Sabtu, 15 Januari 2011

Inflation Targeting Framework, naskah diskusi Bank Indonesia, 28 Juni 2006




INFLATION TARGETING FRAMEWORK
BANK INDONESIA
Harry Azhar Azis·




1.    Inflation Targeting Framework (ITF) yang dikenalkan BI sejak Juli 2005 telah menjadi praktek kebijakan moneter beberapa Negara seperti New Zealand, Australia, Inggris, Kanada, Korea Selatan dan Amerika Serikat sejak Bernanke menggantikan Greenspan. Para pendukung ITF percaya bahwa dengan menetapkan besaran target inflasi di awal tahun atau akhir tahun untuk ekspektasi inflasi tahun berikutnya, kebijakan ekonomi-makro yang mendukung pertumbuhan ekonomi dapat diharapkan lebih stabil, sustainable, transparent dan  yang lebih penting tanpa kuatir atas perubahan tingkat inflasi yang terlalu besar. Dengan target inflasi, BI dan Pemerintah tentu (seharusnya) akan bekerjasama secara erat agar target itu betul-betul dapat tercapai. Dan bila hal ini dipercayai para pelaku ekonomi, investor/produsen dan konsumen, maka roda perekonomian akan bergerak sesuai dengan yang direncanakan. Intinya adalah membangun kepercayaan publik sehingga ekspektasi inflasi mendekati target inflasi yang telah ditetapkan. Sebutlah, misalnya, bila tingkat inflasi (aktual) berada di atas target, maka kebijakan BI selayaknya menaikkan suku bunga (dalam hal ini SBI), sebaliknya bila inflasi berada di bawah target, suku bunga dapat segera diturunkan. Dengan pola ini, target inflasi adalah fokus kebijakan moneter (dan seharusnya juga fiskal). Dengan kepercayaan target inflasi akan “pasti” tercapai, perilaku spekulatif pelaku ekonomi akan semakin ditekan seminimal mungkin dan perekonomian berkembang secara rasional. Benarkah?

2.    Tahun 2005 ternyata memberikan pelajaran yang amat berharga dalam konteks ITF. Yang menarik, walau UU BI menyatakan bahwa tanggungjawab utama BI adalah untuk menstabilkan daya beli rupiah (inflasi terkendali) dan nilai tukar rupiah (terhadap valas), ternyata di tahun 2005 hal itu tidak terjadi sama sekali. Kenaikan harga BBM 1 Oktober 2005, dan sebelum Maret 2005, ternyata menjadi benchmark situasi perekonomian tahun 2006. Inflasi Oktober 2005 yang mencapai 8,7% (MoM) merupakan puncak tingkat inflasi bulanan selama tahun 2005, yang walaupun menurun di November 2005 (1,3%), telah mendongkrak angka inflasi menjadi 18,4% (YoY), yang merupakan angka inflasi tertinggi selama 6 tahun ini. Angka inflasi ini per Desember 30, 2005 (YoY), menjadi 17,1%, angka yang jauh dari target UU APBN-P II No 9/2005. Penyumbang inflasi terbesar adalah kenaikan biaya transportasi lebih 40% dan harga bahan makanan 18%. Core inflation pun naik menjadi 9,4%, yang menunjukkan kebijakan BI tidak sepenuhnya efektif. Inflasi yang mencapai dua digit ini (CPI) jauh melampaui angka target inflasi APBN (8,6%) atau angka inflasi nota Keuangan 2005 (7%) yang disampaikan Presiden tanggal 16 Agustus di Sidang Paripurna DPR. Inflasi dua digit diperkirakan tidak banyak berubah sampai Q3 tahun 2006, yang akan berimplikasi luas bagi perekonomian tahun 2006.  Misalnya, Inflasi sampai bulan Februari 2006 (YoY) masih amat tinggi 17,92%, bandingkan dengan Februari 2005 (YoY) 7,15% dan Februari 2004 (YoY) 4,6%. Yang menarik, Gubernur BI memprediksi inflasi tahun 2005 sebesar 14% (Kompas, 25 Oktober 2005) dan bahkan Menteri PPN/BAPPENAS (ketika itu dijabat Sri Mulyani) lebih berani lagi menjanjikan inflasi 2005 tidak akan lebih 12% (Suara Karya, 26 Oktober 2005). Seperti disebut di atas, inflasi tahun 2005 adalah 17,1%. Pertanyaannya, mengapa prediksi pejabat yang paling berwenang di Indonesia ini keliru dan berbeda dengan kehendak UU 9/2005 tentang APBN-P II? Beberapa pertanyaannya layak didaftar seperti:

a) Apakah target inflasi yang ditetapkan APBN itu keliru? Bila keliru mengapa DPR yang seharusnya mengawasi kinerja moneter dan fiskal di Indonesia ikut menyetujui? Siapa yang paling bertanggungjawab kalau ternyata perumusan “besaran” target itu ternyata tidak tepat. BI? Pemerintah? DPR? Atau ketiga lembaga ini?
b) Mungkinkah tidak terjadi koordinasi yang baik antara pejabat moneter dan fiskal sehingga target inflasi yang telah ditetapkan sebenarnya bukan target inflasi seperti yang dimaksud dalam konsep ITF (karena itu disebut “asumsi” bukan target), sehingga karena itu pula tidak ada kewajiban untuk menepatinya ?
c) Dimana letak early warning system yang dapat memberitahu kepada kita bahwa target yang telah ditetapkan sesungguhnya mustahil untuk dicapai? BI dan Pemerintah selalu menggunakan alasan bahwa faktor eksternal, khususnya harga BBM dunia dan suku bunga Fed sebagai “penyebab utama” target inflasi sulit dicapai. Bila ini benar, seberapa jauh early warning system kita dapat berfungsi?
d) Kalau besaran target inflasi boleh berubah, berapakali ia boleh berubah dan apa akibatnya terhadap kepercayaan publik/pasar?
e) Terakhir, mungkinkah ITF yang ditetapkan BI dapat berbeda dengan asumsi inflasi yang ditetapkan APBN. Kalau mungkin mana yang lebih bisa diandalkan atau yang lebih bisa dijadikan pegangan hukum?

3.    Kekeliruan prediksi ini menyebabkan perekonomian Indonesia kehilangan peluang peningkatan PDB sekitar Rp 80T di tahun 2005, hampir sama dengan nilai subsidi BBM sebesar Rp93T akibat kenaikan harga BBM, yang bila dikonversi kepada lapangan kerja kita kehilangan peluang penciptaan lapangan kerja sekitar 1,3 juta (dengan asumsi 20% dari Rp 80T untuk biaya TK dengan upah minimal Rp 1 juta/bulan). Dengan dependensi rasio 4,5, maka 6 juta orang miskin bisa tertolong di tahun itu. Hal ini terjadi hanya karena kesalahan gap angka prediksi dan aktual inflasi sebesar 3,1% (prediksi BI yang 14%), apalagi kesalahan 5,1% (prediksi BAPPENAS yang 12%), atau bahkan gap itu lebih besar lagi bila disbanding target APBN-P II tahun 2005 sebesar 8,5%. Mungkinkah kesalahan yang sama akan terjadi lagi di tahun 2006 ini?

4.    Pada tahun 2006, APBN menetapkan angka inflasi sebesar 8% dan SBI sebesar 9,5%. Angka inflasi sampai Mei 2006 adalah 15,60% (YoY), walau tingkat inflasi kalendar sampai Mei hanya 2,41% atau 0,37% di bulan Mei 2006. Tingkat suku bunga SBI yang semula 8,5% (Juli) menjadi 9,5% masih di atas tingkat inflasi 8,3% di bulan Agustus 2005, kemudian September 10% SBI dan 9,1% inflasi, menjadi kontraproduktif pada bulan Oktober 11% SBI dan 17,9% inflasi, dan terus bertahan menjadi di bulan November 2005 (SBI 12,25% ). Pada 14 Desember 2005, SBI naik 50 bps, menjadi 12,75%. Kini, setelah bertahan agak lama di 12,75%, SBI turun 25 bps menjadi 12,5%, jauh lebih rendah dari inflasi tahunan Mei (2005-2006). Gap negatif yang sekarang ini mencapai 3,1% antara SBI dan inflasi ini tentu tidak banyak memiliki kemampuan mendorong perekonomian sampai akhir September (Q3) tahun 2006, seperti diprediksi sebelumnya oleh BI. Dengan target SBI 9,5% dalam APBN tahun 2006, dan tingkat suku bunga SBI yang sekarang masih 12,5%, sanggupkah BI mencapainya selama 6 (enam) bulan ke depan?

5.      Agenda apa yang harus diperhatikan oleh otoritas moneter dan fiskal dalam rangka menegakkan ITF?


a)                   Koordinasi antara kedua otoritas ini jelas harus makin diperjelaskan baik dalam menetapkan target inflasi maupun dalam menangani faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pencapaian target inflasi tersebut. Tidak dipungkiri bahwa inflasi dapat disebabkan oleh kedua otoritas tersebut, secara sendiri-sendiri atau bersama-sama. Kegagalan dalam mencapai target inflasi jelas mempengaruhi kepercayaan publik/pasar atas kredibilitas, konsistensi, akuntabiltas dan profesionalisme kedua lembaga itu, yang akibatnya telah kita ketahui bersama. Koordinasi di antara kedua lembaga ini amat ditentukan oleh Tim Koordinasi yang dibentuk dan mengambil peran yang penting dalam mengkoordinasikan kebijakan-kebijakan di dua institusi ini. Ada baiknya dipikirkan juga anggota-anggota Tim yang mewakili stackholders yang bukan hanya dari kedua lembaga ini saja, dengan tanggungjawab yang jelas dan mandiri.
b)                   Perlu makin diperjelas, faktor-faktor apa saja yang dapat dikendalikan (endogenous variables) secara sendiri-sendiri atau bersama-sama dari kedua lembaga ini dan faktor-faktor apa saja yang tidak dapat dikendalikan (exogenous variables). Lempar tanggungjawab atau mencari kambing hitam atas kegagalan pencapaian target iflasi yang telah ditetapkan jelas akan menambah ketidakpercayaan publik/pasar, yang harus dihindari semaksimal mungkin oleh kedua lembaga ini.
c)                   Bila kedua lembaga ini terikat oleh subjektifitasnya masing-masing, perlu dipikirkan atau bahkan dibiayai suatu lembaga independent (misalnya perguruan tinggi atau yang lainnya) untuk secara rutin mempublikasi dampak positif-negatif kebijakan-kebijakan yang mempengaruhi target inflasi, siapa diuntungkan dan dirugikan, efeknya terhadap APBN, sector riel atau perekonomian pada umumnya.
d)                   Komunikasi publik yang dilakukan oleh kedua lembaga ini tidak cukup dilakukan dengan pola penyampaian slogan politik, seperti misalnya, don’t worry be happy atau saya masih bisa tidur nyenyak kok!  Komunikasi para pejabat di dua lembaga ini harus lebih mampu mencerminkan profesionalisme argumen tinimbang bersifat sloganistik. Karena mereka sesungguhnya adalah pejabat publik yang professional, bukan pejabat publik politik.  
e)                   Khusus hubungannnya dengan lembaga legislatif (DPR dan DPD), lembaga ini ini sebenarnya lebih berfungsi sebagai lembaga pengawasan politik, yang dalam banyak kasus baru dapat memberikan kebijakannya setelah incident tidak dalam konteks precedent. Lembaga legislatif yang ada sekarang ini, secara kelembagaan, tidak memiliki/dibantu tenaga expertise dalam bidang ini yang cukup memadai, karena itu perannya lamat terbatas secara teknikal.


*****


· Anggota DPR RI Komisi XI (Keuangan, Perbankan dan Perencanaan Pembangunan) dan alumni PhD Ekonomi Oklahoma Stae University, Amerika Serikat. Disampaikan pada diskusi tentang Inflation Targeting Framework diselenggarakan oleh Bank Indonesia tanggal 28 Juni 2006 di Jakarta.

Nota Keuangan RAPBN 2010, dimuat Harian Suara Karya, 5 Agustus 2009


Nota Keuangan RAPBN 2010
Harry Azhar Azis
Wakil Ketua Panitia Anggaran DPR RI

Nota Keuangan yang merupakan dokumen pelengkap RAPBN 2010 telah resmi disampaikan Presiden SBY dalam Sidang Paripurna Luar Biasa DPR, 3 Agustus lalu. Mulai 14 Agustus nanti, ketika DPR kembali dari reses, sampai 30 September ketika DPR periode 2004-2009 selesai masa tugasnya, RAPBN 2010 ini akan dibahas dan ditetapkan bersama antara DPR dan Pemerintah. Pembahasan RAPBN 2010 terlihat sama polanya dengan RAPBN 2005 karena ditetapkan oleh Pemerintah dan DPR yang segera berakhir tetapi dilaksanakan Pemerintah dan diawasi pelaksanaannya oleh DPR yang baru. Dengan kata lain, inilah APBN dalam masa transisi dan akan terus berlangsung serupa dalam tiap lima tahunan. Benchmark lima tahunan ini dapat menjadi ukuran keberhasilan suatu pemerintahan dan kemajuan pembangunan bangsa.

Karena SBY adalah Presiden terpilih pada Pilpres 2004 dan 2009, arah dan pola pelaksanaan APBN 2010-2014 tampaknya tidak berbeda secara signifikan dengan APBN 2005-2009. Sebagai contoh, pendapatan negara dan hibah mengalami peningkatan rata-rata sekitar 20% pertahun yaitu dari Rp 495 triliun (2005) menjadi Rp 873 triliun (2009). Bahkan bila menggunakan data pendapatan tahun 2008 (Rp 982 triliun) peningkatannya mencapai 33% pertahun. Pendapatan tahun 2009 menurun karena Indonesia ikut terkena imbas krisis keuangan global.

Begitu pula bila dilihat dari segi belanja baik belanja pusat maupun transfer daerah. Untuk belanja pusat, terjadi peningkatan rata-rata 17% pertahun dari Rp 361 triliun (2005) menjadi Rp 606 triliun (2009). Hal yang sama terjadi pada dana transfer  daerah, yaitu dana desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas perbantuan, yang meningkat rata-rata sekitar 22 % dari Rp 173 triliun (2005) menjadi Rp 328 triliun (2009).  

Meningkatnya tiap tahun pendapatan dan belanja negara yang menggembirakan ini diharapkan terus berlangsung pada pemerintahan 2009-2014 sehingga tujuan bernegara bagi terwujudnya kemakmuran rakyat yang terus meningkat harusnya juga terjadi. Selama ini belum ada korelasi yang terukur antara peningkatan rupiah dalam APBN dan peningkatan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat seperti yang diamanatkan oleh Pasal 23 UUD 1945. Indikator utama kemakmuran rakyat yang sering menjadi acuan adalah pengangguran dan kemiskinan.  Bila menggunakan angka tahun 2008 dan 2009, pengangguran menurun sekitar 13,6% dari 9,2% menjadi 8,1% sedangkan kemiskinan sekitar 12,8% dari 15,96% menjadi 14,15%. Artinya, peningkatan belanja negara masih belum seimbang dengan penurunan angka pengangguran dan kemiskinan. Pembahasan RAPBN 2010 haruslah makin fokus – sesuai tema besarnya “pemulihan perekonomian nasional dan pemeliharaan kesejahteraan rakyat” - agar peningkatan APBN sebanding atau lebih besar dampaknya bagi peningkatan kemakmuran rakyat sehingga dirasakan langsung makna ideologis tiap bertambahnya rupiah APBN bagi makin sejahteranya kehidupan rakyat.  

Urgensi UU Penilai Bagi Kesinambungan Dunia Usaha, Seminar di Htl Bidakara, 9 Agustus 2010

Urgensi Undang-Undang Penilai bagi Kesinambungan Dunia Usaha

Dr. Harry Azhar Azis, MA.[1]

Dalam menjalankan suatu roda pemerintahan, diperlukan aturan hukum yang jelas. Aturan hukum tersebut berfungsi sebagai regulator yang mengatur hubungan antara pemerintah, swasta dan masyarakat yang terlibat di dalamnya. Di Indonesia, dikenal dua jenis aturan hukum yang berlaku dalam masyarakat, yaitu hukum normatif dan positif. Hukum normatif merupakan landasan hukum yang bersifat tertulis dan berlaku secara umum dan mengikat. Sementara, hukum positif merupakan perangkat hukum yang tidak tertulis dan biasanya berupa hukum adat yang berlaku di dalam kehidupan masyarakat.
Bila ditinjau dari perangkat hukum yang diperlukan bagi penyelenggaraan negara, maka perangkat hukum normatiflah yang paling sesuai dengan tujuan dan manfaat yang ingin diambil dari perangkat hukum tersebut. Selain bersifat mengikat, perangkat hukum ini juga memuat sanksi yang tegas dan jelas. Sehingga, hukum normatif menjadi acuan penyelenggaraan pemerintahan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang dengan catatan sepanjang masih relevan dengan kehidupan masyarakat.      
Berdasarkan UU No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundangan (UU PPP) Pasal 2, “Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum negara”. Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan dasar dalam Peraturan Perundang-undangan (UU PPP Pasal 3 Ayat 1). Jadi, dalam pembentukan Undang-Undang harus selalu mengacu kepada Pancasila dan UUD 1945.
Seluruh sila-sila dalam Pancasila mencerminkan harmonisasi antara kehidupan beragama dan kehidupan bernegara dalam masyarakat yang memiliki kemajemukan tinggi seperti di Indonesia. Salah satu sila Pancasila yaitu sila ke-5 mengandung pesan moral bahwa keadilan harus dikedepankan dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara. Artinya, segala sesuatu yang akan diambil oleh pemangku kebijakan harus mempertimbangkan dampak positif dan negatifnya terhadap kehidupan masyarakat luas, termasuk dampaknya terhadap kepercayaan dunia usaha terhadap pemerintah.

Proses Terbentuknya Undang-Undang
         Mengacu pada UU No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundangan (UU PPP) Pasal 7 Ayat 1, tata urutan peraturan perundang-undangan yang saat ini berlaku di Indonesia adalah sebagai berikut:
1.      Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2.      Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
3.      Peraturan Pemerintah.
4.      Keputusan Presiden.
5.      Peraturan Daerah.
         Pembentukan Undang-Undang merupakan syarat bagi kepastian hukum suatu kebijakan yang menyangkut kepentingan seluruh masyarakat. Tanpa payung hukum yang jelas, maka hal-hal yang menjadi hak dan kewajiban akan menjadi bias dan berpotensi menimbulkan moral hazzard. Ketika terjadi pelanggaran, maka pelaku tidak akan dijerat oleh sanksi hukum karena tidak ada peraturan tertulis yang mengatur hal tersebut atau perangkat hukumnya bersifat lemah. Untuk terbentuknya suatu Undang-Undang, maka Undang-Undang  harus berisi (UU PPP Pasal 8):
a.                  Mengatur lebih lanjut ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang meliputi :
1.             Hak-hak asasi manusia.
2.                  Hak dan kewajiban warga negara.
3.                  Pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara.
4.                  Wilayah negara dan pembagian daerah.
5.                  Kewarganegaraan dan kependudukan.
6.                  Keuangan negara.
b.                  Diperintahkan oleh suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang.

         Terkait dengan perangkat hukum jasa penilai, saat ini peraturan yang berlaku adalah Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 125/PMK.01/2008 Tentang Jasa Penilai Publik. Sebagaimana diketahui, perangkat peraturan yang dinaungi oleh Peraturan Menteri menjadi bias karena tidak termuat secara eksplisit dalam tata urutan perundang-undangan. Jadi, dapat dikatakan bahwa Peraturan Menteri lebih bersifat ad hoc karena tidak berfungsi sebagai peraturan untuk melaksanakan perintah undang-undang yang menyangkut kepentingan publik.
         Agar suatu rancangan undang-undang (RUU) dapat disahkan menjadi undang-undang (UU), maka salah satu persyaratan adalah RUU tersebut harus masuk dalam program legislasi nasional[2] (prolegnas). Sebagai bagian dari proses perencanaan, Rancangan Undang-Undang yang masuk ke dalam prolegnas dipilih berdasarkan skala prioritas. Adapun kriteria prolegnas dibagi berdasarkan prolegnas tahunan dan lima tahunan. Dalam hal Rancangan Undang-Undang Jasa Penilai, sudah masuk ke dalam agenda prolegnas lima tahunan (2009-2014). Skala prioritas RUU yang masuk ke dalam agenda prolegnas didasarkan atas urgensinya terhadap kebutuhan dan kepentingan publik.
Bedasarkan UU PPP, tahapan yang harus dilalui dalam pembentukan Undang-Undang dibagi atas perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan. Pengusulan RUU dapat berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden, dan Dewan Perwakilan Daerah yang disusun berdasarkan program legislasi nasional (UU PPP Pasal 17 Ayat 1). Dalam kedaaan tertentu, Dewan Perwakilan Rakyat atau Presiden dapat mengajukan rancangan undang-undang di luar Program Legislasi Nasional (UU PPP Pasal 17 Ayat 3).
Pengusulan RUU oleh DPR dapat melalui Badan Legislasi (Baleg)/Komisi/Gabungan Komisi (Tatib DPR Pasal 109 Ayat 1), dan 1 orang anggota DPR atau lebih (Tatib DPR Pasal 109 Ayat 2). Sementara, RUU yang diajukan dimasukkan dalam agenda Rapat Paripurna DPR dan harus disertakan dengan naskah akademisnya. Pengambilan keputusan terhadap usulan/inisiatif RUU dibahas dalam Rapat Paripurna DPR kembali dengan 3 alternatif keputusan, yaitu persetujuan tanpa perubahan, persetujuan dengan perubahan, dan penolakan. Apabila keputusan yang diambil adalah persetujuan dengan perubahan, maka Badan Musyawarah (Bamus) DPR menugaskan Baleg/Komisi/Pansus untuk penyempurnaan, sedangkan apabila keputusan terhadap RUU tersebut berupa penolakan, maka RUU tidak dapat diajukan kembali selama masa sidang DPR.


Hambatan yang mungkin muncul dalam Pembentukkan Undang-Undang Jasa Penilai
Proses perencanaan Undang-Undang merupakan proses awal dan sangat penting bagi kelanjutan proses RUU menjadi Undang-Undang. Seperti halnya perencanaan pembangunan, proses perencanaan Undang-Undang harus dilakukan secara rasional dan mengedepankan kebutuhan publik akan hal tersebut. Selain itu, Undang-Undang harus mencerminkan asas keadilan dan menjadi acuan dalam setiap menjalankan kegiatan yang berhubungan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan implikasinya terhadap kehidupan sosial masyarakat.
Seringkali RUU yang diajukan kepada DPR mengalami penolakan, baik RUU yang diusulkan oleh DPR, Presiden, maupun DPD. Berbagai hal yang menyebabkan ditolaknya suatu Rancangan Undang-Undang (RUU) yang pertama, RUU dianggap hanya menguntungkan salah satu golongan masyarakat. Hal ini akan berpotensi timbulnya suatu polemik dalam jangka panjang apabila terus dipertahankan dan disahkan menjadi Undang-Undang.
Kedua, terkait dengan RUU Jasa Penilai, maka harus memuat tugas dan fungsi yang jelas. Sebagai penilai aset kekayaan negara, maka tugas dan fungsi jasa penilai tidak boleh tumpang tindih dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan dan Keuangan Pembangunan (BPKP). Kedudukannya dan ruang lingkupnyapun harus jelas, apakah hanya menilai kekayaan negara di pemerintah pusat atau sampai ke pemerintah daerah.
Ketiga, harus ada standar yang jelas sebagai acuan penggunaan jasa penilai. Sebagai contoh, Badan Standarisasi Nasional yang berpedoman pada PP No. 62 Tahun 2007 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Badan Standarisasi Nasional. Dengan demikian, keberadaan jasa penilai dianggap memiliki kekuatan hukum yang sah (memenuhi aspek legalitas) dan dapat dipertanggungjawabkan karena memenuhi unsur Undang-Undang, yaitu memuat hak dan kewajiban warga negara serta pengelolaan keuangan negara. Disamping itu, peraturan yang memuat tarif dan jenis jasa akan menekan tindakan korupsi, penilaian atas kekayaan negara tidak dapat diintervensi oleh pihak manapun karena dasar penilaian tidak bersifat subjektif, meningkatkan transparansi dan akuntabilitas kekayaan negara, bersifat meningkatkan kapasitas keuangan negara dalam bentuk PNBP, dan meningkatkan kepercayaan dunia usaha terhadap pemerintah.
Keempat, RUU Jasa Penilai harus memuat sanksi hukum yang tegas. Artinya, sanksi yang diterapkan atas tindakan pelanggaran tidak hanya berupa sanksi administratif. Apabila sanksi yang berlaku hanya berupa sanksi administratif, maka potensi kekayaan negara yang hilang akan sangat besar.

Rekomendasi atas RUU Jasa Penilai
         Untuk menciptakan suatu keharmonisan kehidupan bernegara, maka norma-norma atau aturan-aturan harus dapat mengakomodir seluruh kepentingan masyarakat. Tanpa aturan yang berbentuk Undang-Undang, maka peraturan akan mudah dilanggar dan istilah “tebang pilih” akan tetap berlaku ketika terjadi suatu pelanggaran. Oleh karena itu, beberapa hal sebagai alternatif pemecahan masalah yang terkait dengan RUU Jasa Penilai adalah yang pertama, RUU Jasa Penilai harus mengakomodir kebutuhan pemerintah pusat dan daerah. Karena, pengertian kekayaan negara tidak hanya kekayaan yang berada pada pemerintah pusat, tetapi juga di pemerintah daerah. Hasil penilaian terhadap kekayaan negara harus dipublikasikan kepada masyarakat sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas kekayaan negara.
         Kedua, diperlukan harmonisasi dalam penyusunan naskah akademis RUU Jasa Penilai. Hal ini sebagai upaya untuk menghindari tumpang tindihnya RUU tersebut dengan Undang-Undang lain yang mempunyai karakteristik fungsi dan kedudukan sama atau sederajat. 
         Ketiga, perlunya muatan sanksi hukum pidana dalam RUU Jasa Penilai. Didalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 125/PMK.01/2008 Tentang Jasa Penilai Publik, sanksi yang termuat merupakan sanksi administratif atau sanksi perdata. Kedudukan peraturan perundang-undangan yang semakin tinggi menuntut penerapan sanksi yang semakin tegas karena sifatnya yang lebih universal dan sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada masyarakat.
         Ketiga alternatif tersebut diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam penyusunan RUU Jasa Penilai. Dengan harmonisasi perundangan yang baik serta dengan tujuan untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas kekayaan negara, maka hasil penilaian akan memberikan pertimbangan dalam perencanaan pembangunan. Sinergi antara kedua hal tersebut dapat menjadikan penggunaan anggaran negara yang efektif, efisien, dan optimal sehingga akan mengakselerasi pembangunan nasional.


[1] Wakil Ketua Komisi XI DPR RI. Makalah disampaikan pada Seminar Sehari RUU Penilai “Undang-Undang Penilai bagi Dunia Usaha”. Hotel Bidakara Jakarta, 9 Agustus 2010.
[2]Program legislasi Nasional adalah instrumen perencanaan program pembentukan Undang-Undang yang disusun secara berencana, terpadu, dan sistematis (UU No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundangan Pasal 1 Ayat 9).

Nota Keuangan 2009, dimuat Harian Suara karya, 19 Agustus 2008


Nota Keuangan RAPBN 2009
Harry Azhar Azis
Wakli Ketua Panitia Anggaran DPR RI

Inilah Nota Keuangan RAPBN ke-empat yang dibacakan Presiden SBY pada Sidang Paripurna DPR 15 Agustus lalu. Didampingi Wakil Presiden JK, Presiden dengan bangga menyatakan bahwa untuk pertama kalinya sejak kemerdekaan, pendapatan dan belanja negara mencapai di atas Rp 1000 triliun: pendapatan Rp 1023 triliun dan belanja negara Rp 1222 triliun. Angka ini tujuh kali lebih besar dari pendapatan dan 8,3 kali dari belanja dibanding RAPBN akhir masa Presiden Soeharto dimana pada 13 Maret 1998 pendapatan dan belanja ditetapkan seimbang pada Rp 147 triliun.

Pada masa Presiden Habibie, APBN 1998/1999, pendapatan dan belanja seimbang pada Rp 263 triliun. Pendapatan dan belanja negara meningkat Rp 302 triliun dan Rp 342 triliun di akhir masa Presiden Gusdur tahun 2001. Prestasi angka-angka ini tentu berbagi karena Habibibie diganti Gusdur pada 20 Oktober 1999 dan Gusdur diganti Megawati pada 23 Juli 2001. RAPBN 2005 ajuan Presiden Megawati, 16 Agustus 2004, menunjukkan pendapatan dan belanja yang terus meningkat sebesar Rp 378 triliun dan Rp 395 triliun. Dibanding APBN pada masa awalnya, yakni APBP I tahun 2005 sebesar Rp 492 triliun (pendapatan) dan Rp 512 triliun (belanja), kini pemerintahan SBY-JK telah mampu meningkatkan nominal pendapatan dan belanja negara lebih dari dua kali lipat.

Peningkatan ini menggembirakan lebih-lebih bila kinerja APBN, sesuai amanat konstitusi, dapat digunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat. Tantangan terbesar kesejahteraan rakyat adalah menurunkan angka indikator utamanya: pengangguran dan kemiskinan. Mebaiknya indikator makro ekonomi pada tahun 2009 haruslah terkait indikator kesejahteraan tadi. Sebagai contoh,  Nota Keuangan ini menyatakan target pertumbuhan ekonomi 2009 sebesar 6,2%. Bila inflasi 6,5%, yang terjadi justru cancelling out karena pendapatan nasional riel justru menurun 0,3%. Begitu pula bila SBI 3 bulan 8,5%, dibanding tahun ini 7,5%, ini tentu akan makin melemahkan fungsi intermediasi perbankan di tahun depan, memperlambat pertumbuhan investasi, menekan penciptaan lapangan kerja baru dan akhirnya memperkecil dampak anggaran negara bagi penurunan angka pengangguran dan kemiskinan.

Pada tahun 2009 kemiskinan dan pengangguran diharapkan turun menjadi 12%-14% dan 7%-8%. Target ini tidak sulit dicapai karena angka kemiskinan dan pengangguran sekarang 15,4% dan 8,5%. Tetapi mencapai target Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional 2004-2009 sesuai Perpres Nomor 7 Tahun 2005, yang menghendaki pengangguran 5,1% dan kemiskinan 8,2% tahun 2009, birokrasi pemerintah sebagai pelaksana anggaran harus dipacu bekerja ekstra keras. Bila nanti pada Oktober 2008, DPR dan Pemerintah sepakat menghasilkan anggaran yang tidak jauh berbeda, kita berharap dengan kerja keras, bisa makin terlihat relasi positif APBN dan kesejahteraan rakyat. Semoga.