Minggu, 21 Agustus 2011

Optimalisasi Desentralisasi Fiskal, seminar UGM 4 Juni 2011


UPAYA OPTIMALISASI PELAKSANAAN DESENTRALISASI FISKAL[1]
Oleh: Dr. Harry Azhar Azis, MA[2]


PENDAHULUAN
Selama satu dasawarsa sejak 1 januari 2011, desentralisasi fiskal di Indonesia telah mengubah sistem pemerintahan dari sentralistik menjadi desentralistik. Ini jawaban atas tuntutan distribusi pengelolaan pemerintahan yang selama rezim orde baru dikuasai oleh pemerintah pusat. Hakikat otonomi daerah memberi perimbangan kewenangan dan keuangan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah.

Menurut UU 32/2004 Tentang Pemerintah Daerah, desentralisasi didefinisikan sebagai penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem NKRI. Sejatinya, tujuan ekonomi dalam mewujudkan kesejahteraan melalui pelayanan publik dan memperpendek rentang antara penyedia layanan pulik dan masyarakat. Pendek kata, desentralisasi merupakan langkah dalam mencapai kesejateraan umum, sebagaimana yang telah diamanatkan UUD 1945.

Namun, pelaksanaan desentralisasi tidak mencapai hasil yang maksimal. Laju pertumbuhan ekonomi dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) lebih dikuasai oleh wilayah di Kawasan Barat Indonesia (KBI) dibandingkan Kawasan Timur Indonesia (KTI). BPS (2010) merilis data pada 2005-2008, rata-rata pertumbuhan ekonomi KBI 5,34% dan KTI hanya 4,30%. Rata-rata IPM setiap propinsi di KBI pada 2009 adalah sebsar 72,53 dan KTI sebesar 69,14.

Implementasi desentralisasi fiskal seolah lebih menitikberatkan pembangunan ekonomi di Kawasan Barat Indonesia. Padahal cita-cita pemerataan pembangunan ekonomi merupakan tujuan desentralisasi, dan pemberian tanggung jawab yang semakin besar kepada daerah tentunya harus diikuti dengan kemampuan daerah dalam memenuhi kesejahteraan masyarakatnya. Mencermati hal di atas, terdapat permasalahan dalam pekasanaan desentralisasi fiskal selama ini.

REFORMULASI DANA PERIMBANGAN
Dalam tataran kebijakan aplikatif, desentralisasi fiskal diwujudkan melalui pemberian sejumlah transfer dana langsung dari Pemerintah Pusat ke daerah. Tujuan transfer adalah untuk mengurangi kesenjangan fiskal antara Pemerintah Pusat dan Daerah (vertical imbalance) dan antar Pemerintah Daerah (horizontal imbalance). Mekanisme transfer juga sebagai bentuk tanggung jawab fiskal dalam kerangka desentralisasi (Mello, 2000).[3]

Mekanisme transfer diatur di dalam UU 32/2004 yang terdiri dari Dana Perimbangan, Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian. Dana Perimbangan terdiri atas Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH). Jumlah dana perimbangan di dalam komponen transfer ke daerah mengalami peningkatan setiap tahunnya, sejalan dengan adanya peningkatan penerimaan dalam APBN seperti terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Dana Perimbangan dalam APBN 2007-2011
(dalam Miliar Rupiah)
Tranfer Daerah
2007
2008
2009
2010
2011
Rata-Rata
Dana Perimbangan
243.967,1
278.714,7
287.251,5
314.363,3
329.099,3
7,86%
Dana Alokasi Umum
164.787,4
179.507,1
186.414,1
203.606,5
221.872,2
7,74%
Dana Alokasi Khusus
16.237,8
20.787,3
24.707,4
21.138,4
25.232,8
12,95%
Dana Bagi Hasil
62.941,9
78.420,2
76.129,9
89.618,4
81.994,3
7,72&
Sumber: Nota Keuangan dan RAPBN, 2011
Berdasarkan Tabel 1, alokasi dana perimbangan di dalam APBN mengalami peningkatan setiap tahunnya, yaitu dari Rp243.967,1 Miliar pada 2007 menjadi Rp329.099,3 Miliar pada tahun 2011, tumbuh rata-rata 7,86% per tahun. Kenaikan dana itu diharapkan sejalan dengan adanya pertumbuhan perekonomian serta pemerataan pembangunan di daerah.

Jika ditinjau dari komposisi penentuan dana perimbangan APBN, masing-masing dana tersebut memiliki rumus tersendiri di dalam menentukan besarnya alokasi. DAU menggunakan komponen alokasi dasar dan celah fiskal masing-masing daerah. DAK mengacu pada berbagai kriteria umum dan khusus , sedangkan DBH ditentukan berdasarkan besaran perimaan pajak dan bukan pajak setiap daerah.

Pada formulasi DAU, alokasi dasar memiliki komposisi terbesar di dalam penentuan besarnya alokasi. Padahal alokasi dasar hanya diperuntuk dalam membiayai belanja rutin apartur pemerintah daerah. Selain itu, indikator jumlah penduduk dan luas wilayah turut menentukan besaran alokasi penentuan DAU. Konsekuensi yang muncul adalah alokasi dana perimbangan akan terkonsentrasi di Kawasan Barat Indonesia, khususnya di Jawa, sebab daerah di Jawa memiliki jumlah penduduk lebih padat dibanding di luar Jawa. Wajar apabila di dalam penyusunan APBN oleh Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selalu memberikan porsi DAU yang lebih besar kepada daerah di Jawa. Berbeda dengan DAU, besaran penentuan DAK dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu (i) kriteria umum, (ii) kriteria teknis, dan (iii) kriteria khusus. Kriteria umum di tentukan berdasarkan gap fiskal, kriteria teknis mengacu pada jenis pembangunan, dan kriteria khusus yang tidak diketahui oleh publik. Adanya kriteria khusus dalam penentuan DAK menyiratkan ruang kompromi bagi stakeholder menentukan alokasi, sehingga tidak memenuhi kaidah obyektif dan transparan.

Dengan menggunakan rumus penentuan dana perimbangan selama ini, dapat dipastikan bahwa dominasi laju pertumbuhan ekonomi akan terpusat di daerah padat penduduk. Sebab jumlah penduduk merupakan komponen dominan dalam penentuan dana alokasi. DAU misalnya, besarnya alokasi dasar representasi jumlah aparatur pemerintahan daerah dipengaruhi oleh besarnya jumlah penduduk karena kebutuhan pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Gap fiskal pada DAK dan besarnya penerimaan pajak dan bukan pajak pada DAU tidak dapat dilepaskan dari besarnya jumlah penduduk serta faktor lainnya. Perlu dilakukan sebuah terobosan baru di dalam penentuan formula dana perimbangan jika ingin menciptakan pemerataan pertumbuhan ekonomi di Tanah Air.

Pertama, reformulasi penentuan DAU dengan menggunakan indikator tingkat kesejahteraan dan infrastruktur sebagai faktor dominan. United Nation Development Programme (UNDP) menggunakan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) menilai tingkat kesejahteraan negara. Sedangkan Indikator infrastruktur belum dapat ditetapkan secara pasti. Namun, jika kita berkunjung ke KTI, kondisi infastruktur di kawasan itu menyedihkan. Stakeholder perlu membuat sebuah indeks penilaian infrastruktur daerah sebagai sebuah solusi dalam faktor penentuan DAU.
Kedua, transparansi kriteria khusus penentuan DAK. Keberadaan kriteria khusus dalam penentuan DAK memberikan diskresi bagi stakholder dalam menentukan kebijakannya. Namun, kriteria khusus merupakan wilayah kompromi politik sehingga distribusi DAK ke daerah menjadi tidak optimal. Tidak adanya obyektifitas dan transparansi membuat alokasi penentuan DAK rentan dikorupsi. Ketiga, porsi DBH harus proporsional dan tepat waktu. Tidak ada rumus baku dalam penentuan DBH antara pusat dan daerah. Umumnya proporsi yang digunakan adalah 60 persen untuk pusat dan 40 persen untuk daerah. Jika kita kedepankan nilai-nilai desentralisasi, sudah sepatutnya proporsi DBH pusat dan daerah masing-masing 50 persen atau lebih baik lagi. Selain itu, distribusi DBH dilakukan pada bulan April sehingga potensi penggunaan dana perimbangan pada kuartal pertama tidak optimal.

Selain reformulasi dana perimbangan, waktu alokasi dana perimbangan perlu dipertimbangankan. Jangan sampai terjadi tumpang tindih alokasi dana APBN dan APBD untuk dekonsentrasi dan tugas perbantuan, guna menghindari penumpukan kegiatan yang sama namun dibiayai anggaran berbeda. Umumnya waktu alokasi dilakukan pada akhir Bulan Okrober atau awal Bulan November, yang melewati periode masa perencanaan dan penganggaran di tingkat pemerintah daerah. Pada masa waktu tersebut sudah memasuki pembahasan Kebijakan Umum APBD, sehingga pemerintah daerah menjadi terlambat menyusun APBD yang membuat pembangunan tidak berjalan dengan optimal.

PENGUATAN LOCAL TAXING POWER
Selain dana-dana yang berasal dari pemerintah pusat, daerah memiliki sumber pendanaan sendiri berupa pendapatan asli daerah (PAD), yang bersumber dari Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Pendekatan penguatan basis pajak daerah merupakan langkah efisien dalam konsep desentralisasi fiskal, mengingat dominasi pendanaan yang berasal dari dana perimbangan akan mempengaruhi ketergatungan daerah.
Dalam UU 28/2009 tidak memberikan batas waktu kepada Pemerintah Daerah dalam merespon pengalihan kewenangan pemungutan PDRD. Salah satu contohnya adalah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang dilimpahkan kewenangannya kepada daerah per 1 Januari 2010. Pemerintah daerah terkesan tidak siap, yang dibuktikan belum rampungnya Peraturan Daerah (Perda) di beberapa daerah mengakomodasinya. Belum adanya Perda yang mengatur pungutan BPHTB membuat potensi penerimaan atas perolehan pajak tidak dapat dilakukan. Pemerintah pusat pun tidak melakukan tindakan pungutan tehadap BPHTB sehingga terdapat potensial loss terhadap penerimaan negara pada tahun 2010 sebesar Rp 7,1 T atau  0,6%.

Di sisi lain, pemerintah daerah tidak memiliki kemampuan dalam melakukan estimasi nilai jual obyek pajak (NJOP). Akibatnya adalah banyak nilai pungutan yang dilakukan di bawah nilai potensinya. Seharusnya saat terjadi pengalihan kewenangan, dilakukan pengalihan sistem terlebih dahulu agar pemerintah daerah mengetahui NJOP agar pungutan yang dilakukan sesuai dengan potensinya. Untuk itu diperlukan peningkatan kapasitas aparatur pemerintah daerah dalam rangka peningkatan kemampuan daerah melakukan pungutan.

Saat ini ketergantungan pemerintah daerah terhadap dana perimbangan sangat tinggi, sehingga cenderung mengesampingkan PAD yang seharusnya menjadi komponen utama penerimaan daerah. Hal ini tidak bisa disalahkan, karena desentralisasi di Indonesia menganut sistem desentralisasi pada pengeluaran (decentralisation on spending), bukan pada penerimaan. Berbeda dengan negara yang menganut sistem desentralisasi pada penerimaan, mereka mempunyai tingkatan pajak berdasarkan tingkatan pemerintahannya. Di Indonesia, yang menjadi basis pajak di daerah tergolong kecil sehingga kemampuan daerah untuk melakukan peningkatan penerimaan menjadi terbatas. Oleh karenanya, tidak tepat dikatakan apabila APBD daerah bergantung sangat tinggi terhadap pemerintah pusat, sebab desentralisasi yang dianut adalah pendekatan konsep pengeluaran.

Terdapat kesalahan persepsi dalam memaknai desentralisasi di Indonesia. Perlu kita pahami bahwa yang terpenting dari pendekatan konsep pengeluaran adalah basis pajak yang dikumpulkan oleh pemerintah pusat tidak secara dominan ditransfer ke Pemerintah daerah. Hal ini menjadikan local taxing power rendah, sehingga yang perlu ditajamkan adalah penjelasan tentang kewenangan, bukan perimbangan keuangannya. Di dalam konsep desentralisasi yang mengacu pada pengeluaran, menganut suatu prinsip yang dikenal dengan money follow function. Permasalahan tidak terletak pada cukup atau tidaknya suatu anggaran, tetapi berdasarkan pada kewenangan apa yang dimiliki oleh daerah. Di dalam PP 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan, pemerintah pusat tidak secara tegas mengatur jenis pengeluaran mana yang menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, propinsi, dan kabupaten/kota.

Selain itu kriteria dana perimbangan harus jelas, mudah teridentifikasi agar pelaksanaan tata kelola pemerintahan baik tercapai melalui proses tranparan dan akuntabel. Kemampuan pemerintah daerah dalam pengelolaan anggaran pun berbeda-beda, sehingga pengelolaan keuangan yang baik menjadi penting. Pemerintah daerah harus memahami bahwa pengelolaan anggaran mengacu kepada tiga pokok substansi.

Pertama, anggaran berbasis kinerja. Pengeluaran dalam APBD mengikuti kinerja yang telah ditetapkan. Kedua, memahami Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (KPJM), yang menggabungkan kebijakan, perencanaan dan penganggaran secara lebih komprehensif. Ketiga, memenuhi standar pelayanan minimum (SPM). Semua ini dilakukan guna mencapai tujuan desentralisasi dan tujuan negara dalam mencapai keadilan sosial dan memajukan kesejahteraan umum sebagaimana yang telah diamanatkan di dalam alinea keempat UUD 1945 hasil amandemen keempat tahun 2002.

PENUTUP
Pemerataan pertumbuhan ekonomi perlu dilakukan reformulasi dana perimbangan dan penguatan local taxing power. Ketergantungan pemerintah daerah terhadap APBN perlu diperbaiki. Pengelolaan anggaran berbasis kinerja (money follow function). Sejalan dengan hal tersebut perlu kiranya diberikan diskresi bagi daerah dalam melakukan pungutan pajak yang memiliki potensi penerimaan yang besar, sebab basis pajak yang memiliki potensi penerimaan yang besar masih dikuasai oleh pemerintah pusat.


[1] Seminar dan Dialog kebijakan ”Hubungan Pusat dan Daerah dan Penataan Keuangan Daerah: Evaluasi Satu Dasawarsa Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal”, UGM, Yogyakarta, 4 Juni 2011.
[2] Wakil Ketua Komisi XI Keuangan dan Perbankan DPR RI (2010-2014), Ketua Badan Anggaran DPR RI (2009-2010), Wakil Ketua Panitia Anggaran (2008-2009), Anggota FPG DPR Dapil Kepulauan Riau, PhD Oklahoma State University, Amerika Serikat (2000), lahir di Tanjungpinang (1956).
[3] Mello, L. R. 2000. Fiscal Decentralization and Intergovernmental Fiscal Relations: A Cross-Country Analysis. World Development Vol. 28, No. 2, pp. 365-380