Senin, 18 April 2011

Makalah Utk Workshop Tenaga Ahli DPR RI, 25-27 April 2011

APBN dan Kesejahteraan Rakyat 2011

Harry Azhar Azis
Wakil Ketua Ketua Komisi XI DPR (2009-2014), Wakil Ketua Panitia Anggaran DPR (2008-2009) dan Ketua Badan Anggaran (2009-2010), PhD Oklahoma State University, USA (2000), Anggota FPG DPR Dapil Provinsi Kepulauan Riau, lahir Tanjungpinang, Kepri (1956).  Makalah Orientasi Tenaga Ahli DPR RI, 25-27 April 2011, di DPR RI Jakarta.

Pendapatan Negara dan Hibah

·         Pendapatan negara dan hibah tahun 2011 diperkirakan sebesar Rp.  1.086,4 T (15,5 persen terhadap PDB), atau mengalami kenaikan Rp. 94,0 T (9,5 persen) dari target APBN-P tahun 2010.  Sumber pendapatan negara dan hibah, utamanya berasal dari perpajakan dimana tahun 2011 diperkirakan sebesar Rp.  839,5 T atau terjadi kenaikan sebesar 12,94 persen dibandingkan APBN-P tahun 2010.  Karena itu,  tax rationya pada tahun 2011 diperkirakan sebesar 12 % atau terjadi kenaikan sebesar 0,1 % dibandingkan tahun sebelumnya yang 11,9 %.  Meski terjadi peningkatan, bila dibandingkan dengan prestasi sebelumnya, maka dapat dikatakan peningkatan tahun 2011 jauh lebih rendah.  Karena sepanjang periode 2005 hingga 2009,  rata-rata tax rasionya sebesar 12,52 persen.  Dengan kata lain, pemerintah tidak terlalu optimal dalam perpajakan di tengah meningkatnya Produk Domestik Bruto negara ini meskipun extra effort akan diberlakukan, baik melalui perbaikan administrasi perpajakan, penggalian potensi perpajakan, peningkatan pemeriksanaan pajak serta perbaikan mekanisme keberataan dan banding.  Bahkan kasus “gayus” belum dijadikan kebijakan baru dalam mekanisme antisisipasi “kebocoran” uang negara.

·         Sementara penerimaan negara bukan pajak (PNBP) diperkirakan sebesar  Rp. 243,1 T atau turun sebesar 1,66 persen dibandingkan APBN-P 2010 yang sebesar Rp. 247,2 T.   Sumber penurunan tersebut berasal dari penurunan penerimaan SDA (3,95 persen),  bagian laba BUMN  (9,83 persen) maupun PNBP lainnya (0,23 %).  Tahun 2011 nanti diperkirakan penerimaan SDA sebesar Rp. 158,2 T, bagian laba BUMN sebesar Rp. 26,6 T, dan PNBP lainnya sebesar Rp.  43,4 T.   Tiga sumber PNBP tersebut yang mengalami penurunan patut dicermati lebih mendalam.

·         Penurunan SDA Migas hingga 3,95 persen (Rp. 6,5 T) sangat mempengaruhi secara keseluruhan PNBP mengingat jumlahnya paling besar diantara PNBP lainnya.  Sumbernya dari penerimaan minyak bumi dan penerimaan gas bumi.  Penurunan tersebut disebabkan karena kurang adanya kenaikan komponen pengurang (pajak dan pungutan lainnya) yang digunakan sebagai dasar penerimaan SDA migas 2011 serta disebabkan pada APBN-P 2010, adanya pembayaran kepada PT Pertamina (persero) atas penggunaan bahan bakar minyak dan pelumas (BMS) oleh TNI.   Pemerintah harus dapat menjelaskan masalah ini mengingat terkait pula dengan Dana Bagi Hasil (DBH) yang juga mengalami penurunan hingga Rp. 7,6 T atau sebesar 8,48 persen. 

·         Penurunan bagian laba BUMN  pada tahun 2011 sebesar Rp. 26,6  T dari Rp. 29,5 T pada APBN-P 2010, tidak dijelaskan sama sekali alasannya dalam Nota Keuangan RAPBN 2011.  Karena itu, perlu kiranya pemerintah menjelaskan mengapa justru bagian laba BUMN turun meskipun tahun tersebut pemerintah justru akan menambah modal kerja BUMN dan merestrukturisasi beberapa diantaranya.

·         Lain halnya dengan PNBP secara umum yang menurun,   pendapatan Badan Layanan Umum (BLU) pada tahun 2011 diperkirakan sebesar Rp. 14,9 T atau terjadi kenaikan sebesar Rp. 5,4 T (56,84 %) dibandingkan APBN-P 2010.   Peningkatan cukup besar tersebut antara lain disebabkan oleh bertambahnya jumlah perguruan tinggi negeri yang menerapkan pola BLU dan telah diterapkannya pola pengelolaan BLU oleh seluruh rumah sakit Pemerintah.  Dari pelayanan pendidikan akan diperoleh sebesar Rp. 7,8 T, dan jasa pelayanan rumah sakit sebesar Rp. 3,9 T dan  pendapatan dari jasa penyelenggaraan telekomunikasi akan mencapai Rp. 1,4 T.   Meski demikian, dari berbagai penyelenggaraan layanan BLU, pemerintah tampaknya harus secara serius memperhatikan kualitas pelayanan publik, efesiensi pengelolaan keuangan BLU maupun transparansi dan akuntabilitas laporan keuangannya.  Jangan sampai, apa yang diperoleh tidak sebanding dengan nilai yang dirugikan kepada masyarakat selaku pengguna layanan BLU.


Belanja Negara

·         Total belanja negara tahun 2011 diperkirakan sebesar Rp. 1.202,0 T (17,2 persen terhadap PDB) atau meningkat Rp. 75,9 T atau 6,7 persen dari APBN-P 2010.  Belanja Pemerintah pusat dalam tahun 2011 direncanakan sebesar Rp. 823,6 T, yang berarti mengalami peningkatan Rp.  42,1 T atau 5,4 persen dari APBN-P 2010.   

Gambar 1.  Perkembangan Belanja Negara Tahun 2005-2011 (Trilyun Rupiah)
Keterangan : * APBN-P 2010
                      ** RAPBN 2011

·         Dalam komponen belanja pemerintah pusat tersebut,  belanja gaji pegawai diperkirakan tahun 2011 menjadi Rp. 180,6 T atau terjadi kenaikan sebesar Rp. 17,9 T  (11 persen).  Sementara untuk belanja barang naik sebesar Rp. 18,9 T atau diperkirakan menjadi Rp. 131,5 T dibandingkan APBN-P 2010.  Kenaikan yang paling besar justru terjadi pada belanja modal yakni Rp. 26,7 T (28,11 persen) dimana pada APBN-P 2010 nilainya hanya sebesar Rp. 95 T sementara tahun 2011 diperkirakan akan menjadi 121,7 T.  Kenaikan ini menunjukkan perhatian pemerintah terhadap kepentingan publik secara langsung.  Meski demikian, sejak tahun 2009 hingga tahun 2011,  jumlah belanja modal selalu dibawah selalu dibawah belanja barang.  Dengan kata lain, pemerintah tidak  terlalu serius mengarahkan anggarannya untuk modal pembangunan ketimbang melayani kebutuhan untuk kepentingan pemerintah saja. Bahkan anggaran pemerintah pusat sebagian besar didominasi oleh pengeluaran yang sifatnya wajib (nondiscretionary spending) yang meliputi belanja pegawai, pembayaran bunga utang, subsidi dan sebagian belanja barang.

·         Sementara untuk subdisi, pada tahun 2011 diperkirakan sebesar Rp. 184,8 T atau turun sebesar Rp. 18,9 T bila dibandingkan APBN-P 2010 yang sebesar Rp. 201,3 T.  Subsidi tersebut terddiri dari subsidi energi sebesar 72,4 persen, yaitu subsidi BBM sebesar 50,2 persen dan subsidi listrik sebesar 22,2 persen, sedangkan sisanya, yaitu sebesar 27,6 persen akan disalurkan untuk subsidi non-energi, yaitu: (1) subsidi pangan; (2) subsidi pupuk; (3) subsidi benih; (4) bantuan/subsidi PSO; (5) subsidi bunga kredit program; dan (6) subsidi pajak.  Jumlah subsdi tersebut bila dibandingkan dengan rata-rata subsidi selama 5 tahun terakhir (2005-2009) yang sebesar Rp. 158,36 T masih jauh lebih besar.  Besaran subsidi banyak disebabkan oleh fluktuasi harga minyak dunia. 

·         Pada anggaran subsidi BBM jenis tertentu dan LPG Tabung 3 Kilogram dalam RAPBN 2011 mencapai Rp. 92,8 T (1,3 persen terhadap PDB). Jumlah ini berarti mengalami kenaikan sebesar Rp. 3,9 T atau 4,4 persen bila dibandingkan dengan anggaran belanja subsidi BBM jenis tertentu dan LPG Tabung 3 Kilogram dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp88,9 T (1,4 persen terhadap PDB). Peningkatan beban anggaran subsidi BBM jenis tertentu dan LPG Tabung 3 Kilogram dalam RAPBN 2011 tersebut, berkaitan dengan perubahan alpha BBM, volume konsumsi BBM jenis tertentu, dan volume konversi minyak tanah ke LPG tabung 3 Kg serta parameter-paramter lainnya.  Karena itu, beberapa hal yang patut untuk dipertanyakan adalah sejauhmana masyarakat akan menerima kenaikan harga khususnya pada LPG tabung 3 Kg.  Beberapa scenario simulasi harga tampaknya harus disajikan pemerintah sehingga masyarakat bawah justru tidak terbebani dengan program konversi tersebut.   Pemerintah juga perlu melakukan pembatasan kategori pengguna BBM bersubsidi serta pembatasan serta pembatasan volume. 

·         Pada anggaran subsidi listrik dalam RAPBN tahun 2011 direncanakan sebesar Rp. 41,0 T (0,6 persen terhadap PDB). Jumlah ini berarti lebih rendah sebesar Rp. 14,1 T, atau 25,6 persen dari beban anggaran belanja subsidi listrik dalam tahun 2010 sebesar Rp55,1 T (0,9 persen terhadap PDB).  Lebih rendahnya alokasi anggaran subsidi listrik dalam RAPBN tahun 2011 tersebut, terutama berkaitan dengan rencana penyesuaian TDL sebesar 15 persen, yang akan diberlakukan mulai awal tahun 2011.  Meski demikian,  beberapa hal yang patut menjadi perhatian adalah asumsi dan parameter penghitungannya margin usaha PT. PLN yang sebesar 8 persen tampaknya tidak sebanding dengan penyesuaian TDL 15 persen.  Pemerintah perlu menurunkan kenaikan TDL tersebut dengan upaya internal PLN yang pelayanannya jauh dari memuaskan.

·         Pada komponen belanja pusat, pembayaran bunga utang dimana biasanya lebih besar dari belanja modal, namun pada tahun 2011 nanti diperkirakan jauh lebih kecil.  Pembayaran bunga utang diperkirakan hanya sebesar Rp. 116,4 T atau meningkat   Rp. 10,7 T (10,12 persen) dibandingkatn APBN-P 2010.  Bahkan, sepanjang pertumbuhan rata-rata periode 2005-2010,  pembayaran bunga utang hanya tumbuh sebesar 10,36 persen.  Bandingkan dengan belanja pegawai yang dalam periode yang sama tumbuh rata-rata sebesar 24,74 persen, belanja barang sebesar 32,70 persen, belanja modal sebesar 25,34 persen,  belanja social sebesar 25,21 dan subsidi sebesar 21,59 persen serta belanja lain-lain sebesar 11,78 persen.

·         Pada alokasi anggaran bantuan social tahun 2011 direncanakan sebesar Rp. 61,5 T (0,9 persen terhadap PDB) atau terjadi penurunan sebesar Rp. 9,6 T (13,6 persen) bila dibandingkan APBN-P tahun 2010 sebesar Rp71,2 T (1,1 persen terhadap PDB).  Alokasi anggaran bantuan sosial dalam tahun 2011 tersebut, terdiri dari: (1) alokasi dana penanggulangan bencana alam sebesar Rp. 4,0 T, dan (2) alokasi bantuan sosial yang disalurkan melalui kementerian negara/lembaga sebesar Rp. 57,5 T. Alokasi dana penanggulangan bencana alam dalam RAPBN tahun 2011 tersebut berarti lebih tinggi Rp. 207,2 miliar atau 5,5 persen dari pagu anggaran penanggulangan bencana alam yang ditetapkan dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp. 3,8 T.

·         Anggaran transfer ke daerah dalam tahun 2011 direncanakan sebesar Rp. 378,4 T, yang berarti naik Rp. 33,8 T atau 9,8 persen dari  APBN-P 2010.  Salah satu komponen transfer daerah yakni dana perimbangan, tahun 2011 direncanakan sebesar Rp. 329,1 T yang berarti naik Rp. 14,7 T atau sebesar 4,68 persen dari APBN-P 2010.  Sementara dana otonomi khusus dan penyesuaian juga diperkirakan menjadi  Rp. 49,3 T atau naik sebesar Rp. 19,1 T (63,25 persen) dibandingkan APBN-P 2010.  Peningkatan tersebut terkait dengan adanya komponen baru pada pos Dana Penyesuaian, yaitu bantuan operasional sekolah (BOS) yang merupakan realokasi dari Belanja Pemerintah Pusat ke Transfer ke Daerah.

·         Pada komponen dana perimbangan lainnya yakni Dana Alokasi Umum (DAU) maupun Dana Alokasi Khusus (DAK) akan mengalami peningkatan, sementara Dana Bagi Hasil (DBH)  justru mengalami penurunan.  DAU pada tahun 2011 akan meningkat sebesar 8,99 persen (Rp. 18,3 T)  dibandingkan APBN-P 2010 yang sebesar Rp. 203,6 T sehingga tahun 2011 menjadi Rp. 211,9 T.   Berdasarkan hasil pembahasan antara DPR RI dan Pemerintah dalam rangka Pembicaraan Tingkat I/Pembahasan RUU tentang APBN Tahun Anggaran 2011, maka besaran alokasi DAU dalam RAPBN 2011 direncanakan sebesar 26 persen dari PDN neto, atau mencapai Rp. 221,9 T (3,2 persen terhadap PDB). Jumlah tersebut, secara nominal lebih tinggi Rp.  29,4 T jika dibandingkan dengan alokasi DAU murni dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp. 192,5 T. Alokasi DAU dalam RAPBN 2011 tersebut, sebesar Rp. 22,2 T (10 persen dari total DAU nasional) akan didistribusikan untuk provinsi dan sebesar Rp. 199,7 T (90 persen dari total DAU nasional) akan didistribusikan kepada kabupaten/kota. Alokasi DAU tahun 2011 akan ditransfer ke kas daerah setiap awal bulan sebesar 1/12 dari besaran alokasi.   Walaupun jumlahnya meningkat namun mengingat sebagian DAU dipergunakan untuk gaji pegawai maka ruang gerak fiscal daerah semakin terbatas.  Kenaikan gaji pegawai – baik karena adanya rekruitmen baru PNS maupun gaji ke 13 plus 10 % -- tidak sebanding dengan kenaikan jumlah DAU yang diterima oleh daerah.  Pemerintah perlu mengkaji ulang kebijakan-kebijakan yang justru menjadikan kontra produktif bagi daerah untuk menjadi pengambil kebijakan dan program-program di daerah.

·         Kemudian, DAK pada tahun 2011 akan menjadi Rp. 25,2 T yang berarti naik sebesar Rp. 4,1 T atau 19,43 % dibandingkan APBN-P 2010.   Prosentase kenaikan DAK yang cukup besar menandakan bahwa mulai banyak alokasi dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang dapat dialihkan menjadi DAK serta adanya jenis baru kegiatan pemerintah pusat yang dapat di DAK kan.  Masalahnya adalah dengan aturan teknis DAK yang terlambat sampai kedaerah dan tidak sesuai dengan kondisi daerah justru mengakibatkan kegiatan-kegiatan DAK menjadi salah sasaran maupun inefesiensi dalam pengalokasian anggaran DAK.  Pemerintah perlu melakukan evaluasi mendalam tentang implementasi DAK yang tidak lagi sejalan dengan kebutuhan daerah meskipun mandatnya adalah melaksanakan amanat RPJM.

·         Sementara DBH pada tahun 2011 diperkirakan akan menjadi Rp. 82 T yang berarti turun sebesar Rp. 7,6 T atau -8,48 persen.   Penurunan DBH dalam RAPBN 2011 tersebut disebabkan oleh lebih rendahnya alokasi DBH Pajak karena adanya pengalihan BPHTB menjadi pajak kabupaten/kota, serta lebih rendahnya alokasi DBH SDA terutama karena menurunnya target penerimaan minyak bumi dan gas bumi yang dibagihasilkan. Alokasi DBH tahun 2011 tersebut terdiri dari alokasi DBH Pajak sebesar 49,4 persen dan alokasi DBH SDA sebesar 50,6 persen.  Khusus mengenai DBH SDA, pemerintah perlu melihat kembali penurunan lebih disebabkan karena lifting minyak menurun ataukah persoalan yang menyangkut karena kurang adanya kenaikan komponen pengurang (pajak dan pungutan lainnya) yang digunakan sebagai dasar penerimaan SDA migas 2011 serta disebabkan pada APBN-P 2010, adanya pembayaran kepada PT Pertamina (persero) atas penggunaan bahan bakar minyak dan pelumas (BMS) oleh TNI ?  Jika alasannya adalah yang pertama maka wajar jika daerah turut mengalami penurunan DBH namun jika alasan kedua yang dipergunakan maka apakah daerah penghasil juga wajib menanggungnya ? Tentu tidak beralasan kalau daerah juga ikut menanggung semuanya.


Defisit dan Pembiayaan

·         Defisit anggaran diperkirakan sebesar Rp.  115,7 T (1,7 persen terhadap PDB). Jumlah ini lebih kecil dibandingkan deficit pada APBN-P 2010 yang sebesar Rp. 133,7 T atau terjadi penurunan deficit  sebanyak Rp. 18 T atau turun sebesar 13,46 persen dibandingkan APBN-P 2010.    Pembiayaan dari sumber non-utang (secara neto) dalam tahun 2011 direncanakan sebesar negative Rp. 7,8 T, atau 0,1 persen terhadap PDB, sedangkan pembiayaan anggaran yang bersumber dari utang (secara neto) direncanakan mencapai Rp. 123,5 T atau 1,8 persen terhadap PDB. Dengan demikian, dalam tahun 2011 pembiayaan utang masih menjadi sumber utama pembiayaan APBN.  Kebijakan ini sepatutnya perlu dievaluasi kembali mengingat sumber pembiayan utang melalui penerbitan SBN harus dapat dikendalikan dan jangan sampai gagal.  Ancaman ini akan terjadi apabila banyak negara, khususnya Eropa, melakukan penambahan utang guna menyelematkan perekonomiannya. Di samping tentunya potensi terjadinya crowing out effect yang berakibat pada sulitnya mencari pembiayaan dari pasar dan makin mahalnya biaya yang harus ditanggung.

·         Dalam RAPBN tahun 2011 ini, kebutuhan pengeluaran pembiayaan yang harus dipenuhi diperkirakan mencapai Rp. 160,4 T (2,3 persen terhadap PDB).  Dengan kata lain, seluruh kebutuhan penerimaan pembiayaan (bruto) yang diperlukan dalam tahun 2011 akan mencapai Rp. 276,1 T. Pemerintah diperkirakan hanya mampu memenuhi sekitar 3,1 persen dari seluruh kebutuhan penerimaan pembiayaan bruto, karena keterbatasan sumber dan jumlahnya.  Mau tak mau pemerintah dalam tahun 2011 harus mencari  Rp. 267,6 T (1,8 persen terhadap PDB). Jumlah ini meliputi penerbitan SBN sebesar Rp. 209,5 T, penarikan pinjaman dalam negeri sebesar Rp 1,0 T, dan penarikan pinjaman luar negeri sebesar Rp. 57,1 T.   Sekali lagi, diwaspadai bahwa ketergantungan terhadap instrument SBN akan juga memiliki sisi lemah, seperti yang disebutkan diatas.


Lampiran – lampiran

Tabel 1. Asumsi Ekonomi Makro 2005 - 2011
Sumber : Kementerian Keuangan, 2011



Tabel 2. Postur APBN 2005 - 2011
Sumber : Kementerian Keuangan, 2011

Speech at Oklahoma St Univ, USA, March 25th, 2011

The Economist  as Politician
Dr Harry Azhar Azis

PhD from OSU in 2000 and now Co-Chairman of Committee XI (Financel and Banking Affairs) of
 the House of Representatives of the Republic  of Indonesia (DPR RI), March 25th, 2011,
 410 Ag Hall, Oklahoma State University, Stillwater, OK

Distinguished Professors and colleague students, and friends,
Distinguished Ladies and Gentlemen,
This is a great honor to be here again and invited by Dr David M Henneberry, Interim Associate Vice-President of OSU, Dr Brian Adam and Dr Dan Tilley. I have to honestly says that Dr Henneberry, Dr Adam and Dr Tilley as my major adviser have been great Gurus for me when I was here as an OSU student. They and all other Professors at OSU had really taught me a great deal of knowledge as power to change the world for the betterment. This power of knowledge now helps me a lot in doing my job as a politician and legislature of the country. They are all parts of my destiny.
I come from a relatively low-income class of family, where my father only had an high school of education and my mother finished her middle school. we are a big family. I am the 6th son of 10 children from our parents. However, they always encouraged me to go thru higher level of education as high as I can pursue. For my parents to have a good education for their children are everything. Everything-else for a good life will follow after that. Now, i do the same things for my three-kids as my parents had taught me. I grew up until middle school in a small city called Tanjung Pinang located in a Bintan island, one from 5 big islands along with other 3000 small islands that since 2002 become the 30th province of Indonesia named the province of Riau Islands. Indonesia now has 33 provinces that consisted of 491 cities and regencies (kabupaten). These all 524 provinces, cities and kabupaten are called local governments. Local government consists of local administrations and local parliaments. Compared to the era before democracy, since 1999 these local governments are relatively more decentralized in political term. However, as the budget concern, about 44% of the provinces’ and 15% of the cities’ and regencies’ budgets are still come from central govornment’s budget. The rest comes from local tax revenues and levies such as tax on vehicles, properties and land-uses.

When I was still in stillwater, Indonesia has dramatically changed into a new era of democracy after the fall of President Soeharto regime on May 21st, 1998. Soeharto was the founding father of Golkar which is now called Partai Golkar, and which is sometimes called Golkar with new paradigm. The first democratic election was in  July 7, 1999, with 48 parties running for legislature seats.  In the 2004 general election, 10 parties won and shared the national parliament seats.  Although my party, Partai Golkar, had won the biggest numbers of seat (24%) in the 2004, this was down from 71% in the 1997 election while President Soeharto still in power. I got elected for the first time in 2004 and re-elected in the 2009 election, where the seats of the parliament increase from 550 (2004) to 560 (2009) because of inceased population and election districts. I represent district of Riau Islands in the National Parliaments and from Partai Golkar. Golkar is one of three big parties: Partai Demokrat (PD), Partai Golkar (PG) and Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), that won in the 2009 election. President Susilo Bambang Yudhoyono is from Partai Demokrat. PDIP had two presidents, Soekarno, one of the founding fathers of Indonesia (from 1945 to 1966) and Megawati Soekarnoputri (July 23, 2001 to October 24, 2004). Since its independence in 1945, Indonesia has produced six Presidents and many Primes Ministers during 1950s.

.It is not an easy entry to come to a politcal arena. As in bussiness environment, political area is more uncertainty. After graduating from Oklahoma State University in 2000, I started again my career as a profesor in many universities in Jakarta, including the University of Indonesia teaching master degree programs. I worked also as an economist at United States Agency for International Development (USAID) based in Jakarta from 2002 to 2003 and then also a member of the Constitution Commitee of The Indonesian National Assembly (MPR). Starting as a member of parliament in 2004, I was appointed by the party to be the member of Committe XI which is in charge for finance, banking, development planning and supervision for the national budget affairs. Because I am the only one among the party’s MPs that holds PhD degree from a US University and maybe because I was an activist during my university training in Indonesia (actually I was the President of the National Board of Muslim Student Movement-HMI from 1983-1986), from 2007 I was appointed to Co-Chairman of the Budget Committee of the Parliament then in 2009 become the Chairman of Budget Committee and then up to present Co-Chairman of Committe XI.
My background as an economist, of course, and thanks to OSU, benefits a lot to handle my daily jobs as the Member of Parliament. The country’s constitution mandated all of us who are in key positions of making laws and regulations to presribe all policies and allocate budget properly and fairly to all people so to increase the welfare of all people across the country. Indonesia economic growth has increased steady since the era of democracy. Control of morel people now to those elected persons, whether in government and/or in parliament, increases surprisingly. You do not need just popularity, but also a competency of providing regulation and budget spending to the immediate needs of the people you serve.

As an economist, I am so familiar with the term of efficiency, optimality and equilibirum with the constraints of the country’s resources. We have abundant of natural resources, but still lack of human skills and of economic infrastructures. We have to choose for what is called priority from one to the other policies and budget spendings. Reform in bureaucracy is now undertaken to be more poductive and friendly work to serve the country. About 20% of total budget are spent for the salary of  government officials (about 4.5 millions) across the country, but the productivity of these officials is only about half compared to the neighbor conutries. These figures are bigger for spending on the development of infrastructures and even spending on poverty programs. Our challenges is not only domestic but also global. For domestic needs such as the needs to increase economic infrastructures so economic transaction costs could be lower and mobility of people and goods and services increases as well. About 36% of total population (230 millions) are still under poverty level. Unemployment rate still big as almost 8%, but disgiused unemployment are bigger. From total labor force, for about 110 millions, about 67% of them are working in informal sectors, only 33% counted working in formal sectors. The pictures could be extended to many areas, regions and sectors. My main visions are to make all regulations and budget of the country to be more governance, more accountable and measurable for each policies and budget spendings.

I like to finish my speech so we will have time for discussion. Thank you.

Senin, 28 Februari 2011

ATBI dan APBN 2008, dimuat Hr Suara Karya, 27 November 2007

http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=187613


ATBI 2008 dan APBN 2008
Harry Azhar Azis·

Proses pembahasan dan persetujuan atas Anggaran Tahunan Bank Indonesia (ATBI) diatur UU Nomor 3/2004 tentang BI,  berbeda dengan APBN menurut UU Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara. Posisi BI sejak Perubahan Ke Empat Tahun 2002 atas UUD 1945 terlihat lebih kuat, bukan lagi bagian dari pemerintah, seperti tercantum pada Pasal 23D, yang menyatakan Negara memliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tangungjawab, dan independensinya diatur dengan UU.

Perbedaan pertama APBN dan ATBI adalah soal mekanisme persetujuan. Dalam Pasal 15 ayat 6 UU 17/2003, bila DPR tidak menyetujui R-APBN, Pemerintah Pusat dapat melakukan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBN tahun anggaran sebelumnya. Dalam Pasal 60 ayat 3 UU 3/2004, ATBI disampaikan kepada DPR untuk mendapat persetujuan. Penjelasan pasal ini menyatakan persetujuan diberikan melalui konsultasi dengan komisi (DPR) yang membidangi BI dan perbankan selambat-lambat 31 Desember tiap tahun anggaran. Apabla setelah tanggal 31 Desember belum mendapat persetujuan, anggaran yang diusulkan (BI) dianggap disetujui. BI dapat menikmati anggarannya walau belum disetujui DPR, sementara pemerintah harus kembali ke anggarannya tahun lalu bila tidak disetujui DPR.

Perbedaan kedua, wilayah persetujuan. Dalam Pasal 11 ayat  2 UU 17/2003, APBN meliputi anggaran pendapatan, belanja dan pembiayan. Pendapatan meliputi penerimaan pajak, bukan pajak dan hibah. Belanja meliputi belanja pemerintah pusat dan dana perimbangan pusat dan daerah yang dirinci menurut fungsi, organisasi dan jenis belanja. Defisit atau surplus, termasuk yang harus mendapat persetujuan DPR. APBN 2008 yang telah disetujui DPR meliputi total penerimaan Rp 781,4 T dan belanja Rp 854,7T serta defisit Rp 73,3T. Pasal 60 ayat 2 UU 3/2004 membedakan ATBI atas anggaran oprasional dan anggaran kebijakan moneter, sistem pembayaran, serta pengaturan dan pengawasan perbankan. Anggaran operasional dimintakan persetujuan DPR, sementara anggaran kebijakan moneter cukup dilaporkan ke DPR secara tertutup. Tidak ada penjelasan apa efek hukumnya bila anggaran ini tidak disetujui DPR. ATBI 2008 yang diajukan BI ke DPR, meliputi Anggaran Operasional BI sebesar Rp 26,4T (penerimaan) dan Rp 5,2T (pengeluaran) sehingga terjadi surplus Rp 21,2T. Sementara anggaran kebijakan BI Rp 0,6T (penerimaan) dan Rp 29,9T (pengeluaran) sehingga defisit Rp 29,3T. Bila dijumlah, ATBI 2008 mengalami defisit Rp 8,1T.

Bila dalam konteks APBN, kedudukan DPR tampak lebih kuat dari Pemerintah, tidak demikian kepada BI dalam hal ATBI. Pemerintah sebagai otoritas fiskal dan BI otoritas moneter, menurut UU 17/2003 dan UU 3/2004, memang diwajibkan saling berkoordinasi. Kedudukan pengawasan DPR kepada kedua otoritas ini seharusnya tidak boleh dibuat diskriminatif bila koordinasi ke dua lembaga negara ini diharapkan menghasilkan peran yang optimal dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat.   


· Anggota Komisi XI (Keuangan, Perbankan dan Perencanaan Pembangunan) DPR RI.

Selasa, 15 Februari 2011

BI Rate Naik: Siapa Untung dan Rugi, Harry Azhar Azis, dimuat Harian Bisnis Indonesia 14 Feb 2011


BI Rate Naik: Siapa Untung dan Rugi
Harry Azhar Azis
Wakil Ketua Komisi XI DPR RI


Dewan Gubernur Bank Indonesia (DG BI) pada tanggal 4 Februari lalu akhirnya menaikkan BI rate dari 6,5% menjadi 6,75%. Walau sebelumnya BI telah memberi sinyal tentang kemungkinan perubahan kebijakan BI rate itu, keputusan BI  rate naik tetap saja mengejutkan. Penjelasan BI tentang kenaikan BI rate ini merujuk pada inflasi tinggi terutama bahan makanan pokok. Pasal 7 UU 3/2004 tentang BI  mengamatkan BI untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, yang diukur dengan tingkat inflasi dan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing. Walau UU BI menegaskan tanggungjawab BI menjaga inflasi, kenyataannya tidak semua faktor penyumbang inflasi mampu dikontrol oleh BI. Karena itu, pada Pasal 10 ayat 1 huruf a UU BI menyatakan BI berwenang menetapkan sasaran moneter dengan memperhatikan laju inflasi. Penjelasan Pasal ini menyatakan bahwa sasaran laju inflasi ditetapkan oleh Pemerintah dan berkoordinasi dengan BI.

Tiap tahun penetapan target inflasi dituangkan dalam UU APBN/P yang merupakan kesepakatan antara pemerintah dan DPR. Inflasi yang ditetapkan melalui UU inilah yang menjadi kebijakan negara dan sekaligus sebagai rujukan pelaksanaan kebijakan bagi Pemerintah dan juga BI dalam mengendalikan inflasi. Walau koordinasi Pemerintah dan BI dalam mengendalikan inflasi telah dibentuk Tim Pengendali Inflasi (TPI), bahkan kini dikembangkan menjadi Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID), ternyata tidak pernah jelas diketahui pola peran dan tanggungjawab antara Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah serta BI bila target inflasi yang  ditetapkan UU APBN/P gagal dicapai. Sebagai contoh, ketika inflasi 2010 mencapai 6,96% padahal UU 2/2010 tentang APBN-P 2010 menetapkan target asumsi inflasi 5,3%, Pemerintah dan BI terkesan melepas tangggungjkawabnya.

Inflasi dan BI rate
Karena itu, penjelasan BI  bahwa keputusan menaikkan BI rate karena inflasi tinggi patut dipertanyakan. Bila logika ini diterima, kegagalan BI (dan Pemerintah) dalam mengemban tanggungjawab pengendalian inflasi apakah layak diatasi dengan menaikkan BI rate? Sampai berapa besar perbedaan tingkat inflasi dan BI rate sehingga keputusan menaikkan BI rate telah mencapai momen yang tepat  dalam suatu kondisi perekonomian? Kecuali BI mampu menjelaskan kenaikan BI rate akan menurunkan tingkat inflasi pada fase berikutnya, dengan prediksi transmisi kebijakan yang akurat, kenaikan BI rate mungkin dapat dipahami. Pengelolaan BI rate selama tahun 2011 wajib merujuk kepada UU APBN 2011 yang menetapkan SBI sebesar 6,5%. Artinya, kebijakan BI rate selama tahun 2011 tidak mungkin terus dinaikkan kecuali DG BI bersedia dianggap tidak mampu memenuhi perintah UU. Bila nanti terjadi perubahan keputusan politik negara atas UU APBN 2011 dimana DPR dan Pemerintah sepakat mengubah besaran SBI dalam asumsi makro ekonomi, pengelolaan BI rate tetap harus merujuk kepada besaran perbahan itu.   

Ternyata hubungan tingkat inflasi dan BI rate tidak pernah berlaku konsisiten. BI tampaknya perlu menjelaskan seberapa besar peran tingkat inflasi bagi keputusan kebijakan BI rate? Apakah ada faktor lain,  apa saja dan mengapa? Mungkinkah keputusan menaikkan BI rate disebabkan oleh desakan pelaku ekonomi untuk mencapai kepentingan tertentu? Di tahun 2005, ketika inflasi begitu tinggi (17,1%), posisi BI rate (12,75%) justru bersifat negatif terhadap inflasi. Ketika inflasi tahun 2008 mencapai 11,1%, padahal target inflasi pada APBNP 2008 hanya 6,5%, BI rate bertahan pada 9,5%. Yang menarik, di tahun tersebut, suku bunga bank sentral beberapa negara justru menurun, tetapi BI malah menaikkan BI ratenya dari 8,75% (Juni 2008) menjadi 9,5% (Oktober 2008), walau diturunkan lagi menjadi 9,25% (Desember 2008). Ketika tingkat inflasi tahun 2009 sangat rendah yaitu 2,78%, jauh melampaui target UU APBN-P 2009 (4,5%) menurun dari UU APBN 2009 (6,2%), BI rate tetap bertahan pada posisi 6,5%. Mengapa ketika tingkat inflasi rendah BI tidak menurunkan BI rate-nya? Kini, BI rate dinaikkan menjadi 6,75% setelah inflasi Januari meningkat 7,02% (yoy).

Siapa Untung dan Rugi?
Respon Pemerintah yang segera menahan bank-bank BUMN agar tidak menaikkan suku bunga pinjaman patut dihargai. Berapa lama bank-bank BUMN mampu bertahan tidak menaikkan suku bunganya tetap menjadi pertanyaan. Dalam Rapat Dengar Pendapat tanggal 7 Februari antara Komisi XI DPR dan Direksi Bank BRI, dijelaskan bahwa BRI akan kehilangan net interest margin 0,11% bila tidak menaikkan tingkat suku bunga pinjamannya. Dengan tidak menaikkan suku bunga pinjaman, bank-bank BUMN tidak mungkin menaikkan suku bunga simpanannya kecuali bersedia mengurangi potensi laba. Seterusnya, akan terjadi perpindahan dana pihak ketiga (DPK) dari bank-bank BUMN ke bank swasta domestik dan asing bila bank-bank non-BUMN menaikkan suku bunga simpanannya. Peluang migrasi DPK ternyata juga didukung oleh keputusan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dengan menaikkan suku bunga penjaminan dari 7% menjadi 7,25% yang berlaku mulai 15 Februari 2011.

Kenaikan BI rate berpotensi memberatkan anggaran kebijakan BI tahun 2011 (Rp 45 triliun) karena beban SBI bertambah. Capital inflow meningkat yang dalam jangka pendek tentu lebih menyentuh sektor portofolio daripada sektor riel. Karena itu, koordinasi BI dan otoritas fiskal bukan sekedar menahan suku bunga bank-bank BUMN, tetapi membuat capital inflow bertransformasi menjadi proyek pembangunan infrastruktur maupun direct investment. Sisi supply bertambah, tingkat inflasi kembali turun, lapangan kerja baru tercipta sehingga angka pengangguran dan kemiskinan berkurang. Tetapi, bila motifnya spekulasi, arus dana masuk itu akan bertahan di sektor portofolio yang mendorong naiknya suku bunga dan yield. Biaya produksi dan transaksi melonjak, daya saing menurun, potensi supply mengecil, inflasi naik dan akhirnya pemutusan hubungan kerja (PHK) tidak terelakkan. Angka pengangguran dan kemiskinan meningkat.
Agenda Kebijakan
Hari ini, 14 Februari, Komisi XI DPR yang membidangi Keuangan dan Perbankan memanggil resmi Gubernur BI agar menjelaskan alasan kebijakan BI rate, baik faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan maupun dampak perubahannya pada perekonomian. Penjelasan kuat dan rasional akan mengurangi tekanan DPR atas kebijakan yang telah diambil. Komisi XI DPR telah beberapa kali mengingatkan Bank Indonesia agar mempertahankan BI rate bila mungkin malah diturunkan. Diskusi substantif atas kebijakan BI rate selayaknya tidak boleh lagi hanya dipahami dalam ruang rapat DG BI, ia harus menjadi wacana masyarakat umum yang tidak hanya menguntungkan para pemilik modal tetapi juga seharusnya memperbesar potensi pembangunan perekonomian nasional. Mereka yang mewakili kepentingan pemilik modal tentu selalu berusaha menekan BI rate naik atau minimal mempertahankannya pada posisi tinggi walaupun kecenderungan suku bunga regional dan global menurun. Dengan begitu, cara memperoleh keuntungan dipermudah, tanpa perlu meningkatkan value-added perekonomian, cukup dengan migrasi dana dari negara bersuku bunga rendah ke negara bersuku bunga tinggi, seperti Indonesia. Mereka yang pro strategi pembangunan sustainable-welfare state melihat kebijakan BI rate seharusnya mampu memperbesar peluang terciptanya enterpreneurship lebih-lebih pada sektor UMKM. Karena sektor inilah yang memiliki potensi besar, yang bila dikembangkan dengan serius, mampu menurunkan angka pengangguran secara signifikan. Inilah tujuan negara ini dibentuk, semua kebijakan institusi negara harus mampu menciptakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.