Senin, 18 April 2011

Makalah Utk Workshop Tenaga Ahli DPR RI, 25-27 April 2011

APBN dan Kesejahteraan Rakyat 2011

Harry Azhar Azis
Wakil Ketua Ketua Komisi XI DPR (2009-2014), Wakil Ketua Panitia Anggaran DPR (2008-2009) dan Ketua Badan Anggaran (2009-2010), PhD Oklahoma State University, USA (2000), Anggota FPG DPR Dapil Provinsi Kepulauan Riau, lahir Tanjungpinang, Kepri (1956).  Makalah Orientasi Tenaga Ahli DPR RI, 25-27 April 2011, di DPR RI Jakarta.

Pendapatan Negara dan Hibah

·         Pendapatan negara dan hibah tahun 2011 diperkirakan sebesar Rp.  1.086,4 T (15,5 persen terhadap PDB), atau mengalami kenaikan Rp. 94,0 T (9,5 persen) dari target APBN-P tahun 2010.  Sumber pendapatan negara dan hibah, utamanya berasal dari perpajakan dimana tahun 2011 diperkirakan sebesar Rp.  839,5 T atau terjadi kenaikan sebesar 12,94 persen dibandingkan APBN-P tahun 2010.  Karena itu,  tax rationya pada tahun 2011 diperkirakan sebesar 12 % atau terjadi kenaikan sebesar 0,1 % dibandingkan tahun sebelumnya yang 11,9 %.  Meski terjadi peningkatan, bila dibandingkan dengan prestasi sebelumnya, maka dapat dikatakan peningkatan tahun 2011 jauh lebih rendah.  Karena sepanjang periode 2005 hingga 2009,  rata-rata tax rasionya sebesar 12,52 persen.  Dengan kata lain, pemerintah tidak terlalu optimal dalam perpajakan di tengah meningkatnya Produk Domestik Bruto negara ini meskipun extra effort akan diberlakukan, baik melalui perbaikan administrasi perpajakan, penggalian potensi perpajakan, peningkatan pemeriksanaan pajak serta perbaikan mekanisme keberataan dan banding.  Bahkan kasus “gayus” belum dijadikan kebijakan baru dalam mekanisme antisisipasi “kebocoran” uang negara.

·         Sementara penerimaan negara bukan pajak (PNBP) diperkirakan sebesar  Rp. 243,1 T atau turun sebesar 1,66 persen dibandingkan APBN-P 2010 yang sebesar Rp. 247,2 T.   Sumber penurunan tersebut berasal dari penurunan penerimaan SDA (3,95 persen),  bagian laba BUMN  (9,83 persen) maupun PNBP lainnya (0,23 %).  Tahun 2011 nanti diperkirakan penerimaan SDA sebesar Rp. 158,2 T, bagian laba BUMN sebesar Rp. 26,6 T, dan PNBP lainnya sebesar Rp.  43,4 T.   Tiga sumber PNBP tersebut yang mengalami penurunan patut dicermati lebih mendalam.

·         Penurunan SDA Migas hingga 3,95 persen (Rp. 6,5 T) sangat mempengaruhi secara keseluruhan PNBP mengingat jumlahnya paling besar diantara PNBP lainnya.  Sumbernya dari penerimaan minyak bumi dan penerimaan gas bumi.  Penurunan tersebut disebabkan karena kurang adanya kenaikan komponen pengurang (pajak dan pungutan lainnya) yang digunakan sebagai dasar penerimaan SDA migas 2011 serta disebabkan pada APBN-P 2010, adanya pembayaran kepada PT Pertamina (persero) atas penggunaan bahan bakar minyak dan pelumas (BMS) oleh TNI.   Pemerintah harus dapat menjelaskan masalah ini mengingat terkait pula dengan Dana Bagi Hasil (DBH) yang juga mengalami penurunan hingga Rp. 7,6 T atau sebesar 8,48 persen. 

·         Penurunan bagian laba BUMN  pada tahun 2011 sebesar Rp. 26,6  T dari Rp. 29,5 T pada APBN-P 2010, tidak dijelaskan sama sekali alasannya dalam Nota Keuangan RAPBN 2011.  Karena itu, perlu kiranya pemerintah menjelaskan mengapa justru bagian laba BUMN turun meskipun tahun tersebut pemerintah justru akan menambah modal kerja BUMN dan merestrukturisasi beberapa diantaranya.

·         Lain halnya dengan PNBP secara umum yang menurun,   pendapatan Badan Layanan Umum (BLU) pada tahun 2011 diperkirakan sebesar Rp. 14,9 T atau terjadi kenaikan sebesar Rp. 5,4 T (56,84 %) dibandingkan APBN-P 2010.   Peningkatan cukup besar tersebut antara lain disebabkan oleh bertambahnya jumlah perguruan tinggi negeri yang menerapkan pola BLU dan telah diterapkannya pola pengelolaan BLU oleh seluruh rumah sakit Pemerintah.  Dari pelayanan pendidikan akan diperoleh sebesar Rp. 7,8 T, dan jasa pelayanan rumah sakit sebesar Rp. 3,9 T dan  pendapatan dari jasa penyelenggaraan telekomunikasi akan mencapai Rp. 1,4 T.   Meski demikian, dari berbagai penyelenggaraan layanan BLU, pemerintah tampaknya harus secara serius memperhatikan kualitas pelayanan publik, efesiensi pengelolaan keuangan BLU maupun transparansi dan akuntabilitas laporan keuangannya.  Jangan sampai, apa yang diperoleh tidak sebanding dengan nilai yang dirugikan kepada masyarakat selaku pengguna layanan BLU.


Belanja Negara

·         Total belanja negara tahun 2011 diperkirakan sebesar Rp. 1.202,0 T (17,2 persen terhadap PDB) atau meningkat Rp. 75,9 T atau 6,7 persen dari APBN-P 2010.  Belanja Pemerintah pusat dalam tahun 2011 direncanakan sebesar Rp. 823,6 T, yang berarti mengalami peningkatan Rp.  42,1 T atau 5,4 persen dari APBN-P 2010.   

Gambar 1.  Perkembangan Belanja Negara Tahun 2005-2011 (Trilyun Rupiah)
Keterangan : * APBN-P 2010
                      ** RAPBN 2011

·         Dalam komponen belanja pemerintah pusat tersebut,  belanja gaji pegawai diperkirakan tahun 2011 menjadi Rp. 180,6 T atau terjadi kenaikan sebesar Rp. 17,9 T  (11 persen).  Sementara untuk belanja barang naik sebesar Rp. 18,9 T atau diperkirakan menjadi Rp. 131,5 T dibandingkan APBN-P 2010.  Kenaikan yang paling besar justru terjadi pada belanja modal yakni Rp. 26,7 T (28,11 persen) dimana pada APBN-P 2010 nilainya hanya sebesar Rp. 95 T sementara tahun 2011 diperkirakan akan menjadi 121,7 T.  Kenaikan ini menunjukkan perhatian pemerintah terhadap kepentingan publik secara langsung.  Meski demikian, sejak tahun 2009 hingga tahun 2011,  jumlah belanja modal selalu dibawah selalu dibawah belanja barang.  Dengan kata lain, pemerintah tidak  terlalu serius mengarahkan anggarannya untuk modal pembangunan ketimbang melayani kebutuhan untuk kepentingan pemerintah saja. Bahkan anggaran pemerintah pusat sebagian besar didominasi oleh pengeluaran yang sifatnya wajib (nondiscretionary spending) yang meliputi belanja pegawai, pembayaran bunga utang, subsidi dan sebagian belanja barang.

·         Sementara untuk subdisi, pada tahun 2011 diperkirakan sebesar Rp. 184,8 T atau turun sebesar Rp. 18,9 T bila dibandingkan APBN-P 2010 yang sebesar Rp. 201,3 T.  Subsidi tersebut terddiri dari subsidi energi sebesar 72,4 persen, yaitu subsidi BBM sebesar 50,2 persen dan subsidi listrik sebesar 22,2 persen, sedangkan sisanya, yaitu sebesar 27,6 persen akan disalurkan untuk subsidi non-energi, yaitu: (1) subsidi pangan; (2) subsidi pupuk; (3) subsidi benih; (4) bantuan/subsidi PSO; (5) subsidi bunga kredit program; dan (6) subsidi pajak.  Jumlah subsdi tersebut bila dibandingkan dengan rata-rata subsidi selama 5 tahun terakhir (2005-2009) yang sebesar Rp. 158,36 T masih jauh lebih besar.  Besaran subsidi banyak disebabkan oleh fluktuasi harga minyak dunia. 

·         Pada anggaran subsidi BBM jenis tertentu dan LPG Tabung 3 Kilogram dalam RAPBN 2011 mencapai Rp. 92,8 T (1,3 persen terhadap PDB). Jumlah ini berarti mengalami kenaikan sebesar Rp. 3,9 T atau 4,4 persen bila dibandingkan dengan anggaran belanja subsidi BBM jenis tertentu dan LPG Tabung 3 Kilogram dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp88,9 T (1,4 persen terhadap PDB). Peningkatan beban anggaran subsidi BBM jenis tertentu dan LPG Tabung 3 Kilogram dalam RAPBN 2011 tersebut, berkaitan dengan perubahan alpha BBM, volume konsumsi BBM jenis tertentu, dan volume konversi minyak tanah ke LPG tabung 3 Kg serta parameter-paramter lainnya.  Karena itu, beberapa hal yang patut untuk dipertanyakan adalah sejauhmana masyarakat akan menerima kenaikan harga khususnya pada LPG tabung 3 Kg.  Beberapa scenario simulasi harga tampaknya harus disajikan pemerintah sehingga masyarakat bawah justru tidak terbebani dengan program konversi tersebut.   Pemerintah juga perlu melakukan pembatasan kategori pengguna BBM bersubsidi serta pembatasan serta pembatasan volume. 

·         Pada anggaran subsidi listrik dalam RAPBN tahun 2011 direncanakan sebesar Rp. 41,0 T (0,6 persen terhadap PDB). Jumlah ini berarti lebih rendah sebesar Rp. 14,1 T, atau 25,6 persen dari beban anggaran belanja subsidi listrik dalam tahun 2010 sebesar Rp55,1 T (0,9 persen terhadap PDB).  Lebih rendahnya alokasi anggaran subsidi listrik dalam RAPBN tahun 2011 tersebut, terutama berkaitan dengan rencana penyesuaian TDL sebesar 15 persen, yang akan diberlakukan mulai awal tahun 2011.  Meski demikian,  beberapa hal yang patut menjadi perhatian adalah asumsi dan parameter penghitungannya margin usaha PT. PLN yang sebesar 8 persen tampaknya tidak sebanding dengan penyesuaian TDL 15 persen.  Pemerintah perlu menurunkan kenaikan TDL tersebut dengan upaya internal PLN yang pelayanannya jauh dari memuaskan.

·         Pada komponen belanja pusat, pembayaran bunga utang dimana biasanya lebih besar dari belanja modal, namun pada tahun 2011 nanti diperkirakan jauh lebih kecil.  Pembayaran bunga utang diperkirakan hanya sebesar Rp. 116,4 T atau meningkat   Rp. 10,7 T (10,12 persen) dibandingkatn APBN-P 2010.  Bahkan, sepanjang pertumbuhan rata-rata periode 2005-2010,  pembayaran bunga utang hanya tumbuh sebesar 10,36 persen.  Bandingkan dengan belanja pegawai yang dalam periode yang sama tumbuh rata-rata sebesar 24,74 persen, belanja barang sebesar 32,70 persen, belanja modal sebesar 25,34 persen,  belanja social sebesar 25,21 dan subsidi sebesar 21,59 persen serta belanja lain-lain sebesar 11,78 persen.

·         Pada alokasi anggaran bantuan social tahun 2011 direncanakan sebesar Rp. 61,5 T (0,9 persen terhadap PDB) atau terjadi penurunan sebesar Rp. 9,6 T (13,6 persen) bila dibandingkan APBN-P tahun 2010 sebesar Rp71,2 T (1,1 persen terhadap PDB).  Alokasi anggaran bantuan sosial dalam tahun 2011 tersebut, terdiri dari: (1) alokasi dana penanggulangan bencana alam sebesar Rp. 4,0 T, dan (2) alokasi bantuan sosial yang disalurkan melalui kementerian negara/lembaga sebesar Rp. 57,5 T. Alokasi dana penanggulangan bencana alam dalam RAPBN tahun 2011 tersebut berarti lebih tinggi Rp. 207,2 miliar atau 5,5 persen dari pagu anggaran penanggulangan bencana alam yang ditetapkan dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp. 3,8 T.

·         Anggaran transfer ke daerah dalam tahun 2011 direncanakan sebesar Rp. 378,4 T, yang berarti naik Rp. 33,8 T atau 9,8 persen dari  APBN-P 2010.  Salah satu komponen transfer daerah yakni dana perimbangan, tahun 2011 direncanakan sebesar Rp. 329,1 T yang berarti naik Rp. 14,7 T atau sebesar 4,68 persen dari APBN-P 2010.  Sementara dana otonomi khusus dan penyesuaian juga diperkirakan menjadi  Rp. 49,3 T atau naik sebesar Rp. 19,1 T (63,25 persen) dibandingkan APBN-P 2010.  Peningkatan tersebut terkait dengan adanya komponen baru pada pos Dana Penyesuaian, yaitu bantuan operasional sekolah (BOS) yang merupakan realokasi dari Belanja Pemerintah Pusat ke Transfer ke Daerah.

·         Pada komponen dana perimbangan lainnya yakni Dana Alokasi Umum (DAU) maupun Dana Alokasi Khusus (DAK) akan mengalami peningkatan, sementara Dana Bagi Hasil (DBH)  justru mengalami penurunan.  DAU pada tahun 2011 akan meningkat sebesar 8,99 persen (Rp. 18,3 T)  dibandingkan APBN-P 2010 yang sebesar Rp. 203,6 T sehingga tahun 2011 menjadi Rp. 211,9 T.   Berdasarkan hasil pembahasan antara DPR RI dan Pemerintah dalam rangka Pembicaraan Tingkat I/Pembahasan RUU tentang APBN Tahun Anggaran 2011, maka besaran alokasi DAU dalam RAPBN 2011 direncanakan sebesar 26 persen dari PDN neto, atau mencapai Rp. 221,9 T (3,2 persen terhadap PDB). Jumlah tersebut, secara nominal lebih tinggi Rp.  29,4 T jika dibandingkan dengan alokasi DAU murni dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp. 192,5 T. Alokasi DAU dalam RAPBN 2011 tersebut, sebesar Rp. 22,2 T (10 persen dari total DAU nasional) akan didistribusikan untuk provinsi dan sebesar Rp. 199,7 T (90 persen dari total DAU nasional) akan didistribusikan kepada kabupaten/kota. Alokasi DAU tahun 2011 akan ditransfer ke kas daerah setiap awal bulan sebesar 1/12 dari besaran alokasi.   Walaupun jumlahnya meningkat namun mengingat sebagian DAU dipergunakan untuk gaji pegawai maka ruang gerak fiscal daerah semakin terbatas.  Kenaikan gaji pegawai – baik karena adanya rekruitmen baru PNS maupun gaji ke 13 plus 10 % -- tidak sebanding dengan kenaikan jumlah DAU yang diterima oleh daerah.  Pemerintah perlu mengkaji ulang kebijakan-kebijakan yang justru menjadikan kontra produktif bagi daerah untuk menjadi pengambil kebijakan dan program-program di daerah.

·         Kemudian, DAK pada tahun 2011 akan menjadi Rp. 25,2 T yang berarti naik sebesar Rp. 4,1 T atau 19,43 % dibandingkan APBN-P 2010.   Prosentase kenaikan DAK yang cukup besar menandakan bahwa mulai banyak alokasi dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang dapat dialihkan menjadi DAK serta adanya jenis baru kegiatan pemerintah pusat yang dapat di DAK kan.  Masalahnya adalah dengan aturan teknis DAK yang terlambat sampai kedaerah dan tidak sesuai dengan kondisi daerah justru mengakibatkan kegiatan-kegiatan DAK menjadi salah sasaran maupun inefesiensi dalam pengalokasian anggaran DAK.  Pemerintah perlu melakukan evaluasi mendalam tentang implementasi DAK yang tidak lagi sejalan dengan kebutuhan daerah meskipun mandatnya adalah melaksanakan amanat RPJM.

·         Sementara DBH pada tahun 2011 diperkirakan akan menjadi Rp. 82 T yang berarti turun sebesar Rp. 7,6 T atau -8,48 persen.   Penurunan DBH dalam RAPBN 2011 tersebut disebabkan oleh lebih rendahnya alokasi DBH Pajak karena adanya pengalihan BPHTB menjadi pajak kabupaten/kota, serta lebih rendahnya alokasi DBH SDA terutama karena menurunnya target penerimaan minyak bumi dan gas bumi yang dibagihasilkan. Alokasi DBH tahun 2011 tersebut terdiri dari alokasi DBH Pajak sebesar 49,4 persen dan alokasi DBH SDA sebesar 50,6 persen.  Khusus mengenai DBH SDA, pemerintah perlu melihat kembali penurunan lebih disebabkan karena lifting minyak menurun ataukah persoalan yang menyangkut karena kurang adanya kenaikan komponen pengurang (pajak dan pungutan lainnya) yang digunakan sebagai dasar penerimaan SDA migas 2011 serta disebabkan pada APBN-P 2010, adanya pembayaran kepada PT Pertamina (persero) atas penggunaan bahan bakar minyak dan pelumas (BMS) oleh TNI ?  Jika alasannya adalah yang pertama maka wajar jika daerah turut mengalami penurunan DBH namun jika alasan kedua yang dipergunakan maka apakah daerah penghasil juga wajib menanggungnya ? Tentu tidak beralasan kalau daerah juga ikut menanggung semuanya.


Defisit dan Pembiayaan

·         Defisit anggaran diperkirakan sebesar Rp.  115,7 T (1,7 persen terhadap PDB). Jumlah ini lebih kecil dibandingkan deficit pada APBN-P 2010 yang sebesar Rp. 133,7 T atau terjadi penurunan deficit  sebanyak Rp. 18 T atau turun sebesar 13,46 persen dibandingkan APBN-P 2010.    Pembiayaan dari sumber non-utang (secara neto) dalam tahun 2011 direncanakan sebesar negative Rp. 7,8 T, atau 0,1 persen terhadap PDB, sedangkan pembiayaan anggaran yang bersumber dari utang (secara neto) direncanakan mencapai Rp. 123,5 T atau 1,8 persen terhadap PDB. Dengan demikian, dalam tahun 2011 pembiayaan utang masih menjadi sumber utama pembiayaan APBN.  Kebijakan ini sepatutnya perlu dievaluasi kembali mengingat sumber pembiayan utang melalui penerbitan SBN harus dapat dikendalikan dan jangan sampai gagal.  Ancaman ini akan terjadi apabila banyak negara, khususnya Eropa, melakukan penambahan utang guna menyelematkan perekonomiannya. Di samping tentunya potensi terjadinya crowing out effect yang berakibat pada sulitnya mencari pembiayaan dari pasar dan makin mahalnya biaya yang harus ditanggung.

·         Dalam RAPBN tahun 2011 ini, kebutuhan pengeluaran pembiayaan yang harus dipenuhi diperkirakan mencapai Rp. 160,4 T (2,3 persen terhadap PDB).  Dengan kata lain, seluruh kebutuhan penerimaan pembiayaan (bruto) yang diperlukan dalam tahun 2011 akan mencapai Rp. 276,1 T. Pemerintah diperkirakan hanya mampu memenuhi sekitar 3,1 persen dari seluruh kebutuhan penerimaan pembiayaan bruto, karena keterbatasan sumber dan jumlahnya.  Mau tak mau pemerintah dalam tahun 2011 harus mencari  Rp. 267,6 T (1,8 persen terhadap PDB). Jumlah ini meliputi penerbitan SBN sebesar Rp. 209,5 T, penarikan pinjaman dalam negeri sebesar Rp 1,0 T, dan penarikan pinjaman luar negeri sebesar Rp. 57,1 T.   Sekali lagi, diwaspadai bahwa ketergantungan terhadap instrument SBN akan juga memiliki sisi lemah, seperti yang disebutkan diatas.


Lampiran – lampiran

Tabel 1. Asumsi Ekonomi Makro 2005 - 2011
Sumber : Kementerian Keuangan, 2011



Tabel 2. Postur APBN 2005 - 2011
Sumber : Kementerian Keuangan, 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar