Sabtu, 29 Januari 2011

Kedaulatan negara dan Kesejahteraan Rakyat, Seminar Nasional Kahmi, 29 Januari 2011 di Htl Sahid Jaya jakarta


KEDAULATAN NEGARA DAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
Dr. Harry Azhar Azis, MA.[1]
I.                    Pendahuluan
Pesan sebagai negara berdaulat termaktub dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke-2: “Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”. Namun, potensi ancaman tetap harus diperhatikan terutama bila makna kedaulatan Indonesia terganggu. Sumber daya alam yang melimpah serta kekuatan sumber daya manusia seharusnya memperkuat kedaulatan bangsa di kancah internasional.
Era Soeharto, Indonesia mendapat gelar “Macan Asia” karena pertumbuhan ekonomi tinggi yang sustainable. Rata-rata pertumbuhan ekonomi 1966–2007 mencapai 6,5%; bahkan pada awal krisis 1997, pertumbuhan ekonomi masih 4,5%.[2] Tingkat inflasi berfluktuasi dari 76,7% (1961) melonjak 635% (1966) menjadi 5,17%, tapi pernah -1,72 (1952) dan 0.01 (1956).  Pada masa orde baru, tingkat inflasi berhasil mencapai titik terendahnya pada tahun 1971 sebesar 0,81%.[3] Bandingkan dengan 2,78% (2009) di era reformasi sebagai inflasi terendah.
Pada era orde baru, PDB Indonesia tertinggi di ASEAN pada tahun 1986 mencapai US$ 188,59M, diikuti Thailand (US$ 91,87M), Philipina (US$ 77,06M), Malaysia (US$ 55,46M), dan Singapura (US$ 31,74M).  Pada 2010, PDB Indonesia sekitar Rp 6250T (US$694,4M. Ukuran PDB tidaklah merepresentasikan pemerataan atau keadilan. Masalah distribusi pendapatan pada orde baru menyebabkan lahirnya pergolakkan memisahkan diri, seperti Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan gerakan disintegrasi di Timor Timur, yang kemudian terjadi pada 1999. Ancaman kedaulatan negara juga muncul dari luar negeri seperti Malaysia yang mengclaim pulau-pulau di perbatasan. Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan kini menjadi milik Malaysia berdasarkan keputusan International Court of Justice (ICJ), 17 Desember 2002. Malaysia juga mengclaim Blok Ambalat (2005) yang masih terjadi sampai sekarang.

II.                  Disintegrasi versus Kesejahteraan
Ancaman disintegrasi mendorong kita ke sistem otonomi daerah (otda). Memasuki usia ke-11, otda belum sepenuhnya mencegah pikiran disintegrasi. Faktor ekonomi, politik, dan hukum perlu mendapat perhatian serius karena dapat menjadi pemicu diintegrasi. Ketimpangan laju pertumbuhan PDRB provinsi, Kawasan Barat Indonesia (KBI) memiliki laju yang lebih tinggi dibanding Kawasan Timur Indonesia (KTI), yaitu 5,4%/tahun untuk KBI dan 4,3%/tahun KTI.[4]
Implikasi pertumbuhan ekonomi juga berbeda per wilayah atas tingkat kemiskinan. Rata-rata tingkat kemiskinan terendah di DKI Jakarta (4,1%) dan tertinggi ditempati di Papua Barat (38%). Untuk tingkat pengangguran, tertinggi di Banten (15,8%) dan terendah di Nusa Tenggara Timur (3,7%). Tingkat kemiskinan dan pengangguran berjalan berlawanan mungkin oleh banyaknya eksodus penduduk Timur ke Barat Indonesia atau desa ke kota, yang karena kurang skill tidak tertampung sektor formal atau memperbesar angka sektor nonformal (63%).
Dibanding ASEAN, pengangguran Indonesia 2006-2010 sebesar 8,61%. Sementara Philipina (7,48%), Malaysia (3,41%), Singapura (2,42%), dan Thailand (1,41%).[5] Ini salah satu alasan TKW atau TKI yang low-skill labor, bahkan high-skill labor yang mencari kerja di luar negeri umumnya karena salary system yang rendah di Indonesia.
Tidak heran bila di wilayah perbatasan, sebagian penduduk merasa lebih nyaman berhubungan dengan negara tetangga dibading berhadapan dengan birokrasi di Indonesia. Apalagi masih belum diperjelas batas wilayah perbatan dan pengawasan yang lemah.


III.                Inti Keadilan: Ideologi Kesejahteraan
Solusi utama dari ancaman disintegrasi adalah pemerataan dan keadilan manfaat pembangunan. Sebagai negara kepulauan, konsekuensi pembangunan adalah memperhitungkan over cost pada komponen biaya pembangunan, yang seharusnya bisa diminimalkan bila perencanaan pembangunan cermat dan disparitas perencanaan dan realisasi minimal.
Kedua, dengan desentralisasi, kapasitas dan kompetensi perangkat daerah harus ditingkatkan terus agar penyelenggaraan pemerintahan makin efisien dan governance. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia belum berubah. Tahun 2010, IPK Indonesia di ranking 110 naik 1 tingkat dari 2009 (111) dan 16 peringkat dari 2008 (126). Perilaku korupsi dan law enforcement masih jauh “panggang dari api”.   
Ketiga, pengawasan teritorial, khususnya perbatasan, harus ditingkatkan. Dengan 70% sebagai wilayah laut, peningkatan sarana dan prasarana harus diprioritas.
Keempat, ukuran-ukuran kuantitatif kemakmuran seperti pengangguran, kemiskinan, perbedaan pendapatan (income gap) dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) harus makin dipertegas, bukan saja secara nasional tetapi sampai tingkat Kabupaten/Kota. Dan, pengawasan atas pencapaian harus makin dimuat masif. Demokrasi tidaklah sekedar menghasilkan pemimpin bercitra baik, tetapi pemimpin substantif yang mengerti bagaimana memecahkan masalah-masalah yang dihadapi rakyatnya, terutama kesejahteraan rakyatnya.
Kelima, rakyat harus makin dibuat cerdas karena hanya dengan kualitas kecerdasan rakyat yang meningkat mereka mampu bukan saja memperbaiki kualitas kehidupannya, tetapi juga memilih pemimpin-pemimpinnya yang berkualitas dan memiliki moral tinggi bekerja tanpa akhir, dengan keyakinan penuh usahanya berhasil. Dengan ideologi “yakin usaha sampai”, yang dimiliki mayoritas rakyat Indonesia, tidak ada satupun pemimpin bisa berkelit dari kegagalan. Inilah pesan pokok dari “Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, sampai mereka mengubah dirinya sendiri..”
Terimakasih


[1] Watua Ketua Komisi XI DPR (2009-14), PhD Oklahoma St. U, USA (2000), lahir Tanjungpinang, Kepri (1956). Makalah Seminar Nasional RAKORNAS KAHMI, “Kedaulatan Rakyat dan Keadilan Sosial”. 28 - 29 Januari 2011, Jakarta.
[2] BPS, 2005.
[3] Nota Keuangan 1966 – 1997. Departemen Keuangan, Jakarta. Data BPS menyebut 2,47%, Sasmito Wibowo pd diskusi inflasi di FPG DPR RI, 27 Januari 2011.
[4] BPS, 2010.
[5] World Economic Outlook 2010, IMF.

Rabu, 26 Januari 2011

Penangungjawab Inflasi, Seminar Inflasi dan Kesejahteraan Rakyat, FPG DPR RI,Ruang KK I DPR,, 27 Januari 2011

Penanggungjawab INFLASI  
Oleh : Dr. Harry Azhar Azis,MA[1]
Inflasi adalah fenomena ekonomi yang meruntuhkan level kesejahteraan rakyat, langsung maupun tidak langsung. Mengenali faktor-faktor penyebab, dampak yang ditimbulkan,  model kebijakan menanganinya serta mempertegas lembaga-lembaga negara yang bertanggungjawab menjadi suatu keharusan. Dalam tata pengelolaan sekarang, lembaga yang bertanggung jawab menangani inflasi tidak jelasdan terkesan saling lempar tanggungjawab antara otoritas moneter (Bank Indonesia) dan otoritas fiskal (Pemerintah). Untuk itu, perlu memperjelas pola kebijakan efektif pengendalian inflasi dan siapa-siapa yang bertangungjawab. Tujuan Utamanya adalah agar Inflasi dapat dikendalikan pada tingkatan yang rendah sehingga menjaga tingkat kesejahteraan rakyat. Kesejahteraan rakyat tidak boleh dibiarkan diterpa oleh kegagalan negara mengatasi inflasi.
Untuk menentukan model yang tepat kebijakan dalam pengendalian inflasi sangat ditentukan pemahaman jenis-jenis inflasi serta faktor penyebabnya. Hal ini menjadi penting karena fenomena inflai terkait suku bunga, unemployment, tingkat pertumbuhan ekonomi, jumlah uang beredar serta nilau kurs rupiah atas mata uang asing. Interaksi yang kompleks antar faktor-faktor inflasi dalam situasi tertentu dapat tingkat hubungan dan trade off nya bisa berbeda karakteristiknya sehingga kebijakan Pemerintah dan BI harus makin governance. Kedua lembaga ini harus didorong agar makin profesional dan betul-betul paham apa terjadi pada rakyat bila kebijakan mereka gagal.
 Secara teori, inflasi disebabkan perubahan sisi permintaan (demand) dan/atau penawaran (supply), dengan masing-masing turunannya yang bervariasi. Di sisi permintaan terkait misalnya dengan kebijakan uang beredar (money supply), ketersediaan uang dalam setiap transaksi (availability of money) dan biaya suku bunga intermediasi (interest rate) yang semuanya merupakan tanggungjawab BI. Kebijakan BI dalam konteks ini disebut kebijakan moneter (monetary policy) yang berpengaruh pada kestabilan nilai rupiah, khususnya tingkat inflasi (inflation rate). Walau tidak pernah tegas diatur, BI tampaknya cenderung menganggap hanya inflasi inti (core inflation) yang layak menjadi wilayah tanggungjawabnya. Inflasi inti adalah angka inflasi yang dihitung dengan mengeluarkan faktor-faktor volatile food prices seperti bahan makanan atau makanan dan enerji. Jadi, agak aneh bila BI menjelaskan harga-harga bahan makanan seperti harga cabai merah dimana kenaikannya karena pedagang ambil untung besar. Apalagi kalau penjelasannya karena cuaca buruk, sesedehana itukah? Jauh lebih bijak bila BI menjelaskan faktor-faktor inflasi inti apakah sesuai  target  4% plus minus 1%. Walau angka 1% dapat berarti BI membiarkan harga-harga terdeviasi sampai 25%, yang menunjukkan kelemahan sisi perencanaan kebijakan moneter, khususnya dalam konteks inflation targeting framework.  

Di sisi penawaran, aspek produksi dan distribusi barang serta jasa adalah tanggungjawab pemerintah. Dari inflasi umum 6,96% seperti laporan BPS, 50% disebabkan kenaikan harga bahan makanan dan kemudian diikuti makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau (18%), perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar (15%), sandang (7%), transportasi, komunikasi dan jasa keuangan (7%), pendidikan, rekreasi dan olahraga (3%) dan kesehatan (1%). Bila bahan makan dan makanan jadi dikeluarkan dalam perhitungan inflasi, angka inflasi tahun 2010 hanya sekitar 2,23%. Cabai merah yang diusulkan seorang pejabat pemerintah agar dihilangkan dari perhitungan inflasi hanya menyumbang 9% dari total kenaikan harga-harga bahan makanan atau 4,5% dari total angka inflasi 2010. Justru kenaikan harga beras perlu menjadi perhatian karena menyumbang 37% atas inflasi harga bahan makanan.

Kebijakan Pengendalian Inflasi
Berdasarkan kerangka, kejelasan tanggungjawab BI dan pemerintah harus makin diperjelas. Tahun 2005 (Juli), BI memperkenalkan Inflation Targeting Framework (ITF), yang telah menjadi praktek kebijakan moneter beberapa Negara seperti New Zealand, Australia, Inggris, Kanada, Korea Selatan dan Amerika Serikat sejak Bernanke. Para pendukung ITF percaya bahwa dengan menetapkan besaran target inflasi di awal tahun atau akhir tahun untuk ekspektasi inflasi tahun berikutnya, kebijakan ekonomi-makro yang mendukung pertumbuhan ekonomi dapat diharapkan lebih stabil, sustainable, transparan dan  yang lebih penting tanpa kuatir atas perubahan tingkat inflasi yang terlalu besar.
Tahun 2005  memberikan pelajaran berharga dalam konteks ITF. Yang menarik, walau UU BI menyatakan bahwa tanggungjawab utama BI adalah untuk menstabilkan daya beli rupiah (inflasi terkendali) dan nilai tukar rupiah (terhadap valas), ternyata di tahun 2005 hal itu tidak terjadi sama sekali. Kenaikan harga BBM 1 Oktober 2005, dan sebelum Maret 2005, ternyata menjadi benchmark situasi perekonomian tahun 2006. Inflasi Oktober 2005 yang mencapai 8,7% (MoM) merupakan puncak tingkat inflasi bulanan selama tahun 2005, yang walaupun menurun di November 2005 (1,3%), telah mendongkrak angka inflasi menjadi 18,4% (YoY), yang merupakan angka inflasi tertinggi selama 6 tahun ini. Angka inflasi ini per Desember 30, 2005 (YoY), menjadi 17,1%, angka yang jauh dari target UU APBN-P II No 9/2005. Penyumbang inflasi terbesar adalah kenaikan biaya transportasi lebih 40% dan harga bahan makanan 18%. Core inflation pun naik menjadi 9,4%, yang menunjukkan kebijakan BI tidak sepenuhnya efektif. Inflasi yang mencapai dua digit ini (CPI) jauh melampaui angka target inflasi APBN (8,6%). Yang menarik, Gubernur BI memprediksi inflasi tahun 2005 sebesar 14% (Kompas, 25 Oktober 2005) dan bahkan Menteri PPN/BAPPENAS (ketika itu Sri Mulyani) lebih berani lagi menjanjikan inflasi 2005 tidak akan lebih 12% (Suara Karya, 26 Oktober 2005). Seperti disebut di atas, inflasi tahun 2005 adalah 17,1%. Pada tahun 2010 juga terjadi inflasi umum Indonesia tahun 2010 mencapai 6,96% atau 31% lebih buruk dari target inflasi 5,3% seperti perintah UU APBNP 2010.

Pengendalian Inflasi : Tanggung Jawab Bersama Otoritas Fiskal dan Moneter
Bila belajar dari pengelaman tidak efektifnya pengendalian inflasi yang selama ini, tanggungjawab bersama antara otoritas moneter dan fiskal harus makin dipertegas. Hal ini mejadi penting karena dampak inflasi menyebabkan bertambah penduduk kemiskinan. Bila seorang pekerja berpendapatan tetap yang berprestasi mengalami kenaikan gaji rata-rata sebesar 5% di tahun 2010, dengan besaran inflasi di tahun tersebut, yang terjadi bukan peningkatan kesejahteraan tetapi sebaliknya penuruan daya beli. Ironisnya, kenaikan pendapatan seseorang karena prestasi kerja ternyata harus terpukul kembali oleh inflasi akibat ketidakmampuan negara menekan kenaikan harga-harga. Bahkan, bagi mereka dalam kategori berpendapatan rendah atau miskin situasinya bisa lebih parah. Kelompok miskin umumnya membelanjakan sebagian besar porsi pendapatannya untuk membeli bahan makanan, sisanya baru digunakan untuk kebutuhan hidup lainnya. Dengan inflasi bahan makanan sebesar 15,64% di tahun 2010, lebih dua kali lebih besar dari inflasi umum, sisa porsi pendapatan kelompok ini yang digunakan untuk membeli keperluan hidup selain bahan makanan tentu semakin kecil.
Bila Logika ini bisa terus dikembangkan sampai kepada mereka yang tidak bekerja, tidak memiliki pendapatan atau sangat miskin. Bila daya beli pendapatan masyarakat semakin kecil karena inflasi dan membiarkan inflasi terus terjadi tanpa kendali artinya pembiaran proses pemiskinan penduduk secara pasti sedang terjadi. Hal ini tentu bertentangan dengan tujuan terbentuknya negara ini seperti tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu menuju sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bukan pemiskinan rakyat
Dengan meletakan inflasi sebagai tanggungjawab bersama, maka menjadi jelas lembaga yang bertanggungjawab atas pengendalian inflasi. Kerangka pemilahan antara inflasi yang disebabkan oleh sisi demand tentu menjadi domain utama Bank Indonesia, sedangkan Inflasi dari sisi Supply menjadi domain utama dari pemerintah. Hal ini akan memudahkan formulasi kebijakan yang efektif dalam pengendalian inflasi serta kebijakan lanjutan untuk menghadapi kondisi trade off ketika suatu model kebijakan dipilih, dengan demikian proses pengawasannya menjadi lebih mudah, transparan dan rasional. Kita membutuhkan kebijakan rasional yang betul-betul membela rakyat, termasuk dalam konteks inflasi.



[1] Wakil Ketua Komisi XI DPR, makalah Diskusi Inflasi dan Suku Bunga serta Dampaknya bagi Kesejahteraan Rakyat, FPG DPR RI, 27 Januari 2011

Jumat, 21 Januari 2011

Optimalisasi Kebijakan FTZ BBK Kepri Sebagai Pusat Pertumbuhan Regional

Optimalisasi Kebijakan FTZ BBK Kepri Sebagai Pusat Pertumbuhan Regional
Dr. Harry Azhar Azis, MA.[1]

Sejak diterbitkan UU 44/2007 Tentang Perubahan atas UU 36/2000 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU 1/2000 Tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, era baru dalam pengelolaan pertumbuhan ekonomi makin bebas dan terbuka. implementasi UU ini melalui PP 46/2007, PP 47/2007, dan PP 48/2007 sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, Bintan, dan Karimun.
Berbagai insentif di kawasan bebas ini diharapkan menjadi magnet bagi investor. Aglomerasi ekonomi menjadikan Batam sebagai salah satu yang termasuk kawasan bebas (free trade zone). Letaknya yang 15 km dari Singapura menjadikan Batam kawasan andalan Indonesia, sebagai kawasan industri maupun lalu lintas perdagangan internasional. [2]
Otonomi daerah juga menentukan keberhasilan pembangunan di Kepulauan Riau terutama di wilayah Batam, Bintan, dan Karimun (BBK). Dengan FTZ, peluang daerah dalam pengembangan industri dengan investasi terbuka luas. Keuntungan BBK dari segi geografis (geographical advantage) meningkatkan volume distribusi barang dan jasa dan economies of scale dan akhirnya penciptaan lapangan kejra baru yang menjadi ekspektasi masyarakat.  Kini, FTZ BBK belum signifikan mendorong kinerja ekonomi Kepri karena masih belum optimalnya peran FTZ BBK. Secara teori, FTZ akan menjadikan Kepri sebagai pusat pertumbuhan regional ke pasar internasional seperti Singapura-Malaysia dan Thailand.
FTZ BBK
Perdagangan bebas atau free trade lebih banyak positif daripada negatifnya bila dikelola dengan baik. Kawasan bebas dengan insentif perpajakan dan kepabeanan akan mendorong investasi jangka panjang agar pembangunan berkelanjutan, terutama Investasi yang bersifat Foreign Direct Investment (FDI).
Markusen (2002) memandang FDI memberi keuntungan perbedaan tingkat upah, akses pasar dan sumber daya. [3] Bagi negara tujuan FDI (host country), manfaatnya adalah akumulasi modal, transfer teknologi, penyerapan tenaga kerja, dan pertumbuhan ekonomi. [4]
Tabel 1. Jumlah Industri Besar dan Sedang menurut Kabupaten/Kota dan Fasilitas Penanaman Modal, 2007 -2008






*) Data Kab. Anambas masih tergabung dengan Kab. Natuna
Sumber : BPS Provinsi Kepulauan Riau, 2007 – 2008

Tabel 2. Nilai Ekspor Provinsi Kepulauan Riau Menurut Negara Tujuan, 2006 – 2008


Sumber : BPS Provinsi Kepulauan Riau, 2007 – 2009

Berdasar data, investasi di Kepri berubah kurun 2007-2008. UU FTZ menstimulus PMA  yang meningkat 3,3% (2008) dibanding 2007. Dominasi PMA juga di Bintan dan Batam dengan komparasi terhadap total investasi 88,9% dan 94,2%.
Dari struktur ekspor, pangsa ekspor Kepri masih didominasi Singapura yaitu 63,06% dari total ekspor. Rata-rata nilai ekspor Kepri US$ 6,82 M (Rp 61,39 T) dengan laju pertumbuhan 10,95% per tahun. Nilai kurs Rupiah stabil juga medorong stabilnya kegiatan ekspor di Kepri terutama dipelabuhan Batam.

Tabel 3. Impor Provinsi Kepri sesuai Negara Asal, 2006 – 2008












Sumber : BPS Provinsi Kepulauan Riau, 2007 – 2009

Struktur impor Kepri sama dengan ekspornya dan didominasi Singapura (62,32%). Laju impor terjadi setelah berlakunya UU FTZ. Rata-rata nilai impor 2006-2007 (US$ 1,97 M) lebih rendah dari ekspor (US$ 6,49 M). Lalu meningkat tajam pada 2008 (impor US$ 12,17 M dan ekspor US$ 7,47 M).  Tahun 2008 terjadi defisit neraca perdagangan US$ 4,7 M.

Sektor berkontribusi besar terhadap PDRB Kepri adalah sektor industri pengolahan; perdagangan, hotel, dan restoran; serta pertambangan dan penggalian dengan kontribusi masing-masing sebesar 60,42%; 14,36%; dan 6,45%.



Tabel 4. PDRB  Kepri Atas Dasar Harga Konstan 2000, 2004 – 2008

Sumber : BPS Provinsi Kepulauan Riau, 2007 – 2009

Permasalahan di Kawasan FTZ BBK  
            Keberhasilan FTZ BBK seperti peningkatan indikator kesejahteraan tidak bisa dilihat parsial. FTZ BBK juga butuh dukungan terutama di level pusat dan daerah. Untuk perlu dilihat: pertama, masih tingginya impor bahan baku industri. Kontribusi industri pengolahan terhadap PDRB Kepri 51,48% (2008) dan defisit neraca perdagangan US$ 4,7 M (2008).
            Kedua, masih dominannya kapal asing dalam bongkar muat ekspor impor mencapai 95%.[5] Ekspor dengan FOB (Free on Board) dan impor dengan CIF (Cost, Insurance, and Freight). Akibatnya, arus devisa banyak keluar dan merugikan penerimaan negara.
            Ketiga, belum meratanya konsentrasi industri di wilayah BBK. Konsentrasi PMA dan PMDN di Batam sehinga berpotensi membangun ketimpagan antar wilayah.
            Keempat, peraturan FTZ tumpang tindih dan banyak regulasi birokrasi mengatur arus barang dan jasa yang justru bertentangan dengan prinsi FTZ. Peluang kolusi antara importir dan Bea dan Cukai, pasar gelap (black market) cenderung berkembang.

Optimalisasi  FTZ BBK
            Masalah-masalah FTZ harus segera diselesaikan. Optimalisasi peran FTZ perlu terus didorong agar cita-cita sebagai pusat poertumbuhan ekonomi regional menjadi kenyataan. Untuk lebih mengotimalkan peran FTZ BBK, kebijakan lanjutan adalah ; pertama adalah mengembangkan komponen barang-barang modal dengan kemampuan dalam negeri. Daya dukung sumberdaya (endowment) Indonesia sangat besar, sumber daya alam dan manusia. Dalam jangka panjang, efek substitusi (substitution effect) dan efek income (income effect) akan terjadi akibat pengurangan komponen biaya produksi.
            Kedua, perlu kembangkan infrastruktur maritim dengan regulasi pendukung sehingga menunjang pelayaran dalam negeri.
            Ketiga, Perlu perbaikaninfrastruktur darat dan pelabuhan agar konsentrasi industri di kawasan BBK menyebar. Dukungan pemerintah pusat diperlukan seluruh kawasan FTZ.  Keempat, pemerintah pusat dan daerah harus makin terbuka dan profesional sehingga checklist masalah dan key strategy harus dijelaskan dengan transparan. Regulasi harus konsisten dengan perilaku birokrasi agar tercipta kepastian hukum.
            Berbagai alternatif pemecahan masalah perniagaan di kawasan BBK diharapkan menjadi bagian pengembangan FTZ BBK ke depan. Pemasalahan infrastruktur baik kebuuhan listrik, sarana transportasi di darat maupun laut menjadi pemicu utama terhambatnya arus distribusi barang. Untuk itu, diperlukan upaya-upaya pembangunan infrastruktur dari pemerintah pusat dan daerah dengan mengedepankan prinsip good governance. Dengan demikian Kepri menjadi pusat pertumbuhan baru di Indonesia.


[1] Wakil Ketua Komisi XI (Keuangan Negara, Perbankan dan Perencanaan Pembangunan) DPR RI. Makalah Lokakary Kinerja Ekonomi “Peranan FTZ BBK Terhadap Perekonomian Kepulauan Riau”
[2] BPS Kota Batam, 2008.
[3] Markusen, J. R. 2002. Multinational Firms n the Theory of International Trade, Cambridge: MIT Press.
[4] Blanchard, E. J. 2007. Foreign Direct Investment, Endogenous Tariffs, and Preferential Trade Agreements. The B.E. Journal of Economic Analysis & Policy: Vol. 7.
[5] Lukita. 2010. Perkembangan Jasa-Jasa dan Posisi Indonesia dalam Perundingan GATS ke depan. Direktorat Neraca Pembayaran dan Kerjasama Ekonomi Internasional. Bappenas, Jakarta.