar celah fiskal daerah dalam satu tatanan pemerintahan otonom yaitu antara Provinsi dan Kabupaten/Kota di bawahnya.
Kedua, dalam alokasi DAK, dasar yang digunakan sama dengan yang tercantum dalam UU sebelumnya, yaitu kemampuan fiskal daerah yang dihitung dari penerimaan umum APBD. Namun, dalam perubahan UU 33/2004, kemampuan keuangan daerah dikategorikan menjadi rendah dan sedang dengan skala yang tidak ditetapkan. Untuk dana pendamping, direncanakan sebesar 5% menurut kemampuan fiskal daerah yang sebelumnya 10% dengan pengecualian bagi daerah dengan kapasitas fiskal tertentu. Dalam penggunaannya, DAK dapat digunakan untuk penyelenggaraan kegiatan non fisik, yaitu peningkatan profesionalisme guru dan pemberian insentif dalam rangka mencapai wajib belajar 9 tahun. Pendekatan yang digunakan dalam alokasi DAK sama dengan DAU, yaitu pendekatan biaya dengan mendasarkan pada biaya per unit dalam upaya mencapai standar pelayanan minimum (SPM). Pengaturan mengenai pemantauan, evaluasi, pelaporan, dan sanksi dicantumkan di Pasal 59, dimana yang harus melaporkan adalah Kepala Daerah kepada Menteri Teknis yang akan memberikan pertimbangan kepada Menteri Keuangan. Menteri Keuangan masih menjadi titik sentral dalam alokasi dan evaluasi terhadap DAK.
Ketiga, masalah pinjaman daerah, UU sebelumnya menyebutkan dalam melakukan pinjaman, jumlah sisa Pinjaman Daerah ditambah jumlah pinjaman yang akan ditarik tidak melebihi 75% dari jumlah penerimaan umum APBD tahun sebelumnya. Pada draft perubahan, dikatakan dalam melakukan pinjaman jangka panjang, jumlah sisa pinjaman daerah ditambah jumlah pinjaman akan ditarik tidak melebihi 200% dari jumlah penerimaan umum APBD tahun sebelumnya setelah dikurangi belanja pegawai. Di satu sisi, draft perubahan ini memberi angin segar kepada daerah dalam memperluas kemampuan fiskal, namun disisi lain, akan semakin membebani APBD karena tidak ada lagi bagian dana darurat yang diperuntukkan bagi krisis solvabilitas daerah.

POLITIK ANGGARAN KE DEPAN
Perubahan kebijakan otomatis mengubah pola politik anggaran, baik dari unsur legislatif maupun birokrasi. Saat ini, birokrasi sangat kuat sehingga perencanaan anggaran sampai kepada pertanggungjawabannya menjadi wewenang birokrasi. Agar terjadi keseimbangan, pertama harus membuka informasi berkaitan anggaran, terutama dalam formulasi anggaran menurut biaya per unit. Publik akan bisa menilai apakah alokasi anggaran sudah tepat sasaran dengan kinerja yang diharapkan. Pertanggungjawaban APBN dan APBD menjadi kewajiban kuasa pengguna anggaran. DPR terus mendukung upaya transparansi dan akuntabilitas APBN khususnya peningkatan dana perimbangan APBD.
Kedua, diperlukan evaluasi pada saat pembahasan formula DAU dalam draft perubahan UU 33/2004. Berbagai studi keuangan publik menyatakan transfer atas belanja daerah membawa moral hazard dalam implementasinya, karena unsur belanja banyak terdistorsi kesalahan manajerial keuangan, salah satunya korupsi[3]. Sebagai upaya pemerataan keuangan daerah, maka unsur penerimaaan sebagai indikator kemampuan keuangan dan kemandirian daerah akan lebih sesuai digunakan sebagai basis perhitungan DAU. Dalam menetapkan alokasi belanja, daerah semakin rasional terutama kaitannya dengan belanja pegawai dan penggunaan sumber fiskal dari PAD dan DBH yang disinyalir banyak digunakan untuk belanja kepala daerah, DPRD, beserta unsur-unsur pendukungnya[4].
Ketiga, terkait dengan alokasi DAK harus mendasarkan pada input variabel capaian SPM dan IPM. Apabila unsur keuangan daerah tetap digunakan dalam formulasi DAK dengan selisih terhadap belanja PNSD, akan terjadi overlapping dan semakin menciptakan insentif daerah untuk menambah belanja PNSD. Dengan basis SPM dan IPM, maka tujuan DAK sebagai dana pembangunan infrastruktur untuk mencapai prioritas nasional akan terwujud. Perlu komitmen dan koordinasi menyangkut kebijakan antara Kementerian yang menangani DAK dengan Pemerintah Daerah penerima, mengingat banyak ketidaksesuaian kebijakan antara prioritas nasional dengan kabijakan turunannya, seperti Juknis. Sebagai contoh dalam bidang pendidikan, dinyatakan bahwa kebijakan DAK Pendidikan untuk mencapai program wajib belajar 9 tahun, namun Juknis yang dikeluarkan oleh Kementerian Teknis terkait hanya memuat program-program pembangunan pendidikan tingkat Sekolah Dasar dan sederajat.  
Keempat, masih terkait DAK, penajaman prioritas sesuai arah pembangunan yang termuat dalam RPJMN. Perubahan UU 33/2004 menitikberatkan pada pembangunan non fisik di bidang pendidikan, sementara anggaran pendidikan secara nasional sudah mencapai 20% dari APBN. Terdapat dua indikasi dari arah pembangunan pendidikan yang tercantum dalam perubahan UU tersebut, yaitu distribusi anggaran pendidikan tidak merata dan rendahnya kemampuan manajerial perencana dan agen alokasi yang bergerak dalam bidang pendidikan. Sementara, bidang lain yang berhubungan dengan IPM seperti bidang kesehatan dan infrastruktur saat ini dalam keadaan yang sangat mengkhawatirkan. Oleh karena itu, perlu desakan kepada pemerintah mengenai spesifikasi alokasi DAK, apakah bertujuan untuk menutup kesenjangan fiskal yang tidak tertutup oleh DAU atau benar-benar bertujuan untuk mencapai pemerataan pembangunan.
Kelima, perlu dimuat suatu aturan mengenai reward and punishment dalam perubahan UU 33/2004 menyangkut seluruh komponen dana perimbangan. Mekanisme pelaporan dan pertanggungjawaban DBH, DAU, dan DAK harus jelas beserta sanksi yang dikenakan. Keterlambatan seringkali diakibatkan kelalaian oknum Pemerintah Pusat, namun sanksi akan dikenakan kepada daerah dengan tertunda atau bahkan dipotong bagian anggaran yang menjadi hak daerah. Unsur keadilan harus tetap diutamakan, mengingat rakyat yang akan dikorbankan atas tertundanya dana-dana pembangunan.

PENUTUP
Perubahan UU 33/2004 tidak akan membawa perkembangan pembangunan ke arah yang berkualitas apabila pengaturan mengenai proporsi pendanaan daerah tidak dirumuskan secara jelas. Regulasi beserta kebijakan yang tumpang tindih menjadi penyebab kakunya birokrasi dalam membangun daerah karena sistem reward and punishment yang hanya berlaku di tingkat daerah. Agar tujuan pembangunan tercapai, Gubernur harus benar-benar bertindak sebagai koordinator pembangunan daerah dengan tidak mendasarkan usulan pembangunan pada preferensi politik. Kepentingan rakyatlah yang harus diutamakan serta evaluasi dana belanja pegawai mutlak diperlukan dalam pencapaian standar minimum pelayanan publik, sehingga tanggungjawab dan kinerja unsur birokrasi akan tercermin dalam kontribusinya terhadap masyarakat dalam mencapai pembangunan yang berkesinambungan.


[1] Konsultasi Publik “Politik Anggaran Kebijakan Dana Perimbangan”. Hotel Alia Cikini, Jakarta, 29 Nov 2011.
[2] Wakil Ketua Komisi XI Keuangan dan Perbankan DPR RI (2010-2014), Ketua Badan Anggaran DPR RI (2009-2010), Wakil Ketua Panitia Anggaran (2008-2009), Anggota FPG DPR Dapil Kepulauan Riau, PhD Oklahoma State University, Amerika Serikat (2000), lahir di Tanjungpinang (1956).
[3] Habibi, N., C. Huang, D. Miranda, V. Murillo, G. Ranis, M. Sarkar, and F. Stewart. 2003. Decentralization and Human Development in Argentina. Journal of Human Development 4(1).
[4] The World Bank. 2009. Indonesia Development Policy Review: Enhancing Government Effectiveness in a Democratic and Decentralized Indonesia.