Senin, 28 November 2011

Seminar LSM Fitra, besok siang di Htl Alia Jkt, 29 Nov 2011: Soal Transfer Daerah


POLITIK ANGGARAN DALAM MERESPON PERUBAHAN UU NOMOR 33 TAHUN 2004[1]
Dr. Harry Azhar Azis, MA.[2]
PENDAHULUAN         
            Sejak otonomi daerah, keberhasilan pembangunan menjadi tanggung jawab bersama Pemerintah Pusat dan Daerah, dimana daerah terbagi menjadi Provinsi, Kabupaten, dan Kota. Pemerintah pada setiap tingkatan memiliki tugas dan wewenang dalam menjalankan urusan pemerintahan dalam kerangka desentralisasi, namun dalam hal perencanaan sampai tanggung jawab suksesnya pembangunan masih terletak pada Pemerintah Pusat sebagai agen pengontrol sumber-sumber pendapatan strategis. Kuatnya peran Pemerintah Pusat dilatarbelakangi oleh pemerataan fiskal antar daerah atau upaya distribusi pendapatan antar daerah, yang tidak sepenuhnya benar.
            Perubahan UU Nomor 33 Tahun 2004 sejatinya harus membawa perubahan nyata untuk daerah dalam menstimulasi pembangunan daerah. Pemerintah Pusat masih enggan memberlakukan sistem reward and punishment di jajarannya, sementara untuk daerah diberlakukan. Sebagai contoh dalam penetapan belanja modal daerah yang harus mencapai sekurang-kurangnya 20% APBD dan belanja pegawai setinggi-tingginya 50% APBD. Pertanyaannya adalah apakah kebijakan pusat mencerminkan pola dalam belanja modal? Seperti diketahui, porsi belanja modal dari APBN rata-rata sebesar 8,82% APBN.
            Permasalahan kedua dalam draft perubahan UU, sistem perencanaan, pelaporan dan pengawasan dana perimbangan tetap menjadi domain Pemerintah, sementara peran DPR hanyalah memberikan persetujuan. Perubahan UU 33/2004 tidak jelas karena masih ada yang bias (missing link) terkait dengan fungsi DPR dalam UU MD3. Konsultasi publik diperlukan dalam penyempurnaan draft perubahan UU 33/2004 karena ketahanan fiskal daerah mencerminkan ketahanan fiskal nasional dengan iklim politik stabil.

UU 33/2004 VS PERUBAHANNYA
Perubahan pokok-pokok anggaran beserta formulasinya, pertama, DAU tidak lagi menggunakan Alokasi Dasar sebagai landasannya. Perubahan DAU terletak pada aspek input, dimana basis yang digunakan untuk alokasi berdasarkan celah fiskal. Dalam perubahan UU 33/2004, wewenang Gubernur menjadi lebih luas dengan kewenangan memberi pembobotan masing-masing variabel kebutuhan fiskal seperti indeks jumlah penduduk,  luas wilayah, IPM, dan indeks kemahalan konstruksi daerah penerima DAU. Proksi Alokasi Dasar (belanja gaji PNSD) digantikan oleh rata-rata belanja daerah secara nasional, sehingga kebutuhan fiskal dicerminkan oleh perkalian antara rata-rata belanja daerah secara nasional dengan bobot dari 4 indeks yang telah disebutkan sebelumnya. Hal yang perlu dicermati adalah penggunaan proksi belanja daerah akan semakin memperlebar kesenjangan fiskal karena ukuran belanja daerah akan berbanding lurus dengan jumlah daerah dan kegiatan perekonomian. Ditinjau dari segi demografi dan aspek ekonomi, maka daerah Jawa akan semakin menikmati porsi DAU yang besar karena sumber DBH sebagai komponen kapasitas fiskal yang diandalkan sebagian besar dari PPh wajib pajak orang pribadi dimana share kepada daerah hanya 20%. Disamping itu, kesenjangan antar daerah juga timbul akibat perbedaan belanja sesuai dengan tingkatan Pemerintahan. Daerah dengan tingkatan pemerintahan tertinggi akan mengeluarkan porsi belanja tertinggi, sehingga berpotensi memperlebar celah fiskal daerah dalam satu tatanan pemerintahan otonom yaitu antara Provinsi dan Kabupaten/Kota di bawahnya.
Kedua, dalam alokasi DAK, dasar yang digunakan sama dengan yang tercantum dalam UU sebelumnya, yaitu kemampuan fiskal daerah yang dihitung dari penerimaan umum APBD. Namun, dalam perubahan UU 33/2004, kemampuan keuangan daerah dikategorikan menjadi rendah dan sedang dengan skala yang tidak ditetapkan. Untuk dana pendamping, direncanakan sebesar 5% menurut kemampuan fiskal daerah yang sebelumnya 10% dengan pengecualian bagi daerah dengan kapasitas fiskal tertentu. Dalam penggunaannya, DAK dapat digunakan untuk penyelenggaraan kegiatan non fisik, yaitu peningkatan profesionalisme guru dan pemberian insentif dalam rangka mencapai wajib belajar 9 tahun. Pendekatan yang digunakan dalam alokasi DAK sama dengan DAU, yaitu pendekatan biaya dengan mendasarkan pada biaya per unit dalam upaya mencapai standar pelayanan minimum (SPM). Pengaturan mengenai pemantauan, evaluasi, pelaporan, dan sanksi dicantumkan di Pasal 59, dimana yang harus melaporkan adalah Kepala Daerah kepada Menteri Teknis yang akan memberikan pertimbangan kepada Menteri Keuangan. Menteri Keuangan masih menjadi titik sentral dalam alokasi dan evaluasi terhadap DAK.
Ketiga, masalah pinjaman daerah, UU sebelumnya menyebutkan dalam melakukan pinjaman, jumlah sisa Pinjaman Daerah ditambah jumlah pinjaman yang akan ditarik tidak melebihi 75% dari jumlah penerimaan umum APBD tahun sebelumnya. Pada draft perubahan, dikatakan dalam melakukan pinjaman jangka panjang, jumlah sisa pinjaman daerah ditambah jumlah pinjaman akan ditarik tidak melebihi 200% dari jumlah penerimaan umum APBD tahun sebelumnya setelah dikurangi belanja pegawai. Di satu sisi, draft perubahan ini memberi angin segar kepada daerah dalam memperluas kemampuan fiskal, namun disisi lain, akan semakin membebani APBD karena tidak ada lagi bagian dana darurat yang diperuntukkan bagi krisis solvabilitas daerah.

POLITIK ANGGARAN KE DEPAN
Perubahan kebijakan otomatis mengubah pola politik anggaran, baik dari unsur legislatif maupun birokrasi. Saat ini, birokrasi sangat kuat sehingga perencanaan anggaran sampai kepada pertanggungjawabannya menjadi wewenang birokrasi. Agar terjadi keseimbangan, pertama harus membuka informasi berkaitan anggaran, terutama dalam formulasi anggaran menurut biaya per unit. Publik akan bisa menilai apakah alokasi anggaran sudah tepat sasaran dengan kinerja yang diharapkan. Pertanggungjawaban APBN dan APBD menjadi kewajiban kuasa pengguna anggaran. DPR terus mendukung upaya transparansi dan akuntabilitas APBN khususnya peningkatan dana perimbangan APBD.
Kedua, diperlukan evaluasi pada saat pembahasan formula DAU dalam draft perubahan UU 33/2004. Berbagai studi keuangan publik menyatakan transfer atas belanja daerah membawa moral hazard dalam implementasinya, karena unsur belanja banyak terdistorsi kesalahan manajerial keuangan, salah satunya korupsi[3]. Sebagai upaya pemerataan keuangan daerah, maka unsur penerimaaan sebagai indikator kemampuan keuangan dan kemandirian daerah akan lebih sesuai digunakan sebagai basis perhitungan DAU. Dalam menetapkan alokasi belanja, daerah semakin rasional terutama kaitannya dengan belanja pegawai dan penggunaan sumber fiskal dari PAD dan DBH yang disinyalir banyak digunakan untuk belanja kepala daerah, DPRD, beserta unsur-unsur pendukungnya[4].
Ketiga, terkait dengan alokasi DAK harus mendasarkan pada input variabel capaian SPM dan IPM. Apabila unsur keuangan daerah tetap digunakan dalam formulasi DAK dengan selisih terhadap belanja PNSD, akan terjadi overlapping dan semakin menciptakan insentif daerah untuk menambah belanja PNSD. Dengan basis SPM dan IPM, maka tujuan DAK sebagai dana pembangunan infrastruktur untuk mencapai prioritas nasional akan terwujud. Perlu komitmen dan koordinasi menyangkut kebijakan antara Kementerian yang menangani DAK dengan Pemerintah Daerah penerima, mengingat banyak ketidaksesuaian kebijakan antara prioritas nasional dengan kabijakan turunannya, seperti Juknis. Sebagai contoh dalam bidang pendidikan, dinyatakan bahwa kebijakan DAK Pendidikan untuk mencapai program wajib belajar 9 tahun, namun Juknis yang dikeluarkan oleh Kementerian Teknis terkait hanya memuat program-program pembangunan pendidikan tingkat Sekolah Dasar dan sederajat.  
Keempat, masih terkait DAK, penajaman prioritas sesuai arah pembangunan yang termuat dalam RPJMN. Perubahan UU 33/2004 menitikberatkan pada pembangunan non fisik di bidang pendidikan, sementara anggaran pendidikan secara nasional sudah mencapai 20% dari APBN. Terdapat dua indikasi dari arah pembangunan pendidikan yang tercantum dalam perubahan UU tersebut, yaitu distribusi anggaran pendidikan tidak merata dan rendahnya kemampuan manajerial perencana dan agen alokasi yang bergerak dalam bidang pendidikan. Sementara, bidang lain yang berhubungan dengan IPM seperti bidang kesehatan dan infrastruktur saat ini dalam keadaan yang sangat mengkhawatirkan. Oleh karena itu, perlu desakan kepada pemerintah mengenai spesifikasi alokasi DAK, apakah bertujuan untuk menutup kesenjangan fiskal yang tidak tertutup oleh DAU atau benar-benar bertujuan untuk mencapai pemerataan pembangunan.
Kelima, perlu dimuat suatu aturan mengenai reward and punishment dalam perubahan UU 33/2004 menyangkut seluruh komponen dana perimbangan. Mekanisme pelaporan dan pertanggungjawaban DBH, DAU, dan DAK harus jelas beserta sanksi yang dikenakan. Keterlambatan seringkali diakibatkan kelalaian oknum Pemerintah Pusat, namun sanksi akan dikenakan kepada daerah dengan tertunda atau bahkan dipotong bagian anggaran yang menjadi hak daerah. Unsur keadilan harus tetap diutamakan, mengingat rakyat yang akan dikorbankan atas tertundanya dana-dana pembangunan.

PENUTUP
Perubahan UU 33/2004 tidak akan membawa perkembangan pembangunan ke arah yang berkualitas apabila pengaturan mengenai proporsi pendanaan daerah tidak dirumuskan secara jelas. Regulasi beserta kebijakan yang tumpang tindih menjadi penyebab kakunya birokrasi dalam membangun daerah karena sistem reward and punishment yang hanya berlaku di tingkat daerah. Agar tujuan pembangunan tercapai, Gubernur harus benar-benar bertindak sebagai koordinator pembangunan daerah dengan tidak mendasarkan usulan pembangunan pada preferensi politik. Kepentingan rakyatlah yang harus diutamakan serta evaluasi dana belanja pegawai mutlak diperlukan dalam pencapaian standar minimum pelayanan publik, sehingga tanggungjawab dan kinerja unsur birokrasi akan tercermin dalam kontribusinya terhadap masyarakat dalam mencapai pembangunan yang berkesinambungan.


[1] Konsultasi Publik “Politik Anggaran Kebijakan Dana Perimbangan”. Hotel Alia Cikini, Jakarta, 29 Nov 2011.
[2] Wakil Ketua Komisi XI Keuangan dan Perbankan DPR RI (2010-2014), Ketua Badan Anggaran DPR RI (2009-2010), Wakil Ketua Panitia Anggaran (2008-2009), Anggota FPG DPR Dapil Kepulauan Riau, PhD Oklahoma State University, Amerika Serikat (2000), lahir di Tanjungpinang (1956).
[3] Habibi, N., C. Huang, D. Miranda, V. Murillo, G. Ranis, M. Sarkar, and F. Stewart. 2003. Decentralization and Human Development in Argentina. Journal of Human Development 4(1).
[4] The World Bank. 2009. Indonesia Development Policy Review: Enhancing Government Effectiveness in a Democratic and Decentralized Indonesia.

Minggu, 27 November 2011

Seminar Koran Jakarta besok, Plaza bappindo Jkt, 29 Nov 2011: krisis Global dan ekonomi Kerakyatan


ANTISIPASI KRISIS GLOBAL DENGAN EKONOMI KERAKYATAN[1]
Dr. Harry Azhar Azis, MA.[2]
PENDAHULUAN
            Krisis utang yang melanda negara-negara periferi Eropa dan Amerika belum mencapai solusi jangka panjang meskipun IMF dan Uni Eropa telah menggelontorkan dana Ktalangan besar. Kesepakatan terakhir Uni Eropa sebesar 1 Triliun Euro. Solusi yang ditawarkan saat ini adalah pengetatan fiskal melalui pengetatan belanja, dan tampaknya berpengaruh terhadap sumber likuiditas serta IHSG. Belajar dari 2008, Indonesia dapat mengatasi krisis hingga pertumbuhan ekonomi tetap positif 4,5%. Selain karena tingkat konsumsi domestik yang tinggi, hal tersebut juga diperkuat oleh minimnya pelaku pasar modal di Indonesia, yaitu 2% dari jumlah penduduk[3].
            Ketahanan industri besar baik yang di sektor riil maupun jasa sangat bergantung pada kinerja pasar modal yang rentan shock eksternal, karena tingginya unsur spekulasi dan minimnya regulasi profit taking. IHSG masih bergerak dalam kisaran lebih baik dibanding indeks-indeks Asia. Tercatat laju penurunan IHSG pada 30 September 2011 dibandingkan Desember 2010 sebesar -4,17%; sementara indeks bursa Malaysia, Singapura, Shanghai, Hongkong, dan Tokyo mengalami penurunan masing-masing sebesar -8,68%; -16,14%; -15,98%; -23,63%; dan -14,94%[4].
            Pengembangan sektor riil khususnya sektor pertanian sebagai langkah menuju ketahanan pangan dan antisipasi terhadap ancaman krisis global berpengaruh terhadap kinerja impor akibat terdepresiasinya nilai tukar Rupiah. Konsumsi domestik sangat potensial untuk pengembangan sektor pertanian berbasis nilai tambah karena penyumbang inflasi utama masih dihasilkan oleh bahan makanan beserta produk olahannya.

PERKEMBANGAN SEKTOR PERTANIAN VS DUKUNGAN PERBANKAN
Sistem perekonomian untuk menangkal krisis global adalah sistem ekonomi kerakyatan karena menghendaki pemerataan dan pertumbuhan sumber daya masyarakat. Sistem ekonomi Amerika dan Uni Eropa terbukti sangat rentan terhadap krisis jangka panjang dan sulit solusi. Sebagai negara agraris dengan jumlah penduduk keempat terbesar di dunia, serta pembangunan menuju industrialisasi, Indonesia berpeluang besar dalam mengembangkan sektor pertanian khususnya tanaman pangan baik untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri maupun ekspor. Bencana banjir Thailand dan semakin ketatnya ekspor bahan pangan di Thailand dan Vietnam menjadikan peluang Indonesia terbuka lebar dalam pengembangan produk pangan secara internasional.
Kontribusi sektor pertanian terhadap PDB sebesar 14,12% per tahun, sementara sektor industri pengolahan serta keuangan 27,44% dan 9,34%. Apabila ketiga sektor tersebut dapat bersinergi, maka nilai tambah dan produktivitas dari produk pertanian akan meningkat dan efisiensi produksi tercapai. Mengacu data BPS (2011), nilai tambah produk makanan dan minuman terbesar di antara produk lainnya, yaitu rata-rata Rp 75,07 Miliar per tahun, sementara subsektor batu bara, migas, dan bahan bakar dari nuklir hanya Rp 2 Miliar per tahun. Dari sisi produktivitas tenaga kerja, subsektor makanan dan minuman jauh lebih rendah dibanding subsektor batu bara, migas, dan bahan bakar dari nuklir, yaitu Rp 64,82 Miliar berbading Rp 263,32 Miliar per tahun. Hambatan di sektor pertanian adalah masih rendahnya kualitas sumber daya manusia, sehingga penggunaan banyak tenaga kerja (labor intensive) baik di hulu dan hilir tidak korelasi peningkatan output yang signifikan.
Rendahnya kualitas sumber daya manusia di sektor pertanian khususnya di tanaman pangan dipacu Nilai Tukar Petani yang rendah dengan pergerakkan lambat. Laju peningkatan NTP Tanaman Pangan Januari 2011-Desember 2010, Februari 2011-Januari 2011, dan Maret 2011-Februari 2011 masing-masing sebesar 0,41%; 0,33%; dan -0,08%.
 Hubungan pertanian dan kemiskinan sangat erat karena proporsi petani gurem lebih tinggi dibanding petani pengguna lahan yaitu 56,2%[5]. Saat ini petani berpotensi menjadi buruh tani akibat kepemilikan lahan yang semakin sempit. Akses perbankan juga sulit karena output sangat tergantung pada musim, pendapatan dipengaruhi alur distribusi yang rumit. Berdasarkan data BI (2011), laju pendanaan sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan mengalami penurunan dalam 9 tahun terakhir, yaitu 7% di tahun 2002 menjadi 5,025% tahun 2010. Laju pendanaan industri pengolahan searah dengan pertanian yaitu 23,91% di tahun 2002 menjadi 23,23% di 2010, sementara untuk sektor keuangan meningkat yaitu dari 9,18% di tahun 2002 menjadi 10,87% di 2010.
Pesatnya pendanaan sektor keuangan tidak diiringi dengan peningkatan pendanaan ke sektor pertanian dan industri. Akibat ketidakberpihakan perbankan, tingkat inflasi inti persisten karena tingginya tingkat konsumsi tidak diimbangi dengan peningkatan output hasil produksi. Ditambah lagi, kebijakan Pemerintah dalam importasi bahan pangan dan makanan jadi, sehingga berdampak sulitnya pengendalian inflasi dan pelemahan daya saing produk domestik serta cadangan devisa yang tergerus serta neraca BI negatif.

STIMULASI SEKTOR PERTANIAN
Penguatan sumber daya primer tetap diperlukan sehingga fokus pengembangan potensi berbasis nilai tambah tidak hanya fokus keluar (outward looking) namun juga untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri (inward looking). Dengan ASEAN Connectivity 2015, Indonesia harus siap bersaing melalui produksi. Indonesia memiliki program percepatan pembangunan MP3EI, namun penguatan pertama harus tetap fokus pada sektor pertanian karena Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk terbesar di ASEAN, sehingga pemenuhan kebutuhan konsumsi dasar adalah sumber kestabilan ekonomi dan politik.
Kedua, kebijakan perdagangan harus melindungi petani domestik dengan pembenahan manajemen perberasan.  Bulog tidak transparan mengenai kebutuhan riil beras dan persediaan beras domestik. Petani dirugikan pada saat panen raya sehingga pengalihan profesi dari petani gurem menjadi buruh tani menjadi tidak dapat dihindari dan memperparah tingkat kemiskinan. Manajemen perberasan harus seperti sebelum krisis 1997/1998 yang mengharuskan Bulog menyerap panen petani sehingga tidak terjadi penipisan persediaan beras di gudang Bulog. Hal tersebut juga akan meningkatkan pemerataan pendapatan antara petani dengan pelaku industri makanan dan minuman.
Ketiga, memberikan peluang bagi riset-riset dan pengembangan di bidang pertanian dengan memberikan reward bagi ahli-ahli yang bergerak di bidang pertanian melalui anggaran pendidikan 20% APBN. Sektor pertanian merupakan sektor vital yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak, apabila ada faktor penganggu, baik dari jalur produksi maupun distribusinya, inflasi dan kemiskinan menjadi taruhannya.
Keempat, diperlukan suatu regulasi yang memuat kewajiban perbankan dalam pendanaan sektor pertanian khususnya Bank-bank BUMN dan BUMD. Meskipun saat ini sudah ada KUR, namun hambatan penyaluran belum bisa diatasi perbankan akibat rendahnya margin. Aturan yang dikeluarkan oleh BI dalam bentuk PBI juga tampak tidak berdaya dan lebih bersifat himbauan terhadap perbankan. Diperlukan penguatan koordinasi antara BI, OJK, dan Pemerintah khususnya Kementerian Pertanian dan Perdagangan. Peran OJK dapat bertindak sebagai pembuat regulasi terkait dengan dukungan lembaga keuangan nonbank yang bersentuhan langsung dengan sektor pertanian khususnya koperasi.

PENUTUP
            Makna ekonomi kerakyatan yang diamanatkan konstitusi sangat penting dalam menunjang pembangunan dan menangkal ancaman krisis global. Kapitalisasi pasar modal Indonesia yang rendah mendatangkan keuntungan tersendiri di saat krisis melanda. Fundamental ekonomi kerakyatan terbukti sangat kokoh dan harus dikembangkan ke arah kemandirian ekonomi. Tantangan ke depan yang dihadapi Indonesia tidak saja resesi global, namun juga ASEAN Connectivity 2015 yang menuntut efisiensi dan efektivitas produksi ke arah optimalisasi produksi khususnya dalam subsektor bahan makanan dan minuman berbasis input produksi pertanian.
Sektor pertanian merupakan sektor vital karena menyangkut pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Hambatan dalam pengembangannya berpotensi terhadap peningkatan inflasi, peningkatan angka kemiskinan, dan menurunnya status pembangunan. Penguatan koordinasi antara otoritas moneter dan fiskal sangat diperlukan, terutama dalam kebijakan pemenuhan kebutuhan domestik, karena kebijakan impor yang tidak tepat akan berpotensi menimbulkan ketidakstabilan kondisi ekonomi dan ketidakstabilan politik dalam negeri. Sementara kebijakan moneter dan regulasi perbankan yang tidak tepat menyebabkan inflasi dari sisi demand dan terdepresiasinya nilai tukar Rupiah yang berujung pada bertambahnya beban APBN seiring dengan terus tergerusnya modal BI.


[1] Seminar Koran Jakarta “Ekonomi Kerakyatan Solusi Menghadapi Krisis Global: Peran Perbankan Pada Sektor Pertanian”. Hotel Bidakara, Jakarta, 29 November 2011.

[2] Wakil Ketua Komisi XI Keuangan dan Perbankan DPR RI (2010-2014), Ketua Badan Anggaran DPR RI (2009-2010), Wakil Ketua Panitia Anggaran (2008-2009), Anggota FPG DPR Dapil Kepulauan Riau, PhD Oklahoma State University, Amerika Serikat (2000), lahir di Tanjungpinang (1956).

[3] Cetak Biru Edukasi Masyarakat di Bidang Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non Bank. 2007. BAPPEPAM LK.

[4] Bloomberg, 2011.
[5] BPS, 2004.

Rabu, 09 November 2011

Dimuat Harian Kontan 9 Nov 2011 naskah: BI, OJK dan Krisis


BI, OJK dan Krisis

Harry Azhar Azis
Wakil Ketua Komisi XI (Keuangan Negara dan Bank) DPR RI



Pada 27 November 2011, Rapat Paripurna DPR menetapkan RUU Otorotas Jasa Keuangan (OJK) inisiatif Pemerintah menjadi UU OJK. RUU ini menjadi UU membutuhkan waktu 17 bulan ketika masuk ke ruang publik sejak diserahkan Presiden kepada DPR Juni 2010. Setelah menunggu 12 tahun sejak terbitnya Pasal 34 UU 23/1999 tentang Bank Indonesia (BI) yang memerintahkan pengalihan fungsi pengawasan bank oleh BI ke lembaga pengawasan sektor jasa keuangan baru terrealisasikan dengan terbentuknya UU OJK. Bahkan, UU OJK lebih maju lagi, bukan saja untuk mengawasi industri perbankan, tetapi juga mengawasi industri pasar modal dan industri keuangan nonbank. Boleh dikatakan seluruh fungsi pengawasan sektor jasa keuangan dilakukan oleh OJK, kecuali koperasi dan BMT. Di masa depan, di harapkan tidak ada lagi loopholes lempar tanggungjawab atas pengawasan sektor jasa keuangan.

BI walau tidak secara langsung menyatakan menolak kehadiran RUU OJK, tetapi wacana yang dikembangkannya seolah menolak perintah pengalihan fungsi pengawasan perbankan diluar BI. Berbagai alasan dikedepankan. Apakah ini berarti BI menentang UU BI itu sendiri, khususnya Pasal 34? Bila ya, mengapa BI tidak berusaha mempengaruhi Pemerintah dan/atau DPR untuk mencabut Pasal 34 tersebut? Dalam perubahan UU 23/1999, yaitu UU 3/2004 tentang BI dan UU 6/2009 tentang penetapan Perppu tentang BI, Pasal 34 ternyata tidak berubah. Perintah pengalihan fungsi pengawasan bank ke lembaga pengawasan bukan BI karena itu tetap hidup.

Dengan disahkannya UU OJK, fungsi BI kini harus fokus pada pengendalian moneter dan sistem pembayaran. Mungkin ke depan, perlu dipikirkan peran moneter dan sistem pembayaran itu kaitannya dengan upaya menjaga stabilitas sistem keuangan, khususnya mengenai macroprudential sistem perbankan. Walau wewenang pemeriksaan bank tetap di OJK, Pasal 40 UU OJK membuka peluang BI melakukan pemeriksaan tertentu terhadap bank bila dianggap perlu. BI bersama Pemerintah secara kelembagaan juga dapat berperan dalam penentuan kebijakan OJK karena dari sembilan pimpinan OJK, yang berbentuk Dewan Komisioner (DK), BI dan Pemerintah merupakan anggota DK ex officio, yang kewenangannya setara dengan tujuh anggota DK yang independen. Artinya, kebijakan OJK langsung atau tidak langsung merupakan cerminan kebijakan BI kecuali anggota ex officio BI di OJK tidak setuju dengan suara mayoritas di DK OJK. Memang pengambilan keputusan dalam DK OJK dilakukan secara musyawarah atau suara terbanyak.   

Bila kehadiran BI di DK OJK merupakan keterlibatan internal, BI juga dilibatkan dalam koordinasi antar lembaga seperti diatur dalam UU OJK terlihat di Pasal 44, 45 dan 46 yang disebut Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan. Forum ini terdiri dari Menteri Keuangan selaku koordinator dan anggota dan Gubernur BI, Ketua DK OJK dan Ketua DK LPS sebagai anggota. Dalam kondisi normal, forum ini saling memberikan rekomendasi untuk memelihara stabilitas sistem keuangan, saling bertukar informasi dan melakukan pertemuan palng sedikit tiga bulan sekali. Forum ini dibantu oleh kesektretariatan yang bersifat tetap yang dipimpin oleh seorang pejabat eselon I di Kementrian Keuangan.

Dalam kondisi krisis, tiap anggota forum dapat mengambil inisiatif untuk pertemuan. Pertemuan dimaksud untuk mengambil keputusan dalam rangka mengantisipasi dan mencegah kemungkinan terjadinya krisis serta menangani dampak krisis. Bila forum memutuskan telah terjadi krisis dan diperlukan penanganan melalui fasilitas pendanaan yang ada di BI atau di LPS, maka keputusan forum bersifat final. Bila penanganannya melalui APBN, DPR mulai terlibat dan diberikan waktu 1x24 jam agar DPR memutuskan apakah setuju atau menolak keputusan forum. Dengan demikian, formalitas keterlibatan BI dijamin UU OJK bahkan semakin meluas sampai ikut menangani situasi krisis. Dalam kondisi normal, semua lembaga bekerja sesuai dengan fungsinya masing-masing dalam memelihara stabilitas sistem keuangan.

Dalam masa transisi sampai seluruh fungsi pengawasan OJK efektif mulai 1 Januari 2013 untuk industri pasar modal dan industri keuangan nonbank dan 1 Januari 2014 untuk industri bank, dibentuk tim transisi yang membantu DK OJK dari BI dan Bappepam-LK Kementerian Keuangan.  Peralihan SDM dan aset Bappepam-LK ke OJK bersifat wajib, tetapi peralihan SDM BI ke OJK bersifat sukarela sementara peralihan aset BI di bidang pengawasan ke OJK dilakukan sesuai kesepakatan OJK dan BI.

Memang dengan diundangkannya OJK, perubahan atas UU lain harus dilakukan seperti UU BI, UU Pasar Modal, UU Perbankan, UU Perasuransian dan tentu RUU JPSK. Kita berharap perubahan yang sudah dimulai melalui UU OJK menjadikan industri sektor keuangan semakin stabil dan berkembang serta perlindungan konsumen semakin terjaga. Dengan kuatnya struktur sektor keuangan,  kiranya sektor riel akan menikmati pertumbuhan dan memperkuat struktur perekonomian nasional. Dampak setiap krisis keuangan dan ekonomi dapat diminimalkan. Itulah harapan kita.