Senin, 28 November 2011

Seminar LSM Fitra, besok siang di Htl Alia Jkt, 29 Nov 2011: Soal Transfer Daerah


POLITIK ANGGARAN DALAM MERESPON PERUBAHAN UU NOMOR 33 TAHUN 2004[1]
Dr. Harry Azhar Azis, MA.[2]
PENDAHULUAN         
            Sejak otonomi daerah, keberhasilan pembangunan menjadi tanggung jawab bersama Pemerintah Pusat dan Daerah, dimana daerah terbagi menjadi Provinsi, Kabupaten, dan Kota. Pemerintah pada setiap tingkatan memiliki tugas dan wewenang dalam menjalankan urusan pemerintahan dalam kerangka desentralisasi, namun dalam hal perencanaan sampai tanggung jawab suksesnya pembangunan masih terletak pada Pemerintah Pusat sebagai agen pengontrol sumber-sumber pendapatan strategis. Kuatnya peran Pemerintah Pusat dilatarbelakangi oleh pemerataan fiskal antar daerah atau upaya distribusi pendapatan antar daerah, yang tidak sepenuhnya benar.
            Perubahan UU Nomor 33 Tahun 2004 sejatinya harus membawa perubahan nyata untuk daerah dalam menstimulasi pembangunan daerah. Pemerintah Pusat masih enggan memberlakukan sistem reward and punishment di jajarannya, sementara untuk daerah diberlakukan. Sebagai contoh dalam penetapan belanja modal daerah yang harus mencapai sekurang-kurangnya 20% APBD dan belanja pegawai setinggi-tingginya 50% APBD. Pertanyaannya adalah apakah kebijakan pusat mencerminkan pola dalam belanja modal? Seperti diketahui, porsi belanja modal dari APBN rata-rata sebesar 8,82% APBN.
            Permasalahan kedua dalam draft perubahan UU, sistem perencanaan, pelaporan dan pengawasan dana perimbangan tetap menjadi domain Pemerintah, sementara peran DPR hanyalah memberikan persetujuan. Perubahan UU 33/2004 tidak jelas karena masih ada yang bias (missing link) terkait dengan fungsi DPR dalam UU MD3. Konsultasi publik diperlukan dalam penyempurnaan draft perubahan UU 33/2004 karena ketahanan fiskal daerah mencerminkan ketahanan fiskal nasional dengan iklim politik stabil.

UU 33/2004 VS PERUBAHANNYA
Perubahan pokok-pokok anggaran beserta formulasinya, pertama, DAU tidak lagi menggunakan Alokasi Dasar sebagai landasannya. Perubahan DAU terletak pada aspek input, dimana basis yang digunakan untuk alokasi berdasarkan celah fiskal. Dalam perubahan UU 33/2004, wewenang Gubernur menjadi lebih luas dengan kewenangan memberi pembobotan masing-masing variabel kebutuhan fiskal seperti indeks jumlah penduduk,  luas wilayah, IPM, dan indeks kemahalan konstruksi daerah penerima DAU. Proksi Alokasi Dasar (belanja gaji PNSD) digantikan oleh rata-rata belanja daerah secara nasional, sehingga kebutuhan fiskal dicerminkan oleh perkalian antara rata-rata belanja daerah secara nasional dengan bobot dari 4 indeks yang telah disebutkan sebelumnya. Hal yang perlu dicermati adalah penggunaan proksi belanja daerah akan semakin memperlebar kesenjangan fiskal karena ukuran belanja daerah akan berbanding lurus dengan jumlah daerah dan kegiatan perekonomian. Ditinjau dari segi demografi dan aspek ekonomi, maka daerah Jawa akan semakin menikmati porsi DAU yang besar karena sumber DBH sebagai komponen kapasitas fiskal yang diandalkan sebagian besar dari PPh wajib pajak orang pribadi dimana share kepada daerah hanya 20%. Disamping itu, kesenjangan antar daerah juga timbul akibat perbedaan belanja sesuai dengan tingkatan Pemerintahan. Daerah dengan tingkatan pemerintahan tertinggi akan mengeluarkan porsi belanja tertinggi, sehingga berpotensi memperlebar celah fiskal daerah dalam satu tatanan pemerintahan otonom yaitu antara Provinsi dan Kabupaten/Kota di bawahnya.
Kedua, dalam alokasi DAK, dasar yang digunakan sama dengan yang tercantum dalam UU sebelumnya, yaitu kemampuan fiskal daerah yang dihitung dari penerimaan umum APBD. Namun, dalam perubahan UU 33/2004, kemampuan keuangan daerah dikategorikan menjadi rendah dan sedang dengan skala yang tidak ditetapkan. Untuk dana pendamping, direncanakan sebesar 5% menurut kemampuan fiskal daerah yang sebelumnya 10% dengan pengecualian bagi daerah dengan kapasitas fiskal tertentu. Dalam penggunaannya, DAK dapat digunakan untuk penyelenggaraan kegiatan non fisik, yaitu peningkatan profesionalisme guru dan pemberian insentif dalam rangka mencapai wajib belajar 9 tahun. Pendekatan yang digunakan dalam alokasi DAK sama dengan DAU, yaitu pendekatan biaya dengan mendasarkan pada biaya per unit dalam upaya mencapai standar pelayanan minimum (SPM). Pengaturan mengenai pemantauan, evaluasi, pelaporan, dan sanksi dicantumkan di Pasal 59, dimana yang harus melaporkan adalah Kepala Daerah kepada Menteri Teknis yang akan memberikan pertimbangan kepada Menteri Keuangan. Menteri Keuangan masih menjadi titik sentral dalam alokasi dan evaluasi terhadap DAK.
Ketiga, masalah pinjaman daerah, UU sebelumnya menyebutkan dalam melakukan pinjaman, jumlah sisa Pinjaman Daerah ditambah jumlah pinjaman yang akan ditarik tidak melebihi 75% dari jumlah penerimaan umum APBD tahun sebelumnya. Pada draft perubahan, dikatakan dalam melakukan pinjaman jangka panjang, jumlah sisa pinjaman daerah ditambah jumlah pinjaman akan ditarik tidak melebihi 200% dari jumlah penerimaan umum APBD tahun sebelumnya setelah dikurangi belanja pegawai. Di satu sisi, draft perubahan ini memberi angin segar kepada daerah dalam memperluas kemampuan fiskal, namun disisi lain, akan semakin membebani APBD karena tidak ada lagi bagian dana darurat yang diperuntukkan bagi krisis solvabilitas daerah.

POLITIK ANGGARAN KE DEPAN
Perubahan kebijakan otomatis mengubah pola politik anggaran, baik dari unsur legislatif maupun birokrasi. Saat ini, birokrasi sangat kuat sehingga perencanaan anggaran sampai kepada pertanggungjawabannya menjadi wewenang birokrasi. Agar terjadi keseimbangan, pertama harus membuka informasi berkaitan anggaran, terutama dalam formulasi anggaran menurut biaya per unit. Publik akan bisa menilai apakah alokasi anggaran sudah tepat sasaran dengan kinerja yang diharapkan. Pertanggungjawaban APBN dan APBD menjadi kewajiban kuasa pengguna anggaran. DPR terus mendukung upaya transparansi dan akuntabilitas APBN khususnya peningkatan dana perimbangan APBD.
Kedua, diperlukan evaluasi pada saat pembahasan formula DAU dalam draft perubahan UU 33/2004. Berbagai studi keuangan publik menyatakan transfer atas belanja daerah membawa moral hazard dalam implementasinya, karena unsur belanja banyak terdistorsi kesalahan manajerial keuangan, salah satunya korupsi[3]. Sebagai upaya pemerataan keuangan daerah, maka unsur penerimaaan sebagai indikator kemampuan keuangan dan kemandirian daerah akan lebih sesuai digunakan sebagai basis perhitungan DAU. Dalam menetapkan alokasi belanja, daerah semakin rasional terutama kaitannya dengan belanja pegawai dan penggunaan sumber fiskal dari PAD dan DBH yang disinyalir banyak digunakan untuk belanja kepala daerah, DPRD, beserta unsur-unsur pendukungnya[4].
Ketiga, terkait dengan alokasi DAK harus mendasarkan pada input variabel capaian SPM dan IPM. Apabila unsur keuangan daerah tetap digunakan dalam formulasi DAK dengan selisih terhadap belanja PNSD, akan terjadi overlapping dan semakin menciptakan insentif daerah untuk menambah belanja PNSD. Dengan basis SPM dan IPM, maka tujuan DAK sebagai dana pembangunan infrastruktur untuk mencapai prioritas nasional akan terwujud. Perlu komitmen dan koordinasi menyangkut kebijakan antara Kementerian yang menangani DAK dengan Pemerintah Daerah penerima, mengingat banyak ketidaksesuaian kebijakan antara prioritas nasional dengan kabijakan turunannya, seperti Juknis. Sebagai contoh dalam bidang pendidikan, dinyatakan bahwa kebijakan DAK Pendidikan untuk mencapai program wajib belajar 9 tahun, namun Juknis yang dikeluarkan oleh Kementerian Teknis terkait hanya memuat program-program pembangunan pendidikan tingkat Sekolah Dasar dan sederajat.  
Keempat, masih terkait DAK, penajaman prioritas sesuai arah pembangunan yang termuat dalam RPJMN. Perubahan UU 33/2004 menitikberatkan pada pembangunan non fisik di bidang pendidikan, sementara anggaran pendidikan secara nasional sudah mencapai 20% dari APBN. Terdapat dua indikasi dari arah pembangunan pendidikan yang tercantum dalam perubahan UU tersebut, yaitu distribusi anggaran pendidikan tidak merata dan rendahnya kemampuan manajerial perencana dan agen alokasi yang bergerak dalam bidang pendidikan. Sementara, bidang lain yang berhubungan dengan IPM seperti bidang kesehatan dan infrastruktur saat ini dalam keadaan yang sangat mengkhawatirkan. Oleh karena itu, perlu desakan kepada pemerintah mengenai spesifikasi alokasi DAK, apakah bertujuan untuk menutup kesenjangan fiskal yang tidak tertutup oleh DAU atau benar-benar bertujuan untuk mencapai pemerataan pembangunan.
Kelima, perlu dimuat suatu aturan mengenai reward and punishment dalam perubahan UU 33/2004 menyangkut seluruh komponen dana perimbangan. Mekanisme pelaporan dan pertanggungjawaban DBH, DAU, dan DAK harus jelas beserta sanksi yang dikenakan. Keterlambatan seringkali diakibatkan kelalaian oknum Pemerintah Pusat, namun sanksi akan dikenakan kepada daerah dengan tertunda atau bahkan dipotong bagian anggaran yang menjadi hak daerah. Unsur keadilan harus tetap diutamakan, mengingat rakyat yang akan dikorbankan atas tertundanya dana-dana pembangunan.

PENUTUP
Perubahan UU 33/2004 tidak akan membawa perkembangan pembangunan ke arah yang berkualitas apabila pengaturan mengenai proporsi pendanaan daerah tidak dirumuskan secara jelas. Regulasi beserta kebijakan yang tumpang tindih menjadi penyebab kakunya birokrasi dalam membangun daerah karena sistem reward and punishment yang hanya berlaku di tingkat daerah. Agar tujuan pembangunan tercapai, Gubernur harus benar-benar bertindak sebagai koordinator pembangunan daerah dengan tidak mendasarkan usulan pembangunan pada preferensi politik. Kepentingan rakyatlah yang harus diutamakan serta evaluasi dana belanja pegawai mutlak diperlukan dalam pencapaian standar minimum pelayanan publik, sehingga tanggungjawab dan kinerja unsur birokrasi akan tercermin dalam kontribusinya terhadap masyarakat dalam mencapai pembangunan yang berkesinambungan.


[1] Konsultasi Publik “Politik Anggaran Kebijakan Dana Perimbangan”. Hotel Alia Cikini, Jakarta, 29 Nov 2011.
[2] Wakil Ketua Komisi XI Keuangan dan Perbankan DPR RI (2010-2014), Ketua Badan Anggaran DPR RI (2009-2010), Wakil Ketua Panitia Anggaran (2008-2009), Anggota FPG DPR Dapil Kepulauan Riau, PhD Oklahoma State University, Amerika Serikat (2000), lahir di Tanjungpinang (1956).
[3] Habibi, N., C. Huang, D. Miranda, V. Murillo, G. Ranis, M. Sarkar, and F. Stewart. 2003. Decentralization and Human Development in Argentina. Journal of Human Development 4(1).
[4] The World Bank. 2009. Indonesia Development Policy Review: Enhancing Government Effectiveness in a Democratic and Decentralized Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar