Sabtu, 24 November 2012
Demokrasi dan Politik Anggaran
DEMOKRASI DAN POLITIK
ANGGARAN[1]
Dr. Harry Azhar Azis, MA.[2]
I.
PENDAHULUAN
Sebagai Negara demokratis,
Indonesia dihadapkan pada sistem pluralisme politik, dimana pengambilan
keputusan atas kesepakatan seluruh partai politik di parlemen bersama
Pemerintah dalam bentuk Undang-undang. Konsekuensinya, proses keputusan suatu kebijakan bisa memakan waktu lama
dibanding masa orde baru. Disamping itu, demokrasi menciptakan plurarisme
tingkatan kekuasaan, terutama pada hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Sinkronisasi dan harmonisasi kebijakan merupakan tantangan pembangunan. Ego
politik dan ego sektoral masih merupakan ciri utama sistem yang terbentuk. Seluruh keputusan terutama
keputusan anggaran selalu menjadi hal krusial karena harus mempertimbangkan
pemerataan dan keadilan, bukan saja pertumbuhan.
Dengan demikian, lobby
politik merupakan hal yang sangat penting, baik antar partai politik di
parlemen, maupun antara parlemen dengan pemerintah. Lobby politik merupakan
sarana musyawarah yang akan menentukan arah kebijakan, dan tidak jarang deadlock
pengambilan keputusan karena ketidaksepahaman salah satu pihak yang terlibat dan tidak
jarang dilakukan dengan pengambilan suara terbanyak.
II.
POLITIK ANGGARAN DI DPR
Sesuai UU MD3, tugas DPR
selain menjalankan fungsi legislasi dan pengawasan juga fungsi anggaran.
Anggaran yang harus dikaji oleh DPR merupakan anggaran untuk menjamin
alokasinya sehingga
240 juta rakyat Indonesia menjadi makmur. Disamping time
frame, detil anggaran maupun besaran alokasi selalu menjadi perdebatan
antara DPR dan Pemerintah. Begitu juga dengan DPRD untuk APBD. UUD 1945 hanya
membolehkan perencanaan anggaran dilakukan oleh Pemerintah dan kesempatan bagi
DPR/D hanya mengubah dan menyetujui atau tidak menyetujuinya. Di antara
menyetujui dan tidak menyetujui itu ada praktek “tanda bintang” bagi alokasi
anggaran tertentu yang akan dibahas pada masa selanjutnya.
Ada tiga isu alokasi pokok terkait fungsi anggaran
yaitu, pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Alokasi anggaran pendidikan
terbesar diantara anggaran lainnya, yaitu 20% APBN/D. Untuk anggaran
kesehatan, meskipun UU Kesehatan mengamanatkan 5% APBN, namun sampai tahun 2012
hanya mencapai 3,4% APBN. Porsi anggaran infrastruktur dalam APBN tahun 2012
yaitu 11,25%.
Tabel
1. Rasio Anggaran Pendidikan, Kesehatan, dan Infrastruktur Tahun 2007-2012 (%)
Anggaran
|
2007
|
2008
|
2009
|
2010
|
2011
|
2012
|
Pendidikan
|
18,90
|
15,60
|
20,80
|
20,00
|
20,20
|
20,20
|
Kesehatan
|
3,30
|
2,50
|
3,00
|
3,00
|
3,60
|
3,40
|
Infrastruktur
|
7,95
|
7,95
|
9,13
|
8,82
|
11,49
|
11,25
|
Sumber: Kementerian Keuangan,
2012
Keputusan anggaran tersebut
merupakan keputusan DPR/D dan Pemerintah (Daerah) yang dituangkan dalam UU
APBN atau Perda APBD. Namun untuk anggaran infrastruktur lebih didominasi oleh
kebijakan Pemerintah. Pendidikan merupakan hal utama dan mendasar dari skala
prioritas masyarakat, sehingga alokasi anggarannya pun harus lebih besar,
karena sektor pendidikan menyentuh seluruh aspek kehidupan masyarakat yang akan
berdampak terhadap kondisi ekonomi, sosial, dan politik jangka panjang.
Pemerintah selaku
eksekutor, bertugas untuk menjalankan kebijakan anggaran. Dalam penentuan
alokasi anggaran, seharusnya ada target-target yang akan dicapai. Namun, antara
kebijakan dengan relisasi alokasi seringkali tidak sesuai. Dengan demikian,
perencanaan anggaran pemerintah selalu menjadi pertanyaan dari tahun ke tahun.
Pada saat DPR menjalankan pengawasan, seringkali terjadi penyerapan anggaran
dan target pembangunan jauh dari yang ditentukan.
Bagaimana DPR menyikapi
ketidaksesuaian (mismatch) tersebut? Hal
ini merupakan tantangan karena perbedaan pandangan fraksi di DPR akan
menentukan mekanisme koreksi terhadap Pemerintah. Seperti diketahui, terdapat
gabungan “koalisi” dan “oposisi” di sistem parlemen kita, yang tidak
selalu sama dan konsisten antara “label” koalisi atau oposisi itu dalam praktek
pengambilan keputusan.
Disamping itu, hadirnya
kritik juga merupakan evaluasi atas kebijakan yang dijalankan dan dapat menekan
tingkat korupsi baik di tataran legislatif maupun eksekutif. Menurut The
Economist (2011), indeks demokrasi Indonesia berada pada peringkat 60, lebih
tinggi dibanding Malaysia, Filipina, Singapura, dan Myanmar, Kamboja, Laos, dan
Vietnam, sehingga Indonesia disebut Negara dengan tingkat demokrasi tertinggi
di ASEAN setelah Thailand. Namun demikian, fungsi Pemerintah masih mendominasi
demokrasi di Indonesia dengan partisipasi politik yang masih rendah.
Tabel 2.
Indeks Demokrasi Negara-Negara ASEAN tahun 2011
Sumber : The Economist, 2011
III.
DEMOKRASI KE DEPAN
Dengan mengacu pada
permasalahan yang mengemuka dalam sistem demokrasi di Indonesia, hal pertama yang harus dibenahi adalah
ruang pengawasan yang tepat bagi parlemen terutama di bidang anggaran. Anggota parlemen
merupakan representasi dari rakyat. Oleh karena itu, hal-hal yang menyangkut
kebutuhan rakyat akan disuarakan melalui wakilnya di DPR. Disisi lain,
kebutuhan daerah tidak akan banyak terpenuhi oleh APBD karena kemampuan APBD di
daerah-daerah sangat terbatas, bahkan di daerah yang kaya akan sumber daya
alam.
Kedua, perlu ada sistem check
and balances dari dalam tubuh partai koalisi. Apabila partai koalisi
dibentuk hanya untuk memperkuat posisi pemerintah sepenuhnya, maka sistem demokrasi akan
sia-sia dan dipertanyakan dalam implementasinya.
Ketiga, perlu adanya suatu kesepakatan antara fraksi-fraksi di DPR
dalam menekan tingkat korupsi, salah satunya dengan tegas dalam setiap
kebijakan yang menyangkut posisi penyerapan anggaran, realisasi penerimaan
negara, dan progress pembangunan.
Penerapan standar kinerja juga harus terus disuarakan di setiap komisi DPR
karena akan mendorong efisiensi anggaran. Artinya, tidak akan ada pihak yang
dirugikan dengan kebijakan tersebut karena insentif diberikan atas dasar
produktivitas kerja.
Keempat, seluruh fraksi di DPR harus mendorong penggunaan anggaran
pendidikan untuk meningkatkan kualitas peserta didik, dengan menyediakan sarana
dan prasarana yang dibutuhkan terutama di daerah-daerah terluar dan perbatasan.
Disamping itu, perlu adanya diskresi dalam penggunaan anggaran pendidikan untuk
riset yang dimulai dari tingkat SMP. Anggaran pendidikan yang sangat besar
apabila hanya digunakan untuk meningkatkan gaji pegawai maka akan berdampak
pada gini rasio yang semakin meningkat.
Kelima, seluruh fraksi di DPR sebaiknya terus menyuarakan peningkatan belanja
modal APBN untuk infrastruktur karena berkaitan dengan kelancaran arus
distribusi barang dan jasa serta menekan inflasi dari sisi supply. Infrastruktur merupakan sarana jangka panjang yang
akan mempertahankan kondisi perekonomian Indonesia ke depan.
IV.
PENUTUP
Untuk mencapai kesepakatan
atas suatu kebijakan, lobby politik merupakan hal yang sangat penting, karena
dengan lobby, kemampuan diplomasi partai politik dan pemerintah akan diuji,
serta menentukan apakah visi dan misi partai tertuang dalam kebijakan yang akan
disepakati. Lobby politik bukan arena mempertahanan kepentingan golongan,
karena dengan luasnya jangkauan masyarakat, seluruh kepentingan masyarakat akan
dikerucutkan dalam partai politik. Dengan pluralisme fraksi di DPR, maka
kepentingan publik akan lebih terakomodir dan mencerminkan azas demokrasi.
Namun, hal yang terpenting dari demokrasi adalah kekuatan politik harus
seimbang dengan fungsi pemerintah agar mekanisme check and balances berjalan secara terarah dan simultan.
[1]AusAID CConference “ Democracy and Debate: The Role of Knowledge”. Aryaduta Hotel, Jkt, 2 Oktober 2012.
[2] Wakil Ketua Komisi XI Keuangan dan Perbankan DPR RI (2010-2014),
Ketua Badan Anggaran DPR RI (2009-2010), Wakil Ketua Panitia Anggaran
(2008-2009), Anggota FPG DPR Dapil Kepulauan Riau, PhD Oklahoma State
University, Amerika Serikat (2000), lahir di Tanjungpinang (1956).
Langganan:
Postingan (Atom)