Minggu, 27 November 2011

Seminar Koran Jakarta besok, Plaza bappindo Jkt, 29 Nov 2011: krisis Global dan ekonomi Kerakyatan


ANTISIPASI KRISIS GLOBAL DENGAN EKONOMI KERAKYATAN[1]
Dr. Harry Azhar Azis, MA.[2]
PENDAHULUAN
            Krisis utang yang melanda negara-negara periferi Eropa dan Amerika belum mencapai solusi jangka panjang meskipun IMF dan Uni Eropa telah menggelontorkan dana Ktalangan besar. Kesepakatan terakhir Uni Eropa sebesar 1 Triliun Euro. Solusi yang ditawarkan saat ini adalah pengetatan fiskal melalui pengetatan belanja, dan tampaknya berpengaruh terhadap sumber likuiditas serta IHSG. Belajar dari 2008, Indonesia dapat mengatasi krisis hingga pertumbuhan ekonomi tetap positif 4,5%. Selain karena tingkat konsumsi domestik yang tinggi, hal tersebut juga diperkuat oleh minimnya pelaku pasar modal di Indonesia, yaitu 2% dari jumlah penduduk[3].
            Ketahanan industri besar baik yang di sektor riil maupun jasa sangat bergantung pada kinerja pasar modal yang rentan shock eksternal, karena tingginya unsur spekulasi dan minimnya regulasi profit taking. IHSG masih bergerak dalam kisaran lebih baik dibanding indeks-indeks Asia. Tercatat laju penurunan IHSG pada 30 September 2011 dibandingkan Desember 2010 sebesar -4,17%; sementara indeks bursa Malaysia, Singapura, Shanghai, Hongkong, dan Tokyo mengalami penurunan masing-masing sebesar -8,68%; -16,14%; -15,98%; -23,63%; dan -14,94%[4].
            Pengembangan sektor riil khususnya sektor pertanian sebagai langkah menuju ketahanan pangan dan antisipasi terhadap ancaman krisis global berpengaruh terhadap kinerja impor akibat terdepresiasinya nilai tukar Rupiah. Konsumsi domestik sangat potensial untuk pengembangan sektor pertanian berbasis nilai tambah karena penyumbang inflasi utama masih dihasilkan oleh bahan makanan beserta produk olahannya.

PERKEMBANGAN SEKTOR PERTANIAN VS DUKUNGAN PERBANKAN
Sistem perekonomian untuk menangkal krisis global adalah sistem ekonomi kerakyatan karena menghendaki pemerataan dan pertumbuhan sumber daya masyarakat. Sistem ekonomi Amerika dan Uni Eropa terbukti sangat rentan terhadap krisis jangka panjang dan sulit solusi. Sebagai negara agraris dengan jumlah penduduk keempat terbesar di dunia, serta pembangunan menuju industrialisasi, Indonesia berpeluang besar dalam mengembangkan sektor pertanian khususnya tanaman pangan baik untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri maupun ekspor. Bencana banjir Thailand dan semakin ketatnya ekspor bahan pangan di Thailand dan Vietnam menjadikan peluang Indonesia terbuka lebar dalam pengembangan produk pangan secara internasional.
Kontribusi sektor pertanian terhadap PDB sebesar 14,12% per tahun, sementara sektor industri pengolahan serta keuangan 27,44% dan 9,34%. Apabila ketiga sektor tersebut dapat bersinergi, maka nilai tambah dan produktivitas dari produk pertanian akan meningkat dan efisiensi produksi tercapai. Mengacu data BPS (2011), nilai tambah produk makanan dan minuman terbesar di antara produk lainnya, yaitu rata-rata Rp 75,07 Miliar per tahun, sementara subsektor batu bara, migas, dan bahan bakar dari nuklir hanya Rp 2 Miliar per tahun. Dari sisi produktivitas tenaga kerja, subsektor makanan dan minuman jauh lebih rendah dibanding subsektor batu bara, migas, dan bahan bakar dari nuklir, yaitu Rp 64,82 Miliar berbading Rp 263,32 Miliar per tahun. Hambatan di sektor pertanian adalah masih rendahnya kualitas sumber daya manusia, sehingga penggunaan banyak tenaga kerja (labor intensive) baik di hulu dan hilir tidak korelasi peningkatan output yang signifikan.
Rendahnya kualitas sumber daya manusia di sektor pertanian khususnya di tanaman pangan dipacu Nilai Tukar Petani yang rendah dengan pergerakkan lambat. Laju peningkatan NTP Tanaman Pangan Januari 2011-Desember 2010, Februari 2011-Januari 2011, dan Maret 2011-Februari 2011 masing-masing sebesar 0,41%; 0,33%; dan -0,08%.
 Hubungan pertanian dan kemiskinan sangat erat karena proporsi petani gurem lebih tinggi dibanding petani pengguna lahan yaitu 56,2%[5]. Saat ini petani berpotensi menjadi buruh tani akibat kepemilikan lahan yang semakin sempit. Akses perbankan juga sulit karena output sangat tergantung pada musim, pendapatan dipengaruhi alur distribusi yang rumit. Berdasarkan data BI (2011), laju pendanaan sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan mengalami penurunan dalam 9 tahun terakhir, yaitu 7% di tahun 2002 menjadi 5,025% tahun 2010. Laju pendanaan industri pengolahan searah dengan pertanian yaitu 23,91% di tahun 2002 menjadi 23,23% di 2010, sementara untuk sektor keuangan meningkat yaitu dari 9,18% di tahun 2002 menjadi 10,87% di 2010.
Pesatnya pendanaan sektor keuangan tidak diiringi dengan peningkatan pendanaan ke sektor pertanian dan industri. Akibat ketidakberpihakan perbankan, tingkat inflasi inti persisten karena tingginya tingkat konsumsi tidak diimbangi dengan peningkatan output hasil produksi. Ditambah lagi, kebijakan Pemerintah dalam importasi bahan pangan dan makanan jadi, sehingga berdampak sulitnya pengendalian inflasi dan pelemahan daya saing produk domestik serta cadangan devisa yang tergerus serta neraca BI negatif.

STIMULASI SEKTOR PERTANIAN
Penguatan sumber daya primer tetap diperlukan sehingga fokus pengembangan potensi berbasis nilai tambah tidak hanya fokus keluar (outward looking) namun juga untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri (inward looking). Dengan ASEAN Connectivity 2015, Indonesia harus siap bersaing melalui produksi. Indonesia memiliki program percepatan pembangunan MP3EI, namun penguatan pertama harus tetap fokus pada sektor pertanian karena Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk terbesar di ASEAN, sehingga pemenuhan kebutuhan konsumsi dasar adalah sumber kestabilan ekonomi dan politik.
Kedua, kebijakan perdagangan harus melindungi petani domestik dengan pembenahan manajemen perberasan.  Bulog tidak transparan mengenai kebutuhan riil beras dan persediaan beras domestik. Petani dirugikan pada saat panen raya sehingga pengalihan profesi dari petani gurem menjadi buruh tani menjadi tidak dapat dihindari dan memperparah tingkat kemiskinan. Manajemen perberasan harus seperti sebelum krisis 1997/1998 yang mengharuskan Bulog menyerap panen petani sehingga tidak terjadi penipisan persediaan beras di gudang Bulog. Hal tersebut juga akan meningkatkan pemerataan pendapatan antara petani dengan pelaku industri makanan dan minuman.
Ketiga, memberikan peluang bagi riset-riset dan pengembangan di bidang pertanian dengan memberikan reward bagi ahli-ahli yang bergerak di bidang pertanian melalui anggaran pendidikan 20% APBN. Sektor pertanian merupakan sektor vital yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak, apabila ada faktor penganggu, baik dari jalur produksi maupun distribusinya, inflasi dan kemiskinan menjadi taruhannya.
Keempat, diperlukan suatu regulasi yang memuat kewajiban perbankan dalam pendanaan sektor pertanian khususnya Bank-bank BUMN dan BUMD. Meskipun saat ini sudah ada KUR, namun hambatan penyaluran belum bisa diatasi perbankan akibat rendahnya margin. Aturan yang dikeluarkan oleh BI dalam bentuk PBI juga tampak tidak berdaya dan lebih bersifat himbauan terhadap perbankan. Diperlukan penguatan koordinasi antara BI, OJK, dan Pemerintah khususnya Kementerian Pertanian dan Perdagangan. Peran OJK dapat bertindak sebagai pembuat regulasi terkait dengan dukungan lembaga keuangan nonbank yang bersentuhan langsung dengan sektor pertanian khususnya koperasi.

PENUTUP
            Makna ekonomi kerakyatan yang diamanatkan konstitusi sangat penting dalam menunjang pembangunan dan menangkal ancaman krisis global. Kapitalisasi pasar modal Indonesia yang rendah mendatangkan keuntungan tersendiri di saat krisis melanda. Fundamental ekonomi kerakyatan terbukti sangat kokoh dan harus dikembangkan ke arah kemandirian ekonomi. Tantangan ke depan yang dihadapi Indonesia tidak saja resesi global, namun juga ASEAN Connectivity 2015 yang menuntut efisiensi dan efektivitas produksi ke arah optimalisasi produksi khususnya dalam subsektor bahan makanan dan minuman berbasis input produksi pertanian.
Sektor pertanian merupakan sektor vital karena menyangkut pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Hambatan dalam pengembangannya berpotensi terhadap peningkatan inflasi, peningkatan angka kemiskinan, dan menurunnya status pembangunan. Penguatan koordinasi antara otoritas moneter dan fiskal sangat diperlukan, terutama dalam kebijakan pemenuhan kebutuhan domestik, karena kebijakan impor yang tidak tepat akan berpotensi menimbulkan ketidakstabilan kondisi ekonomi dan ketidakstabilan politik dalam negeri. Sementara kebijakan moneter dan regulasi perbankan yang tidak tepat menyebabkan inflasi dari sisi demand dan terdepresiasinya nilai tukar Rupiah yang berujung pada bertambahnya beban APBN seiring dengan terus tergerusnya modal BI.


[1] Seminar Koran Jakarta “Ekonomi Kerakyatan Solusi Menghadapi Krisis Global: Peran Perbankan Pada Sektor Pertanian”. Hotel Bidakara, Jakarta, 29 November 2011.

[2] Wakil Ketua Komisi XI Keuangan dan Perbankan DPR RI (2010-2014), Ketua Badan Anggaran DPR RI (2009-2010), Wakil Ketua Panitia Anggaran (2008-2009), Anggota FPG DPR Dapil Kepulauan Riau, PhD Oklahoma State University, Amerika Serikat (2000), lahir di Tanjungpinang (1956).

[3] Cetak Biru Edukasi Masyarakat di Bidang Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non Bank. 2007. BAPPEPAM LK.

[4] Bloomberg, 2011.
[5] BPS, 2004.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar