Rabu, 09 November 2011

Dimuat Harian Kontan 9 Nov 2011 naskah: BI, OJK dan Krisis


BI, OJK dan Krisis

Harry Azhar Azis
Wakil Ketua Komisi XI (Keuangan Negara dan Bank) DPR RI



Pada 27 November 2011, Rapat Paripurna DPR menetapkan RUU Otorotas Jasa Keuangan (OJK) inisiatif Pemerintah menjadi UU OJK. RUU ini menjadi UU membutuhkan waktu 17 bulan ketika masuk ke ruang publik sejak diserahkan Presiden kepada DPR Juni 2010. Setelah menunggu 12 tahun sejak terbitnya Pasal 34 UU 23/1999 tentang Bank Indonesia (BI) yang memerintahkan pengalihan fungsi pengawasan bank oleh BI ke lembaga pengawasan sektor jasa keuangan baru terrealisasikan dengan terbentuknya UU OJK. Bahkan, UU OJK lebih maju lagi, bukan saja untuk mengawasi industri perbankan, tetapi juga mengawasi industri pasar modal dan industri keuangan nonbank. Boleh dikatakan seluruh fungsi pengawasan sektor jasa keuangan dilakukan oleh OJK, kecuali koperasi dan BMT. Di masa depan, di harapkan tidak ada lagi loopholes lempar tanggungjawab atas pengawasan sektor jasa keuangan.

BI walau tidak secara langsung menyatakan menolak kehadiran RUU OJK, tetapi wacana yang dikembangkannya seolah menolak perintah pengalihan fungsi pengawasan perbankan diluar BI. Berbagai alasan dikedepankan. Apakah ini berarti BI menentang UU BI itu sendiri, khususnya Pasal 34? Bila ya, mengapa BI tidak berusaha mempengaruhi Pemerintah dan/atau DPR untuk mencabut Pasal 34 tersebut? Dalam perubahan UU 23/1999, yaitu UU 3/2004 tentang BI dan UU 6/2009 tentang penetapan Perppu tentang BI, Pasal 34 ternyata tidak berubah. Perintah pengalihan fungsi pengawasan bank ke lembaga pengawasan bukan BI karena itu tetap hidup.

Dengan disahkannya UU OJK, fungsi BI kini harus fokus pada pengendalian moneter dan sistem pembayaran. Mungkin ke depan, perlu dipikirkan peran moneter dan sistem pembayaran itu kaitannya dengan upaya menjaga stabilitas sistem keuangan, khususnya mengenai macroprudential sistem perbankan. Walau wewenang pemeriksaan bank tetap di OJK, Pasal 40 UU OJK membuka peluang BI melakukan pemeriksaan tertentu terhadap bank bila dianggap perlu. BI bersama Pemerintah secara kelembagaan juga dapat berperan dalam penentuan kebijakan OJK karena dari sembilan pimpinan OJK, yang berbentuk Dewan Komisioner (DK), BI dan Pemerintah merupakan anggota DK ex officio, yang kewenangannya setara dengan tujuh anggota DK yang independen. Artinya, kebijakan OJK langsung atau tidak langsung merupakan cerminan kebijakan BI kecuali anggota ex officio BI di OJK tidak setuju dengan suara mayoritas di DK OJK. Memang pengambilan keputusan dalam DK OJK dilakukan secara musyawarah atau suara terbanyak.   

Bila kehadiran BI di DK OJK merupakan keterlibatan internal, BI juga dilibatkan dalam koordinasi antar lembaga seperti diatur dalam UU OJK terlihat di Pasal 44, 45 dan 46 yang disebut Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan. Forum ini terdiri dari Menteri Keuangan selaku koordinator dan anggota dan Gubernur BI, Ketua DK OJK dan Ketua DK LPS sebagai anggota. Dalam kondisi normal, forum ini saling memberikan rekomendasi untuk memelihara stabilitas sistem keuangan, saling bertukar informasi dan melakukan pertemuan palng sedikit tiga bulan sekali. Forum ini dibantu oleh kesektretariatan yang bersifat tetap yang dipimpin oleh seorang pejabat eselon I di Kementrian Keuangan.

Dalam kondisi krisis, tiap anggota forum dapat mengambil inisiatif untuk pertemuan. Pertemuan dimaksud untuk mengambil keputusan dalam rangka mengantisipasi dan mencegah kemungkinan terjadinya krisis serta menangani dampak krisis. Bila forum memutuskan telah terjadi krisis dan diperlukan penanganan melalui fasilitas pendanaan yang ada di BI atau di LPS, maka keputusan forum bersifat final. Bila penanganannya melalui APBN, DPR mulai terlibat dan diberikan waktu 1x24 jam agar DPR memutuskan apakah setuju atau menolak keputusan forum. Dengan demikian, formalitas keterlibatan BI dijamin UU OJK bahkan semakin meluas sampai ikut menangani situasi krisis. Dalam kondisi normal, semua lembaga bekerja sesuai dengan fungsinya masing-masing dalam memelihara stabilitas sistem keuangan.

Dalam masa transisi sampai seluruh fungsi pengawasan OJK efektif mulai 1 Januari 2013 untuk industri pasar modal dan industri keuangan nonbank dan 1 Januari 2014 untuk industri bank, dibentuk tim transisi yang membantu DK OJK dari BI dan Bappepam-LK Kementerian Keuangan.  Peralihan SDM dan aset Bappepam-LK ke OJK bersifat wajib, tetapi peralihan SDM BI ke OJK bersifat sukarela sementara peralihan aset BI di bidang pengawasan ke OJK dilakukan sesuai kesepakatan OJK dan BI.

Memang dengan diundangkannya OJK, perubahan atas UU lain harus dilakukan seperti UU BI, UU Pasar Modal, UU Perbankan, UU Perasuransian dan tentu RUU JPSK. Kita berharap perubahan yang sudah dimulai melalui UU OJK menjadikan industri sektor keuangan semakin stabil dan berkembang serta perlindungan konsumen semakin terjaga. Dengan kuatnya struktur sektor keuangan,  kiranya sektor riel akan menikmati pertumbuhan dan memperkuat struktur perekonomian nasional. Dampak setiap krisis keuangan dan ekonomi dapat diminimalkan. Itulah harapan kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar