Senin, 19 Maret 2012

Makalah Diskusi KEN di Batam 21 Maret 2012


OPTIMALISASI LEMBAGA PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DALAM MENDUKUNG
PEREKONOMIAN DAERAH[1]
Dr. Harry Azhar Azis, MA.[2]
I.                    PENDAHULUAN
Pembangunan infrastruktur masih kendala terutama untuk investor di Indonesia terutama di luar Pulau Jawa dan Bali. Pembangunan di Jawa dan Bali masih menjadi fokus utama, dimana industri jasa masih terkonsentrasi di dua wilayah ini. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa daerah dengan industri jasa besar memiliki pendapatan lebih besar dibanding daerah dengan sumber daya alam besar. Peranan industri jasa mampu mendongkrak perekonomian daerah melalui akses terhadap teknologi dan informasi.
Keberhasilan Indonesia dalam meraih peringkat investasi BBB- cukup menggembirakan. Pada neraca pembayaran Indonesia tahun 2011-2012[3], investasi langsung (10,4 Miliar USD dan 14,7 Miliar USD) meningkat signifikan terhadap investasi portofolio (4,2 Miliar USD dan 5,1 Miliar USD. Namun, harus diwaspadai potensi negatif bagi transaksi berjalan karena impor mengalami peningkatan di tahun 2011 dan 2012 (30,4% dan 4,6%), berpotensi menggerus cadangan devisa yang meningkat tipis tahun 2011 sebesar 11,08%.
Momentum tersebut harus dijadikan peluang meningkatkan kualitas dan kuantitas infrastruktur, tidak hanya infrastruktur transportasi, infrastruktur telekomunikasi juga penting terutama di daerah terluar seperti Kepulauan Riau. Dalam merespon kebutuhan infrastruktur, faktor pendanaan menentukan aktualisasi investasi. Hadirnya lembaga pembiayaan infrastruktur dapat memberikan likuiditas bagi infrastruktur yang terbatas dan bertumpu terhadap perbankan. Setelah 4 tahun berjalan, lembaga pembiayaan seperti PT SMI, PT IIF dan PIP belum menunjukkan kinerja nyata pembangunan infrastruktur dan sistem Public Private Partnership (PPP). Perlu dipikirkan bagaimana mengotimalkan lembaga ini sebagai penunjang pendanaan disamping belanja modal pemerintah baik pusat dan daerah.

II.                              PENDANAAN INFRASTRUKTUR VS PEREKONOMIAN DAERAH
Berdasarkan data Bank Indonesia[4], pendanaan perbankan terhadap investasi di bidang infrastruktur atau konstruksi masih sangat rendah, yaitu 5,58% per tahun, sementara pertumbuhan kredit investasi di sektor industri pengolahan sangat tinggi yaitu 25,11% per tahun. Kredit investasi lainnya yang cukup tinggi pada sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan; serta pengangkutan dan komunikasi masing-masing sebesar 12,65% dan 11,32%. Dari data itu, pembangunan infrastruktur tidak dapat mengimbangi pesatnya pertumbuhan di sektor riil. Lambatnya pertumbuhan pendanaan sektor konstruksi akibat lambatnya pertumbuhan kredit di sektor penunjang, yaitu listrik, gas, dan air bersih sebesar 5,38% per tahun. Tidaklah mengherankan jika pendanaan investasi sektor perdagangan, hotel, dan restoran; serta keuangan, real estate, dan jasa perusahaan mengalami peningkatan cukup tinggi masing-masing sebesar 15,84% dan 14,02% per tahun.
Dari sisi pemerintah, pola anggaran belanja modal sebagai bagian dari belanja infrastruktur APBN hanya menempati proporsi 8,74%, komponen dominan belanja K/L oleh belanja pegawai 13,01% APBN. Penyerapan belanja modal rata-rata 88,29% per tahun, namun tingkat penyerapan dilakukan secara masif di triwulan ketiga dan keempat tahun anggaran berjalan. Contoh, pada semester pertama tahun 2011 tingkat penyerapan belanja modal hanya 14,94%. Ini harus dikoreksi pemerintah, dimana hambatan dan letak kesalahan perencanaan dan implementasi belanja modal agar tidak berulang dan realisasi rendah.
Belanja modal Pemerintah Daerah sudah lebih baik dibanding Pemerintah Pusat rata-rata 25,95% terhadap APBD[5]. Namun demikian, jumlah belanja modal yang dikeluarkan daerah tidaklah sebanding karena APBD jauh lebih kecil dari APBN. Kebutuhan belanja daerah sangat besar, tidak hanya memenuhi belanja birokrasi namun juga dituntut pembangunan di segala bidang. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi daerah masih lebih rendah dibanding pertumbuhan ekonomi nasional, dengan rata-rata 5,62% per tahun.
Untuk mengisi celah pendanaan, peran lembaga pembiayaan infrastruktur sangat diperlukan Pemerintah Daerah. Pada tatanan implementasi tidak berjalan sebagaimana mestinya karena banyak daerah mengajukan permohonan pendanaan infrastruktur melalui mekanisme SLA. Disini jelas bahwa peran lembaga pembiayaan infrastruktur masih dipertanyakan ketika belum accesible terhadap pemerintah daerah. Apakah proyek yang didanai benar berjalan atau hanya rencana saja, misalnya persetujuan pendanaan dari DPR yang habis dipakai untuk biaya operasional dan diinvestasikan ke sektor yang beresiko tinggi seperti di pasar modal.

III.                            OPTIMALISASI PERAN LEMBAGA PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR
Memenuhi kebutuhan pendanaan infrastruktur yang mencapai Rp 1700 Triliun, sumber pendanaan dari Belanja Modal Pemerintah Pusat dan Daerah saja tidak cukup. Lembaga pembiayaan infrastruktur harus mencari sumber jangka pendek dan panjang.
Oleh karena itu, langkah pertama yang harus dilakukan adalah optimalisasi pendanaan lembaga pembiayaan infrastruktur (PT SMI, PT IIF dan PIP). Sumber pendanaan tidak hanya mengandalkan SLA dan pinjaman dari lembaga bilateral dan multilateral, namun kedua lembaga ini harus meraih sumber pendanaan swasta dan meyakinkan sektor swasta bahwa return melalui lembaga pembiayaan ini sangat prospektif dalam jangka panjang. Kedua, lembaga pembiayaan infrastruktur harus melakukan sosialisasi kepada Pemerintah Daerah mengingat kebutuhan pendanaan yang begitu besar di bidang infrastruktur. Analisis terhadap proyek benar-benar dilakukan secara cermat. Sosialisasi dapat dilakukan dengan Bappenas atau yang lain sehingga pemerintah daerah dan swasta tertarik dalam skema ini.
Ketiga, diperlukan evaluasi menyeluruh oleh Komite Ekonomi Nasional terhadap mekanisme internal dan eksternal lembaga pembiayaan. Sebagai representasi rakyat, DPR diberi informasi kinerja lembaga pembiayaan infrastruktur agar pendanaan APBN bersifat akuntabel dan transparan, sehingga mempengaruhi keputusan politik terkait kelayakan SLA. Sebagai BUMN, lembaga ini harus mendatangkan dividen dengan payback period yang jelas.

IV.                           PENUTUP
Kebutuhan infrastruktur merupakan kebutuhan mendesak untuk mendukung seluruh sektor perekonomian. Hadirnya lembaga pembiayaan infrastruktur memang sangat diperlukan untuk mendanai proyek-proyek infrastruktur terutama di daerah. Skema PPP (Public Private Partnership) layak dipertimbangkan. Evaluasi dan monitoring harus dilakukan agar pelaksanaan kredibel dan akuntabel.


[1] Focus Group Discussion Komite Ekonomi NasionalLembaga Pembiayaan Infrastruktur dan Pembangunan Ekonomi Daerah”. Harmoni One Hotel, Batam, 21 Maret 2012.

[2] Wakil Ketua Komisi XI Keuangan dan Perbankan DPR RI (2010-2014), Ketua Badan Anggaran DPR RI (2009-2010), Wakil Ketua Panitia Anggaran (2008-2009), Anggota FPG DPR Dapil Kepulauan Riau, PhD Oklahoma State University, Amerika Serikat (2000), lahir di Tanjungpinang (1956).

[3] Nota Keuangan RAPBN-P 2012.
[4] Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia Februari 2012.
[5] DJPK, Kemkeu, 2012.