Senin, 28 Februari 2011

ATBI dan APBN 2008, dimuat Hr Suara Karya, 27 November 2007

http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=187613


ATBI 2008 dan APBN 2008
Harry Azhar Azis·

Proses pembahasan dan persetujuan atas Anggaran Tahunan Bank Indonesia (ATBI) diatur UU Nomor 3/2004 tentang BI,  berbeda dengan APBN menurut UU Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara. Posisi BI sejak Perubahan Ke Empat Tahun 2002 atas UUD 1945 terlihat lebih kuat, bukan lagi bagian dari pemerintah, seperti tercantum pada Pasal 23D, yang menyatakan Negara memliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tangungjawab, dan independensinya diatur dengan UU.

Perbedaan pertama APBN dan ATBI adalah soal mekanisme persetujuan. Dalam Pasal 15 ayat 6 UU 17/2003, bila DPR tidak menyetujui R-APBN, Pemerintah Pusat dapat melakukan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBN tahun anggaran sebelumnya. Dalam Pasal 60 ayat 3 UU 3/2004, ATBI disampaikan kepada DPR untuk mendapat persetujuan. Penjelasan pasal ini menyatakan persetujuan diberikan melalui konsultasi dengan komisi (DPR) yang membidangi BI dan perbankan selambat-lambat 31 Desember tiap tahun anggaran. Apabla setelah tanggal 31 Desember belum mendapat persetujuan, anggaran yang diusulkan (BI) dianggap disetujui. BI dapat menikmati anggarannya walau belum disetujui DPR, sementara pemerintah harus kembali ke anggarannya tahun lalu bila tidak disetujui DPR.

Perbedaan kedua, wilayah persetujuan. Dalam Pasal 11 ayat  2 UU 17/2003, APBN meliputi anggaran pendapatan, belanja dan pembiayan. Pendapatan meliputi penerimaan pajak, bukan pajak dan hibah. Belanja meliputi belanja pemerintah pusat dan dana perimbangan pusat dan daerah yang dirinci menurut fungsi, organisasi dan jenis belanja. Defisit atau surplus, termasuk yang harus mendapat persetujuan DPR. APBN 2008 yang telah disetujui DPR meliputi total penerimaan Rp 781,4 T dan belanja Rp 854,7T serta defisit Rp 73,3T. Pasal 60 ayat 2 UU 3/2004 membedakan ATBI atas anggaran oprasional dan anggaran kebijakan moneter, sistem pembayaran, serta pengaturan dan pengawasan perbankan. Anggaran operasional dimintakan persetujuan DPR, sementara anggaran kebijakan moneter cukup dilaporkan ke DPR secara tertutup. Tidak ada penjelasan apa efek hukumnya bila anggaran ini tidak disetujui DPR. ATBI 2008 yang diajukan BI ke DPR, meliputi Anggaran Operasional BI sebesar Rp 26,4T (penerimaan) dan Rp 5,2T (pengeluaran) sehingga terjadi surplus Rp 21,2T. Sementara anggaran kebijakan BI Rp 0,6T (penerimaan) dan Rp 29,9T (pengeluaran) sehingga defisit Rp 29,3T. Bila dijumlah, ATBI 2008 mengalami defisit Rp 8,1T.

Bila dalam konteks APBN, kedudukan DPR tampak lebih kuat dari Pemerintah, tidak demikian kepada BI dalam hal ATBI. Pemerintah sebagai otoritas fiskal dan BI otoritas moneter, menurut UU 17/2003 dan UU 3/2004, memang diwajibkan saling berkoordinasi. Kedudukan pengawasan DPR kepada kedua otoritas ini seharusnya tidak boleh dibuat diskriminatif bila koordinasi ke dua lembaga negara ini diharapkan menghasilkan peran yang optimal dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat.   


· Anggota Komisi XI (Keuangan, Perbankan dan Perencanaan Pembangunan) DPR RI.

Selasa, 15 Februari 2011

BI Rate Naik: Siapa Untung dan Rugi, Harry Azhar Azis, dimuat Harian Bisnis Indonesia 14 Feb 2011


BI Rate Naik: Siapa Untung dan Rugi
Harry Azhar Azis
Wakil Ketua Komisi XI DPR RI


Dewan Gubernur Bank Indonesia (DG BI) pada tanggal 4 Februari lalu akhirnya menaikkan BI rate dari 6,5% menjadi 6,75%. Walau sebelumnya BI telah memberi sinyal tentang kemungkinan perubahan kebijakan BI rate itu, keputusan BI  rate naik tetap saja mengejutkan. Penjelasan BI tentang kenaikan BI rate ini merujuk pada inflasi tinggi terutama bahan makanan pokok. Pasal 7 UU 3/2004 tentang BI  mengamatkan BI untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, yang diukur dengan tingkat inflasi dan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing. Walau UU BI menegaskan tanggungjawab BI menjaga inflasi, kenyataannya tidak semua faktor penyumbang inflasi mampu dikontrol oleh BI. Karena itu, pada Pasal 10 ayat 1 huruf a UU BI menyatakan BI berwenang menetapkan sasaran moneter dengan memperhatikan laju inflasi. Penjelasan Pasal ini menyatakan bahwa sasaran laju inflasi ditetapkan oleh Pemerintah dan berkoordinasi dengan BI.

Tiap tahun penetapan target inflasi dituangkan dalam UU APBN/P yang merupakan kesepakatan antara pemerintah dan DPR. Inflasi yang ditetapkan melalui UU inilah yang menjadi kebijakan negara dan sekaligus sebagai rujukan pelaksanaan kebijakan bagi Pemerintah dan juga BI dalam mengendalikan inflasi. Walau koordinasi Pemerintah dan BI dalam mengendalikan inflasi telah dibentuk Tim Pengendali Inflasi (TPI), bahkan kini dikembangkan menjadi Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID), ternyata tidak pernah jelas diketahui pola peran dan tanggungjawab antara Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah serta BI bila target inflasi yang  ditetapkan UU APBN/P gagal dicapai. Sebagai contoh, ketika inflasi 2010 mencapai 6,96% padahal UU 2/2010 tentang APBN-P 2010 menetapkan target asumsi inflasi 5,3%, Pemerintah dan BI terkesan melepas tangggungjkawabnya.

Inflasi dan BI rate
Karena itu, penjelasan BI  bahwa keputusan menaikkan BI rate karena inflasi tinggi patut dipertanyakan. Bila logika ini diterima, kegagalan BI (dan Pemerintah) dalam mengemban tanggungjawab pengendalian inflasi apakah layak diatasi dengan menaikkan BI rate? Sampai berapa besar perbedaan tingkat inflasi dan BI rate sehingga keputusan menaikkan BI rate telah mencapai momen yang tepat  dalam suatu kondisi perekonomian? Kecuali BI mampu menjelaskan kenaikan BI rate akan menurunkan tingkat inflasi pada fase berikutnya, dengan prediksi transmisi kebijakan yang akurat, kenaikan BI rate mungkin dapat dipahami. Pengelolaan BI rate selama tahun 2011 wajib merujuk kepada UU APBN 2011 yang menetapkan SBI sebesar 6,5%. Artinya, kebijakan BI rate selama tahun 2011 tidak mungkin terus dinaikkan kecuali DG BI bersedia dianggap tidak mampu memenuhi perintah UU. Bila nanti terjadi perubahan keputusan politik negara atas UU APBN 2011 dimana DPR dan Pemerintah sepakat mengubah besaran SBI dalam asumsi makro ekonomi, pengelolaan BI rate tetap harus merujuk kepada besaran perbahan itu.   

Ternyata hubungan tingkat inflasi dan BI rate tidak pernah berlaku konsisiten. BI tampaknya perlu menjelaskan seberapa besar peran tingkat inflasi bagi keputusan kebijakan BI rate? Apakah ada faktor lain,  apa saja dan mengapa? Mungkinkah keputusan menaikkan BI rate disebabkan oleh desakan pelaku ekonomi untuk mencapai kepentingan tertentu? Di tahun 2005, ketika inflasi begitu tinggi (17,1%), posisi BI rate (12,75%) justru bersifat negatif terhadap inflasi. Ketika inflasi tahun 2008 mencapai 11,1%, padahal target inflasi pada APBNP 2008 hanya 6,5%, BI rate bertahan pada 9,5%. Yang menarik, di tahun tersebut, suku bunga bank sentral beberapa negara justru menurun, tetapi BI malah menaikkan BI ratenya dari 8,75% (Juni 2008) menjadi 9,5% (Oktober 2008), walau diturunkan lagi menjadi 9,25% (Desember 2008). Ketika tingkat inflasi tahun 2009 sangat rendah yaitu 2,78%, jauh melampaui target UU APBN-P 2009 (4,5%) menurun dari UU APBN 2009 (6,2%), BI rate tetap bertahan pada posisi 6,5%. Mengapa ketika tingkat inflasi rendah BI tidak menurunkan BI rate-nya? Kini, BI rate dinaikkan menjadi 6,75% setelah inflasi Januari meningkat 7,02% (yoy).

Siapa Untung dan Rugi?
Respon Pemerintah yang segera menahan bank-bank BUMN agar tidak menaikkan suku bunga pinjaman patut dihargai. Berapa lama bank-bank BUMN mampu bertahan tidak menaikkan suku bunganya tetap menjadi pertanyaan. Dalam Rapat Dengar Pendapat tanggal 7 Februari antara Komisi XI DPR dan Direksi Bank BRI, dijelaskan bahwa BRI akan kehilangan net interest margin 0,11% bila tidak menaikkan tingkat suku bunga pinjamannya. Dengan tidak menaikkan suku bunga pinjaman, bank-bank BUMN tidak mungkin menaikkan suku bunga simpanannya kecuali bersedia mengurangi potensi laba. Seterusnya, akan terjadi perpindahan dana pihak ketiga (DPK) dari bank-bank BUMN ke bank swasta domestik dan asing bila bank-bank non-BUMN menaikkan suku bunga simpanannya. Peluang migrasi DPK ternyata juga didukung oleh keputusan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dengan menaikkan suku bunga penjaminan dari 7% menjadi 7,25% yang berlaku mulai 15 Februari 2011.

Kenaikan BI rate berpotensi memberatkan anggaran kebijakan BI tahun 2011 (Rp 45 triliun) karena beban SBI bertambah. Capital inflow meningkat yang dalam jangka pendek tentu lebih menyentuh sektor portofolio daripada sektor riel. Karena itu, koordinasi BI dan otoritas fiskal bukan sekedar menahan suku bunga bank-bank BUMN, tetapi membuat capital inflow bertransformasi menjadi proyek pembangunan infrastruktur maupun direct investment. Sisi supply bertambah, tingkat inflasi kembali turun, lapangan kerja baru tercipta sehingga angka pengangguran dan kemiskinan berkurang. Tetapi, bila motifnya spekulasi, arus dana masuk itu akan bertahan di sektor portofolio yang mendorong naiknya suku bunga dan yield. Biaya produksi dan transaksi melonjak, daya saing menurun, potensi supply mengecil, inflasi naik dan akhirnya pemutusan hubungan kerja (PHK) tidak terelakkan. Angka pengangguran dan kemiskinan meningkat.
Agenda Kebijakan
Hari ini, 14 Februari, Komisi XI DPR yang membidangi Keuangan dan Perbankan memanggil resmi Gubernur BI agar menjelaskan alasan kebijakan BI rate, baik faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan maupun dampak perubahannya pada perekonomian. Penjelasan kuat dan rasional akan mengurangi tekanan DPR atas kebijakan yang telah diambil. Komisi XI DPR telah beberapa kali mengingatkan Bank Indonesia agar mempertahankan BI rate bila mungkin malah diturunkan. Diskusi substantif atas kebijakan BI rate selayaknya tidak boleh lagi hanya dipahami dalam ruang rapat DG BI, ia harus menjadi wacana masyarakat umum yang tidak hanya menguntungkan para pemilik modal tetapi juga seharusnya memperbesar potensi pembangunan perekonomian nasional. Mereka yang mewakili kepentingan pemilik modal tentu selalu berusaha menekan BI rate naik atau minimal mempertahankannya pada posisi tinggi walaupun kecenderungan suku bunga regional dan global menurun. Dengan begitu, cara memperoleh keuntungan dipermudah, tanpa perlu meningkatkan value-added perekonomian, cukup dengan migrasi dana dari negara bersuku bunga rendah ke negara bersuku bunga tinggi, seperti Indonesia. Mereka yang pro strategi pembangunan sustainable-welfare state melihat kebijakan BI rate seharusnya mampu memperbesar peluang terciptanya enterpreneurship lebih-lebih pada sektor UMKM. Karena sektor inilah yang memiliki potensi besar, yang bila dikembangkan dengan serius, mampu menurunkan angka pengangguran secara signifikan. Inilah tujuan negara ini dibentuk, semua kebijakan institusi negara harus mampu menciptakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.