Sabtu, 15 Januari 2011

Nota Keuangan RAPBN 2010, dimuat Harian Suara Karya, 5 Agustus 2009


Nota Keuangan RAPBN 2010
Harry Azhar Azis
Wakil Ketua Panitia Anggaran DPR RI

Nota Keuangan yang merupakan dokumen pelengkap RAPBN 2010 telah resmi disampaikan Presiden SBY dalam Sidang Paripurna Luar Biasa DPR, 3 Agustus lalu. Mulai 14 Agustus nanti, ketika DPR kembali dari reses, sampai 30 September ketika DPR periode 2004-2009 selesai masa tugasnya, RAPBN 2010 ini akan dibahas dan ditetapkan bersama antara DPR dan Pemerintah. Pembahasan RAPBN 2010 terlihat sama polanya dengan RAPBN 2005 karena ditetapkan oleh Pemerintah dan DPR yang segera berakhir tetapi dilaksanakan Pemerintah dan diawasi pelaksanaannya oleh DPR yang baru. Dengan kata lain, inilah APBN dalam masa transisi dan akan terus berlangsung serupa dalam tiap lima tahunan. Benchmark lima tahunan ini dapat menjadi ukuran keberhasilan suatu pemerintahan dan kemajuan pembangunan bangsa.

Karena SBY adalah Presiden terpilih pada Pilpres 2004 dan 2009, arah dan pola pelaksanaan APBN 2010-2014 tampaknya tidak berbeda secara signifikan dengan APBN 2005-2009. Sebagai contoh, pendapatan negara dan hibah mengalami peningkatan rata-rata sekitar 20% pertahun yaitu dari Rp 495 triliun (2005) menjadi Rp 873 triliun (2009). Bahkan bila menggunakan data pendapatan tahun 2008 (Rp 982 triliun) peningkatannya mencapai 33% pertahun. Pendapatan tahun 2009 menurun karena Indonesia ikut terkena imbas krisis keuangan global.

Begitu pula bila dilihat dari segi belanja baik belanja pusat maupun transfer daerah. Untuk belanja pusat, terjadi peningkatan rata-rata 17% pertahun dari Rp 361 triliun (2005) menjadi Rp 606 triliun (2009). Hal yang sama terjadi pada dana transfer  daerah, yaitu dana desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas perbantuan, yang meningkat rata-rata sekitar 22 % dari Rp 173 triliun (2005) menjadi Rp 328 triliun (2009).  

Meningkatnya tiap tahun pendapatan dan belanja negara yang menggembirakan ini diharapkan terus berlangsung pada pemerintahan 2009-2014 sehingga tujuan bernegara bagi terwujudnya kemakmuran rakyat yang terus meningkat harusnya juga terjadi. Selama ini belum ada korelasi yang terukur antara peningkatan rupiah dalam APBN dan peningkatan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat seperti yang diamanatkan oleh Pasal 23 UUD 1945. Indikator utama kemakmuran rakyat yang sering menjadi acuan adalah pengangguran dan kemiskinan.  Bila menggunakan angka tahun 2008 dan 2009, pengangguran menurun sekitar 13,6% dari 9,2% menjadi 8,1% sedangkan kemiskinan sekitar 12,8% dari 15,96% menjadi 14,15%. Artinya, peningkatan belanja negara masih belum seimbang dengan penurunan angka pengangguran dan kemiskinan. Pembahasan RAPBN 2010 haruslah makin fokus – sesuai tema besarnya “pemulihan perekonomian nasional dan pemeliharaan kesejahteraan rakyat” - agar peningkatan APBN sebanding atau lebih besar dampaknya bagi peningkatan kemakmuran rakyat sehingga dirasakan langsung makna ideologis tiap bertambahnya rupiah APBN bagi makin sejahteranya kehidupan rakyat.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar