Rabu, 11 Januari 2012

Seminar Hukum Online, Htl Atlet Century Park Jakarta, 12 Januari 2011


PEMANTAPAN REGULASI DI SEKTOR BISNIS DAN INVESTASI[1]
Dr. Harry Azhar Azis, MA.[2]
I.                    PENDAHULUAN
Regulasi memegang peranan penting bagi berlangsungnya seluruh aktivitas kehidupan, apalagi aktivitas perekonomian. Seiring berlangsungnya otonomi daerah, peran regulasi di daerah semakin dituntut untuk menjamin kelancaran aktivitas perekonomian dengan mengoptimalkan seluruh potensi, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Regulasi yang terpusat berpotensi menimbulkan krisis desentralisasi, karena memaksakan keseragaman di atas keberagaman.    
Dengan diubahnya UU No. 10 Tahun 2004 menjadi UU No. 21 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, panduan penyusunan produk legislasi diharapkan semakin jelas dan terarah. Masuknya kembali TAP MPR dalam hierarki Peraturan Perundang-Undangan merupakan amanat dari Aturan Peralihan UUD NKRI 1945 Pasal 1. Konsekuensinya adalah revisi UU No. 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang terkait dengan tugas dan wewenang MPR, tidak saja mengubah dan menetapkan UUD 1945 namun juga mengubah dan menetapkan TAP MPR. Agenda revisi tersebut sudah masuk dalam prioritas Prolegnas 2012.
Berlakunya kembali TAP MPR merupakan upaya dalam mewujudkan good governance dan good coorporate governance serta sebagai mekanisme kontrol atas berbagai regulasi yang menitikberatkan pada birokrasi. Proses reformasi dan demokrasi yang membuka dan semakin marak dan terbukanya KKN serta ketidakadilan mendorong berlakunya kembali TAP MPR dengan kedaulatan rakyat sebagai fokus utama. Di dalam TAP MPR No. 1 Tahun 2003 Pasal 2, politik ekonomi Indonesia harus berpihak pada usaha kecil dan menegah, serta menjadikan koperasi sebagai pilar ekonomi rakyat. Hal tersebut jelas menyiratkan bahwa politik ekonomi yang berpihak pada korporasi semata sangat bertentangan dengan semangat Pancasila dan UUD 1945, sehingga melahirkan gejolak sosial dan politik yang berujung pada terancamnya integrasi dan integritas bangsa. Dengan demikian, berlakunya kembali TAP MPR diharapkan dapat semakin memperkokoh fondasi perekonomian dengan rakyat sebagai kekuatan utama.      

II.               INTERMEDIASI PASAR MODAL
Saat ini, kondisi perekonomian kita dibayang-bayangi oleh krisis dan resesi global. Terjadinya aksi spekuasi dan profit taking di pasar finansial menjadi hal yang tidak bisa dicegah pada pasar emerging market, termasuk Indonesia. Seperangkat aturan diperlukan guna melindungi investor dan pelaku pasar modal, dimana diatur regulasi yang saat ini berupa UU No. 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal. Adapun 3 hal krusial sehubungan dengan revisi UU Pasar Modal adalah pertama, dalam kaitannya dengan UU OJK, dimana aktivitas pembinaan, pengaturan, dan pengawasan kegiatan pasar modal beralih dari Bapepam-LK ke OJK yang kedudukannya bersifat independen. Kedua, penguatan sistem pencatatan secara elektronik melalui sistem teknologi yang terintegrasi antara sistem KSEI, pemegang rekening, dan emiten. Ketiga, penegasan larangan afiliasi bagi pihak penyelenggara pasar modal, misalnya suatu Bank yang bertindak sebagai kustodian namun memiliki anak perusahaan sebagai perusahaan efek dan perusahaan asuransi, yang dapat berakibat pada tidak sehatnya persaingan usaha.
Bapepam-LK (2010) mencatat penguasaan asing atas pasar modal Indonesia sebesar 62,27%. Hal ini tentu menjadi masalah ketika aksi profit taking terjadi yang menyebabkan instabilitas di pasar modal domestik. Namun, di sisi lain, hal tersebut menguntungkan bagi kondisi makoekonomi Indonesia, karena sektor riil masih tetap bertahan terutama sektor usaha UMKM, sehingga pada saat krisis terjadi, perekonomian domestik tetap bertahan dengan pertumbuhan ekonomi positif. Kestabilan kondisi makroekonomi domestik menjadi kunci keberhasilan peningkatan investment grade dari BB+ menjadi BBB-, sehingga turut meningkatkan kepercayaan investor terhadap pasar modal domestik.
Nilai kapitalisasi pasar modal sepanjang tahun 2008-2010 terus naik terhadap PDB. Tercatat, tahun 2008 sebesar 33,8% dan tahun 2010 menjadi 62,3% PDB.[3] Kecenderungan peningkatan tersebut tidak berkorelasi positif dengan laju peningkatan kontribusi sektor riil terhadap PDB yang ditunjukkan oleh penurunan laju investasi terhadap PDB yaitu 11,9% pada tahun 2008 menjadi 8,5% pada tahun 2010.[4] Dengan demikian, kemajuan kapitalisasi pasar modal dalam hal intermediasinya terhadap sektor riil masih dipertanyakan. Kenaikkan IHSG sebagai bagian dari kepercayaan pasar pada kenyataannya hanya membuahkan inflasi yang cenderung persisten dengan menariknya faktor kenaikkan harga produk pangan, perkebunan dan pertambangan bagi investor. Disamping itu, penguasaan pangsa industri keuangan di pasar modal (46,96%) menyebabkan sulitnya sektor riil mengakses likuiditas terutama bagi skala usaha mikro, kecil, dan menengah karena antisipasi industri keuangan terhadap gejolak global dan arus keluar portofolio investor asing.

III.                UPAYA PEMANTAPAN SEKTOR BISNIS DAN INVESTASI
Salah satu faktor keberhasilan Indonesia dalam menangkal krisis global tahun 2008 adalah liberalisasi pasar finansial yang rendah sehingga tidak elastis terhadap kejatuhan pasar finansial global. Krisis global yang saat ini melanda negara maju harus segera diantisipasi meskipun efeknya belum terasa baik dari saluran perdagangan global maupun dari saluran moneter melalui pasar finansial. Namun, penurunan nilai mata uang Rupiah perlu menjadi perhatian ditengah potensi perlambatan ekspor dan ancaman krisis pangan. Oleh karena itu, hal pertama yang harus segera dilakukan adalah merevisi UU Pasar Modal, terutama terhadap muatan-muatan yang memungkinkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat seperti monopoli dan oligopoli, serta memperketat aturan mengenai aliran dana asing yang masuk ke pasar modal.
Kedua, memperkuat fungsi pengawasan OJK di pasar modal terutama dalam kaitannya kegiatan perbankan. Unsur afiliasi harus dihilangkan dari berbagai pihak yang bergerak di pasar modal untuk mendukung iklim usaha kondusif dengan prinsip kehati-hatian, sehingga kepercayaan domestik akan meningkat terhadap pasar modal.
Ketiga, Bank Indonesia harus mencari solusi alternatif untuk menjaga nilai tukar Rupiah, sehingga cadangan devisa tidak terus-menerus mengalami penurunan. Disamping itu, pengawasan terhadap kegiatan perbankan harus ditingkatkan sebelum beralih kepada OJK, terutama terhadap jual beli valas dan mekanisme pembiayaan perbankan dengan valas, untuk mengantisipasi konversi profit usaha ke dalam valas.
Keempat, Pemerintah harus benar-benar menjalankan UU No. 21 Tahun 2011 sesuai dengan prinsip demokrasi dan otonomi. Ketaatan pembuatan regulasi yang berpedoman pada hierarki peraturan perundang-undangan akan menghilangkan tumpang tindihnya regulasi yang menghambat investasi dan kemajuan daerah, karena pada dasarnya produk derivatif dari UU sebagai pedoman pelaksanaannya harus disesuaikan dengan kondisi dan potensi masing-masing daerah. Pemerintah Pusat hanya terfokus pada pencapaian target-target makroekonomi dengan alokasi dan distribusi sumber daya yang tepat bagi kemakmuran rakyat sesuai amanat konstitusi.

IV.               PENUTUP
Dengan berlakunya kembali TAP MPR menjadi Peraturan Perundang-Undangan di bawah UUD NKRI 1945, membawa angin segar bagi penyusunan legislasi nasional yang selama ini cenderung menafsirkan muatan-muatan UUD NKRI 1945 secara parsial. Keberpihakan terhadap kepentingan rakyat tidak bisa ditawar dalam perencanaan dan penyusunan produk legislasi yang didominasi inisiatif pemerintah, sehingga tidak jarang pembahasan RUU mengalami deadlock sehingga tidak tercapai target legislasi nasional.
TAP MPR menafsirkan Pasal 33 UUD NKRI 1945 sebagai perekomian rakyat dengan koperasi pilar utama, bukan pasar finansial yang liberal dan tidak berpihak terhadap sektor riil. Kapitalisasi pasar modal sebesar 100% dari PDB, tentu merupakan hal yang bertentangan dengan politik ekonomi kerakyatan. Pada kenyataannya, perkembangan pasar modal hanya berakibat pada peningkatan inflasi dan pelemahan nilai tukar Rupiah yang berpotensi meningkatkan angka kemiskinan dan pengangguran.
Oleh karena itu, revisi terhadap UU Pasar Modal diperlukan, tidak hanya menyangkut keberadaan OJK, namun yang lebih penting adalah menambah muatan-muatan yang dapat memperketat aliran modal masuk dalam bentuk hot money. Dengan demikian, pasar modal lebih pudent dan berperan dalam intermediasi sektor riil terutama sektor UMKM yang telah menyelamatkan perekonomian Indonesia dari krisis dan mencapai peningkatan investment grade.


[1]Seminar HKHPM-Hukumonline 2012 “Memahami Lika-liku Hierarki Peraturan Perundang-undangan Berdasarkan UU 12/2011 dan Prioritas Legislasi di Sektor Bisnis & Investasi”. Hotel Atlet Century Park, Jakarta, 12 Januari 2012.

[2] Wakil Ketua Komisi XI Keuangan dan Perbankan DPR RI (2010-2014), Ketua Badan Anggaran DPR RI (2009-2010), Wakil Ketua Panitia Anggaran (2008-2009), Anggota FPG DPR Dapil Kepulauan Riau, PhD Oklahoma State University, Amerika Serikat (2000), lahir di Tanjungpinang (1956).
[3] Buku II RKP 2012.

[4]BPS, 2012.