Kamis, 06 Januari 2011

Seminar Infobank (9 Juli 2010) : Legislatif, BPR, Ekonomi Rakyat dan UMKM

Dukungan Legislatif atas BPR, Ekonomi Rakyat dan UMKM
Dr. Harry Azhar Azis, MA.[1]

Pengembangan industri mikro, kecil, dan menengah membutuhkan strategi pembiayaan tepat. Model yang dikembangkan sekarang adalah program Kredit Usaha Rakyat (KUR). Bank yang ditunjuk bank “plat merah” seperti Bank BRI, Bank Mandiri, Bank BNI, Bank BTN, Bank Bukopin, Bank Syariah Mandiri, dan Bank Pembangunan Daerah (BPD). Hingga April 2010, realisasi KUR masih minim, yaitu 67%.  Penyaluran tertinggi pada BPD yang tersebar di Jawa. Sementara, wilayah lain yang memerlukan dukungan ini, terutama di kepulauan masih harus menunggu.

Pendanaan UMKM melalui Bank Perkreditan Rakyat (BPR), karena menyebar di pedesaan seharusnya menjadi alternatif. Berbagai persyaratan administrasi yang mudah menjadi keunggulan BPR memberi pembiayaan. UU 10/1998 tentang Perbankan Pasal 1 Ayat 4 menyatakan, “BPR adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran”, sedangkan Pasal 13c nya menyatakan salah satu usaha BPR adalah menyediakan pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai ketentuan Bank Indonesia. Cakupan BPR  memang masih sangat kecil dibandingkan bank umum maupun kovensional.  Karena itu, perlu terobosan kebijakan.  Tulisan ini mengurai BPR dan UMKM mendukung perekonomian rakyat.  Juga diulas masalah krusial dan catatan yang perlu.

Perkembangan BPR

Jumlah BPR di Indonesia fluktuatif. Tahun 2008 rata-rata 1.793 lembaga, 2009 sebesar 1.755 dan hingga Mei 2010 menjadi 1.716.  Data menunjukkan cukup banyak BPR dilikuidasi Bank Indonesia karena tidak memenuhi persyaratan.  Namun, aset BPR meningkat dari Rp 32,5T (2008) menjadi Rp 37,6T (2009) atau sebesar 15,4%. Kredit meningkat dari Rp 25,5T (2008) menjadi Rp 28T (2009), meningkat 9,9%, sementara DPK dari Rp 24T menjadi Rp 25,6T atau meningkat 19,7%. 

Tabel 1. Perkembangan Kredit dan Kualitas Kredit BPR
Sumber : Laporan Pengawasan Perbankan 2009 (Bank Indonesia)

Tabel 2.  Indikator Utama BPR
Sumber : Laporan Pengawasan Perbankan 2009 (Bank Indonesia)

Meski BPR merupakan lembaga keuangan bank yang memudahkan debitur UMKM, suku bunga kreditnya jauh lebih tinggi dibanding suku bunga kredit -bank umum. Rata-rata suku bunga berada di atas 25%, bahkan Juni 2010 suku bunga kredit BPR mencapai kisaran 22,25 - 35,56% untuk kredit UMKM (vivanews.com, 2010). Hal ini kemungkinan sebagai respon terhadap tingginya angka NPL BPR yang mencapai 7,8%.

Tingginya NPL ini diakibatkan kurang hati-hatinya BPR menyalurkan kredit. Rendahnya rasio kecukupan modal minimum (CAR), kurang 4%, menyebabkan banyak BPR masuk ke dalam pengawasan BI hingga dilikuidasi. Sepanjang 2008-2010, BPR dilikuidasi 38 unit dan didominasi BPR di Jawa dan Bali, sehingga laju pertumbuhan  negatif 2,2%. BPR menghadapi cukup besar.  Secara internal, selain tingginya suku bunga,  kredit macet cukup besar dan kecukupan modal minimum, BPR menghadapi rendahnya kepercayaan masyarakat dan Bank Umum atas BPR.  Hal ini terkait BPR yang ditutup selama beberapa tahun ini dan kinerja sebagian BPR yang belum menggembirakan.

Tabel 3.  Perkembangan Pangsa BPR
Sumber : Laporan Pengawasan Perbankan 2009 (Bank Indonesia)

UMKM dan Kredit

Jumlah unit usaha mikro, kecil dan menengah meningkat tiap tahun.  Tahun 2006 jumlah unit usaha mikro  48,1 juta, usaha kecil 0,473 juta, usaha menengah 0,037 juta unit.  Unit usaha besar 4,6 ribu unit. Tahun 2008,  unit usaha mikro 50,7 juta, usaha kecil 0,502 juta, menengah 0,039 juta dan besar menurun menjadi 4,4 ribu unit.  Sumbangan terhadap PDB pada 2006, UMKM menyumbang PDB Rp 1035,6T atau 58,5% PDB atas skala usaha, usaha besar menyumbang Rp 735T atau 41,5%.  Hingga 2008, meski semua mengalami peningkatan namun komposisi PDB ternyata tetap sama dimana UMKM menyumbang 58,5% (Rp 1165T) dan usaha besar Rp 832T.
Meski unit usaha dan sumbangan meningkat, kredit UMKM alami kelambatan.  BI (2009) mencatat realisasi Kredit UMKM tahun 2009 Rp 106,4T atau tumbuh 16,1%  dibandingkan realisasi 2008 Rp 136,3T atau tumbuh 26,0%.  Perlambatan ini disebabkan krisis global yang mempengaruhi debitur mengurangi ekspansi kredit (bersikap wait and see) dan bank-bank lebih selektif menyalurkan kredit dan fokus dalam pengendalian NPL seperti pembinaan debitur lama.

Sumbangan BPR dalam pangsa kredit UMKM ternyata masih kecil yakni 3,8% tahun 2009.  Bandingkan dengan Bank Persero sebesar 37,2%, Bank BUSN Devisa 37,2%, dan BPD 14,0%.  Kelompok Bank Asing dan Campuran berpangsa 2,1% dan 1,7%.  BPR menghadapi persaingan ketat dalam pengembangan usaha, saat ini dan ke depan.

Tantangan BPR dalam Pengembangan UMKM

Sorotan peran BPR memang banyak diwacanakan. Masalahnya bagaimana BPR terbantukan dan memberi multiplier efek pada ekonomi rakyat.  Tantangannya, pertama,  porsi BPR yang kecil dalam penyeluran kredit UMKM akan terancam oleh bank-bank asing yang bergerak cepat. Karena itu,  BPR perlu memperbaiki kesehatan kinerja perbankannya, baik rasio kredit bermasalah (NPL), tingginya suku bunga, pemenuhan setoral modal dan pengembangan usaha di luar Jawa.  

Kedua, kapitalisasi sumberdaya BPR untuk memenuhi tingkat permintaan kualitas pelayanan maksimum tidak akan tercapai selama masih dalam skala kecil. Dengan modal terbatas, BPR berkemampuan rendah dalam menawarkan insentif, hadiah maupun tawaran menarik lainnya.  Bank umum menyiapkan paket promosi lengkap, mulai hadiah mewah hingga fasilitas memadai.  Karena itu, proses akuisi maupun merger bukanlah “tabu  daripada menjadi bank gagal.

Ketiga, usulan  BI menjadikan BPR sebagai “bank komunitas”  perlu dikaji, khususnya untuk kelas bawah.  Di satu sisi sebagai kritik atas arah BPR, disisi lain tantangan agar lebih dekat “masyarakat” dibanding bank umum yang “user friendly”.

Keempat,  program KUR berpotensi tumpang tindih pelayanan sektor keuangan mikro sehingga banyak yang mengambil kredit namun tidak memperhatikan risikonya yang berpotensi macet.  Hal ini karena ketidakjelasan, siapa target sasaran kredit BPR atau KUR.  Meski sama-sama menggerakkan perekonomian rakyat, namun rangsangan kredt ini dapat menjadi “moral hazard” yang merugikan.  Pemerintah dan  BPR perlu membuat target pemanfaatan kredit subsidi bunga KUR atau mekanisme regular BPR.

Melihat Ke Depan
Dukungan legislatif penting dalam pengembangan BPR dan UMKM ke depan, khususnya terkait tugas, fungsi dan kewenangan DPR RI.
Pertama,   legislatif mendorong Otoritas Jasa Keuangan cepat berdiri dan dapat melakukan pengawasan dan pembinaan industri BPR.
Kedua,  legislatif mendorong otoritas fiskal dan moneter  mengeluarkan kebijakan mempermudah “unbanking person” menjadi “banking person”.  Hal ini akan menjadi pasar baru yang besar.  Kelompok simpan pinjam, arisan dan microfinance informal aagar dapat terakses ke jasa perbankan.
Ketiga,  legislatif mendorong otoritas moneter segera melakukan perubahan mendasar atas dokumen Arsitektur Perbankan Indonesia.  Perubahan yang dimaksud yakni menempatkan posisi BPR sebagai mitra strategis dalam pengembangan UMKM, baik pada level komunitas maupun regional.  Hal ini harus sejalan dengan technical assistance kepada BPR agar lebih sehat.  Salah satunya, aturan teknis pelaksanaan bank komunitas yang berada dalam level provinsi dengan batasan kredit tertentu.

Terima Kasih


[1] Ketua Badan Anggaran DPR RI. Makalah disampaikan pada seminar “Dukungan Legislatif dalam Pengembangan BPR untuk Pemberdayaan Ekonomi Rakyat dan UMK. Jakarta, 9 Juli 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar