Selasa, 03 Mei 2011

Sumatera sebagai Pusat Ekspor Nasional, Lokakarya 4 Mei 2011 di Batam



Kebijakan Anggaran dan Regulasi:
Sumatera sebagai Pusat Ekspor Nasional
Harry Azhar Azis[1]


Pendekatan pembangunan regional tampaknya belum menjadi perhatian serius. Free Trade Zone Batam Bintan Karimun yang diharapkan menjadi percontohan pembangunan regional masih terus mengalami “uji coba.” Munculnya Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang mulai dicanangkan Pemerintah bisa menjadi embrio pembangunan regional ke depan yang makin fokus masih harus dilihat perkembangannya. Economic linkage atau regional economic connectivity mulai menjadi perhatian kebijakan anggaran dan regulasi.Inti pembangunan regional adalah penekanan pada sektoral tertentu di region tertentu. Regional resources (migas, tambang kebun, hutan maupun  kelautan), infrastruktur (terutama jalan, jembatan dan pelabuhan) dan struktur pasar, pola pembiayaan serta sumber daya manusia dan teknologi masih harus didesain fokus pada masing-masing regions’ competitiveness. Di lain pihak peran pemerintah pusat dan daerah, baik dalam koteks anggaran maupun regulasi, masih harus terus diperbaiki dalam konteks sinerji maupun koordinasi. Perwujudan strategi pembangunan regional   memang harus makin diaktualisasikan pada konsep pembangunan wilayah secara utuh dan terpadu (comprehensive and integrated area development concept).

Berdasarkan struktur ekonomi, khususnya distribusi PDB, yang relatif menikmati manfaat pembangunan adalah wilayah Jawa lalu diikuti Sumatera dan seterusnya seperti terlihat pada Tabel 1. Total PDRB Jawa dan Sumatera saja mencapai 2/3 dari total PDB nasional. Kecenderungan  timpangnya (divergensi) ekonomi antar daerah justru mendorong daerah yang telah maju makin menikmati kemajuan yang bertambah. Pola anggaran, khususnya dalam konteks public investment, yang masih besar dikelola pemerintah pusat cenderung dinikmati oleh dua wilayah regional Indonesia ini. Ironisnya, private investment justru mengikuti pola public investment tersebut. Karena itu, untuk mengatasi ketimpangan pembangunan regional, diperlukan bukan saja regulasi yang makin memihak ke daerah-daerah sesuai dengan prediksi pertumbuhannya tetapi juga layak didukung dengan distribusi pola anggaran yang makin fair dan adil. Seharusnya, daerah-daearah yang sudah dikategorikan sebagai relatif telah established tingkat pertumbuhannya yang diperlukan adalah regulasi yang makin mendukung pertumbuhan itu, sementara daerah-daerah yang masih mencari bentuk pola pertumbuhannya layak didukung pola anggaran yang kuat. Kombinasi kebijakan regulasi dan anggaran yang tepat, baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, layak makin disinkroniasikan.

Tabel 1 : Distribusi PDRB Menurut Regional (pulau besar)
Regional
1971
10980
1990
2008
Sumatera
29,0
32,3
25,2
21,6
Jawa
54,5
46,5
56,8
60,7
Bali Nusa Tenggara
3,4
2,5
2,9
2,7
Kalimanatan
5,4
11,3
9,1
8,8
Sulawesi
6,0
4,8
4,1
4,6
Maluku Papua
1,7
2,6
1,9
1,6

1000,0
100,0
100,0
100,0
              Sumber : Nazara,2009
Tabel 2 Pertumbuhan Ekonomi Regional 2004 - 2009
WILAYAH
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Average Growth
Regional Growth (%)
 SUMATERA
2.9
3.6
5.3
5.0
4.9
3.4
4.2
 JAWA & BALI
5.4
5.7
5.8
6.2
5.9
4.8
5.6
 KALIMANTAN
3.0
3.9
3.8
3.5
5.2
3.4
3.8
 SULAWESI 
5.7
6.3
6.8
6.9
7.7
6.9
6.7
 NusaTenggara, Maluku & Papua
-5.3
14.0
-4.0
5.1
2.6
11.0
3.9








INDONESIA
4.2
5.4
5.2
5.7
5.6
4.7
5.1
Sumber : BPS,2010
Pertumbuhan ekonomi Indonesia 2004–2009 memang terlihat relatif stabil. Rata–ratanya mencapai 5,1% selama 5 tahun tersebut. Pertumbuhan tertinggi di wilayah Sulawesi rata rata 6,7% pertahun. Pertumbuhan paling rendah di Kalimantan dan Indonesia Timur yakni 3.82 % dan 3.9%. Jawa-Bali tumbuh 5,6% pertahun dan Sumatera 4,2% pertahun Berdasarkan provinsi, pertumbuhan terendah di Aceh yakni minus 5.58% (2009). Provinsi Sulawesi Tengah paling tinggi, pada lima tahun terakhir yang rata – rata 7.66% pertahun. Nusa Tenggara, Maluku dan Papua rata–rata tumbuh 3.9% pertahun. Laju pertumbuhan ini tergolong lebih rendah jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan Wilayah Sulawesi, Jawa Bali dan dan Sumatera. Laju pertumbuhan yang lambat pada beberapa provinsi seperti Provinsi Papua, NTB dan NTT. Pertumbuhan Papua tidak konsisten. Tahun 2005 tumbuh 36.4% pertahun, tahun 2006 berkontraksi mencapai minus 17.1%.

Untuk mencegah makin melebarnya ketimpangan ekonomi antar wilayah perlu terus didorong penyebaran pusat-pusat pertumbuhan baru di Indonesia. Dengan hanya mengandalkan  Jawa atau  hanya Jabodetabek sebagai pusat pertumbuhan tidak cukup kuat untuk menghela perekonomian Nasional.  Penyebaran pusat pertumbuhan menjadi suatu keharusan bagi Negara Kepulauan dan luas seperti Indonesia, bukan saja karena alasan politik tetapi lebih lagi karena alasan perekonomian dan kesejahteraan penduduk daerah-daerah tersebut.
Untuk lebih mendorong pusat pertumbuhan baru dibutuhkan peningkatan daya saing wilayah. Peningkatan daya saing wilayah menjadi salah satu faktor pengembangan (ekonomi) wilayah. Pengembangan wilayah dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip otonomi dan desentralisasi.Pola desentralisasi politik yang telah berlaku sejak tahun 2011 tampaknya harus makin disuarakan menjadi desentralisasi fiskal, bukan saja dalam kontkes model anggaran tetapi juga pengelolaan sumber-sumber penerimaan daerah yang makin berarti. Pemerintah daerah harus didorong makin mempunyai wewenang penuh dalam mengembangkan kelembagaan pengelolaan pengembangan ekonomi di daerah, mengembangkan sumber daya manusianya, menciptakan iklim usaha yang dapat menarik modal dan investasi, mendorong peran nasional swasta dan masyarakat melakukan koordinasi terus-menerus dengan seluruh stakeholders pembangunan baik di daerah dan pusat, atas dasar perannya sebagai fasilitator dan katalisator bagi tumbuhnya minat investasi di wilayahnya.

Pengembangan ekonomi suatu wilayah atau kawasan harus didekati berdasarkan pengamatan terhadap kondisi internal dan sekaligus mengantisipasi perkembangan eksternal. Diskusi mengenai “daya saing wilayah” sendiri menghasilkan berbagai definisi, yang diantaranya adalah sebagai berikut: Daya saing tempat (lokalitas) merupakan kemampuan ekonomi dan masyarakat lokal (setempat) untuk memberikan peningkatan standar hidup bagi warga/penduduknya. Dalam konteks itulah Sumatera dengan produksi komoditas ekspor yang tinggi  perlu didorong sebagai salah satu pusat pengebangan ekspor nasional. Kebijakan Nasional perlu lebih mendukung Pengembangan Sumatera sebagai pusat ekspor nasional dengan penyediaan infrastruktur untuk pengembangan industri, lokasi pabrik, industri pendukung, sarana transportasi udara, darat dan laut yang lebih baik dan berkualitas.

Kinerja Ekspor Sumatera

Bila mendasarkan data statistik, tampak kinerja ekspor Sumatera terus meningkat dari waktu ke waktu. Pada tabel 3, rata-rata pertumbuhan ekpor dalam empat tahun terakhir mencapai 22%, tetapi bila melihat struktur ekspor masih lebih dominan ekspor Migas yang meningkat mencapai 26 %, sedangkan  ekspor Non-Migas peningkatanya hanya mencapai 21 %.
Tabel 3 Perekembangan dan Nilai Ekspor Sumatera
Sumber : BPS,2011


Data ekspor berdasarkan propinsi menunjukan, propinsi yang paling tertinggi di sumatera adalah Provinsi Riau, Kepulauan Riau kemudian Sumatera Utara. Bila hanya melihat dari ekspor Sektor Non-Migas maka Provinsi Riau tetap paling tinggi, kemudian Sumatera Utara lalu Kepulauan Riau.

Tabel 4
Ekspor Migas dan Non Migas Sumatera dan Ekspor Nasional
Periode 2006 - 2010

Sumber : BPS,2011

Bila melihat dari share ekspor Migas dan Non Migas untuk wilayah Sumatera, data menunjukan bahwa ekspor Non Migas merupakan ekpor terbesar  yakni mencapai  rata-rata 76,47 % dan ekspor Migas mencapai rata-rata 23,53 % selama lima tahun terakhir. Tingginya prosentasi ekspor Non Migas ini menunjukan kinerja ekspor Sumatera lebih didorong oleh komoditas primer yang merupakan produksi masyarakat dan penguaha di wilayah Sumatera. Secara teoritik multiplier efek tentu lebih baik mendorong kinerja ekonomi kawasan dibandingkan dengan ekspor Non Migas yang umumnya lebih merupakan produksi perusahan tambang Multi Nasional Coporation. Pengusaha nasional juga perlu terus didorong untuk mengambil peran.

Bila mengkaji kinerja ekspor sumatera terhadap ekspor nasional, dalam lima tahun terakhir, share ekspor Sumatera terhadap ekspor nasional mencapai kurang lebih rata-rata 32,86%. Hal ini menunjukan bahwa ekspor Sumatera hampir mencapai sepertiga dari total ekspor nasional. Dengan data ini, Sumatera patut dijadikan salah satu pusat pengembangan ekspor nasional yang terus didukung oleh Pemerintah Pusat dalam bentuk regulasi dan alokasi anggaran.


Kebijakan Alokasi Anggaran

Pemerintah pusat perlu lebih fokus dan terkoordinasi dalam mengalokasikan anggaran guna mendukung Sumatera sebagai salah satu pusat pengembangan ekspor nasional. Kelemahan mendasar dari alokasi belanja pemerintah pusat adalah kurangnya koordinasi antar sektor untuk saling mendukung dalam pencapaian kebijakan strategis. Dalam hal kebijakan untuk mendukung peningkatan  produktifitas dan daya saing ekspor Sumatera, belum terlihat rumusan dari Pemerintah pusat secara lebih komprehensif. Daya saing ekspor Indonesia masih kalah dibandingkan Thailand dan Malaysia, dua negara tetangga yang memiliki banyak persamaan dengan jenis barang  ekspor sumatera. Upaya untuk mendukung Sumatera sebagai pusat pengembangan ekspor nasional memerlukan kebijakan yang nyata dan terukur, terutama dalam bentuk pembangunan infrastruktur yang mendukung wilayah-wilayah penghasil produk ekspor.  Daya saing ekspor Sumatera dapat menjadi cermin bagi penguatan daya saing Indonesia karena ekspor Sumatera mencapai sepertiga dari ekspor nasional. Bila ekspor Sumatera dapat terus dikembangkan dengan dukungan kebijakan Pemerintah melalui alokasi anggaran yang efektif, volume ekspor nasional akan makin bisa terus ditingkatkan
.
Kebijakan alokasi anggaran untuk mendukung sumatera sebagai pusat pengembangan ekpor nasional dapat diformualsikan dalam dua kebijakan, yakni :
Kebijakan alokasi anggaran langsung yakni pada upaya peningkatan produktifitas komoditas ekspor melalui dukungan input, permodalan, proses produksi (pabrik) ataupun  pemasaran. Pemerintah dapat memilah sektor-sektor mana yang masih memerlukan bantuan untuk input, kemudian sektor yag memerlukan bantuan untuk proses produksi melalui mesin-mesin produksi yang lebih efisien tetapi skala produksi lebih besar, inovasi dan alih teknologi. Pemerintah juga mesti mendukung pemasaran hasil komoditi ekspor Sumatera yang masih belum memiliki target pasar yang jelas. Model kebijakan Nasional seperti Gerakan Nasional Kakao yag dilaksanakan oleh Kementrian Pertanian dapat menjadi contoh untuk diperluas pada sektor-sektor komoditas lain yang memiliki potensi ekpor yang tinggi. Lembaga permodalan atau peran serta lembaga pembiayaan perlu lebih didorong untuk mendukung para pelaku usaha dan masyarakat dalam meningkatkan produksinya. Keberadaan lembaga seperti Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) diharapkan dapat membantu para pelaku usaha yang berorientasi ekspor seperti, petani untuk terus meningkatkan produksinya tanpa terhambat oleh modal.

Kebijakan alokasi anggaran yang tidak langsung, yakni alokasi belanja infrastruktur seperti jalan lintas Sumatera, pelabuhan ekspor regional yang bertaraf internasional, dan ketercukupan energi Listrik. Walaupun untuk kebijakan ini tidak secara langsung mendukung pengembangan ekspor tetapi memiliki peranan yang  sangat strategis dalam upaya peningkatan ekspor. Pemerintah perlu lebih memperioritaskan belanja infrastruktur yang lebih mendorong upaya peningkatan ekspor sebab akan lebih memberikan benefit spillover yang lebih besar terhadap kinerja ekonomi kawasan dan ekonomi nasional.

Kebijakan Regulasi untuk Peningkatan Ekspor

Selain kebijakan alokasi anggaran, untuk mendukung Sumatera sebagai pusat pengembangan ekspor  nasionl maka perlu dilengkapi dengan sejumlah regulasi yang terkait secara langsung maupun tidak langsung.  Regulasi yang terkait dengan kebijakan ekspor bahan mentah, pemerintah perlu secara bertahap untuk memikirkan dan memberlakukan agar barang ekspor yang diperbolehkan adalah yang sudah mengalami pengolahan. Hal ini akan mendorong value added dari komoditas ekspor nasional dan mendorong masuknya industri pengolahan baik oleh PMA maupun dan lebih utama PMDN.  
Demikian halnya dengan regulasi menyangkut jalur pelayaran  dan pelabuhan ekspor. pemerintah perlu menunjuk dua atau tiga palabuahn ekspor di sumatera sehingga ekspor sumatera tidak perlu lagi ke Tanjung Priok. Bahkan pelabuhan tersebut dikembangkan agar setara dengan pelabuhan Singapura sehingga dapat menjadi jalur transit perdagangan internasional.

Pemerintah juga perlu lebih menyederhanakan regulasi dalam administrasi kepabenan dan adminsitrasi di pelabuhan untuk mempercepat proses ekspor dan untuk menekan biaya ekspor. Hal ini dimaksudkan agar pelabuhan di Indonesia makin  kompetitif terutama bila berhadapan dengan  Singapura dan Malaysia. Tanpa perbaikan seperti itu, daya sing ekspor nasional tentu akan melemah.



Sinerji  Pemerintah Pusat dan Daerah

Kebijakan Pemerintah Pusat dalam mendukung pengembangan ekspor di Sumatera memerlukan sinerji dengan kebijakan pemerintah daerah. Hal ini dimaksudkan agar kebijakan antar level pemerintahan ini saling melengkapi dan mencegah duplikasi dan tumpang tindih. Tanpa koordinasi dan sinerji, inefisiensi dan tumpang tindih bukan mustahil terjadi. Pemerintah daerah juga perlu memformulasikan alokasi anggaran yang lebih mikro sebagai komplemen dari kebijakan pemerintah pusat atau untuk sektoral tertentu mungkin saja beriskap lebih proaktif dibanding pemerintah pusat. Dengan sinerji anggaran pusat dan daerah, kinerja anggaran diharapkan lebih optimal. Demikian juga dengan regulasi, pemerintah daerah perlu lebih hati-hati dalam membuat regulasi atau Perda yang dapat menjadi hambatan bagi pertumbuhan industri ekspor di daerahnya.

Menjadikan Sumatera sebagai salah satu pusat ekspor nasional dengan pendekatan growth center berdasarkan produk unggulan akan menjadi model bagi pertumuhan serupa untuk wilayah-wilayah Indonesia lainnya. Semoga!


[1] Wakil Ketua Komisi 11 (Bidang Keuangan, Perbankan dan Perencanaan Pembangunan Nasional) DPR RI, Ketua Badan Anggaran DPR RI (2009-2010), Wakil Ketua Panitia Anggaran DPR RI (2008-2009). Anggota DPR RI Dapil Kepulauan Riau (2004-2009 dan 2009-2014), Lahir Tanjungpinang (1956).Makalah Lokakarya Regional “Sumatera Sebagai Pusat Pengembangan Ekspor Nasional” Hotel Novotel, Batam 4 Mei 2011