Kamis, 06 Januari 2011

Nasionalisme Pemuda dan Ekonomi Bangsa, Seminar Prodem, Jkt, 19 Okt 2010

Nasionalisme Pemuda dan Masalah Ekonomi Bangsa
Dr. Harry Azhar Azis, MA[1]
Generasi muda harapan bangsa. Sebagai penerus, kepekaan atas masalah bangsa perlu diukir dengan pengetahuan dan pengalaman. Sebagian generasi muda yang apatis dan hedonis harus diimbangi spirit aktivisme yg eager dalam penguatan kualitas diri dan sosial. Semangat otonomi daerah dan globalisasi menuntut generasi muda bangsa untuk responsif atas perubahan. Otonomi daerah mencipta fiscal competition antar daerah[2]. Globalisasi mendorong peluang dan tantangan bagi kompetisi kompetensi dan networking.
Masalah pokok adalah kemiskinan dan ketimpangan antar daerah. Sikap meniru (imprinting) seperti gaya hidup boros, konsumtif, apatis, egois, adalah cacat globalisasi di kalangan muda. Generasi muda tangguh dan berpendidikan adalah harapan  masa depan.
Pengangguran dan Kemiskinan
Kemiskinan dan pengangguran masalah kita. Pengangguran terbuka 2005 sampai 2009 banyak lulusan SMTA dari 34,8% menjadi 25,9%. Yang tidak sekolah/tamat SD (20,9%).
Tabel 1. Pengangguran Terbuka Menurut Pendidikan tamat, 2005 – 2009 (%)




                  Sumber : BPS, 2010 (diolah)
            Pada pengangguran terbuka provinsi (2006 – 2010), Banten  urutan pertama (15,8%). NTT paling rendah (3,7%). Kemiskinan tertinggi di Papua Barat dan di DKI (4,1%).  Tidaklah heran bila  DKI Jakarta menjadi magnet pencari kerja.


Tabel 2. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Menurut Provinsi, 2006-2010 (%)
                                                           

















            Sumber : BPS, 2010
Tabel 3. Tingkat Kemiskinan Menurut Provinsi, 2006-2010 (%)
Sumber : BPS, 2010
Di Asia Tenggara, Indonesia di posisi 5 setelah Vietnam, Lao PDR, Kamboja, dan Filipina. Bila konsumsi $1,25/hari (PPP),  kemiskinan naik 29,4% (2007) dari 21,4% (2005). Rasio kesenjangan (poverty gap ratio) naik 2,5% dari 2005 ke 2007, gap tambah besar[3]. Kemiskinan naik terlihat pada level 15,9% (2005) menjadi 16,6% (2007)[4].
Tabel 4. Tingkat Kemiskinan Negara-Negara Asia Tenggara
Sumber : UNSD, 2010.
Penyerapan Tenaga Kerja
            Penganggguran terkait penyediaan lapangan pekerjaan. Sektor pertanian, kehutanan, peternakan, dan perikanan pada 2004-2009 menyediakan 42,01% lapangan kerja, dengan 43,3% (2004) menjadi 41,18% (2009). Sektor kedua (20,3%), perdagangan besar, eceran, rumah makan, dan hotel, 20,4% (2004) dan 20,9% (2009). Sektor ketiga (12,3%), industri pengolahan 11,8% (2004) dani 12,1% (2009). Inilah labor intensive sector.
Tabel 5. Tingkat Penyerapan Angkatan Kerja Sektoral, 2004 - 2009
Sumber : BPS, 2010 (diolah)
Penyerapan tenaga kerja yang lebih besar dibandingkan kontribusi pada PDB ada di sektor Pertanian, Kehutanan, Peternakan dan Perikanan; Perdagangan Besar, Eceran, Rumah Makan, dan Hotel; serta sektor Jasa Kemasyarakatan, Sosial dan Perorangan, dengan rasio masing-masing 2,9%; 1,2%; dan 1,3%. Sektor lainnya berkontribusi pada PDB yang jauh lebih besar dibandingkan daya serap tenaga kerja yang sebenarnya (rasio < 1).
                  Artinya, sektor Pertanian, Kehutanan, Peternakan dan Perikanan; Perdagangan Besar, Eceran, Rumah Makan, dan Hotel; serta sektor Jasa Kemasyarakatan, Sosial dan Perorangan mengalami kelebihan beban tenaga kerja dibanding yang seharusnya.. Ketiga sektor tersebut “dipaksa” untuk menyerap tenaga kerja diluar dayanya karena rasio antara penyerapan tenaga kerja terhadap pangsa dengan PDB pada masing-masing sektor lebih besar dari 1. Sektor lainnya masih memiliki kemampuan  menyerap karena rasio penyerapan tenaga kerja terhadap pangsa dengan PDB pada masing-masing sektor lebih rendah dari 1.
Tabel 6. Rasio Penyerapan Tenaga kerja, Pangsa dan PDB Sektoral 2004 – 2009 (%)


Sumber : BPS, 2010 (diolah)
Anggaran Perlindungan Sosial dan Kesejahteraan
Kecenderungan anggaran untuk kemiskinan melalui fungsi perlindungan sosial dan pengentasan pengangguran ke dalam subfungsi perdagangan, pengembangan usaha, koperasi, dan UKM mengalami penurunan. Pada 2005, proporsi anggaran perlindungan sosial dan kesejahteraan 0,7% (APBN). Dan, terus menurun ke 0,5% (RAPBN 2011). Anggaran perlindungan sosial dan kesejahteraan selama tujuh tahun terakhir menurun sebesar 0,14%.
Tabel 7. Anggaran Perlindungan Sosial dan Kesejahteraan dan Proporsinya terhadap APBN, 2005 – 2011 (%)
Sumber : Kementerian Keuangan, 2010.
Keterangan :
Anggaran berdasar Belanja Pemerintah Pusat, Fungsi Perlindungan Sosial dan Ekonomi (di luar belanja rutin).

Laporan Asian Development Bank (ADB) menyebut anggaran perlindungan sosial Indonesia turun dari 2001 sampai 2004. Proporsi anggaran perlindungan sosial dan kesejahteraan 1,9% (2001) terhadap PDB,  pada 2004 menjadi 1,1% (PDB). Negara lain justru meningkat seperti Kamboja, Malaysia, Philipina, dan Thailand.

Tabel 8. Anggaran Perlindungan Sosial/Kesejahteraan (PDB)  Asia Tenggara (%)
Sumber : ADB, 2010.

Generasi Muda Saat Ini
Hakikat pembangunan tidak hanya fisik tetapi juga non-fisik atau kualitas SDM. Pertama, kualitas sumber daya manusia Indonesia  tergolong rendah rata-rata seperti ukuran Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebesar 71,17 pada tahun 2008[5]. Kedua, pranata pembangunan manusia terkait adat berlaku dan terisolir dari akses pendidikan dan kesehatan. Rendahnya semangat belajar, kerja keras, dan tingginya perilaku konsumtif harus diperangi. Ketiga, kemajuan teknologi harus disertai perilaku positif sehingga tidak menjadi imprinting atas hal-hal negatif karena teknologi. Keempat, kurang peka. Sikap apatis dan individualistis makin tumbuh.

Generasi Muda Ke Depan
Untuk menjadi bangsa yang besar, generasi muda harus pro-aktif dan kerja keras. Untuk itu, perlu:  pertama, optimalisasi pembangunan SDM melalui sarana pendidikan. Dana pendidikan yang saat ini mencapai 20% dari APBN sesuai amanat UUD 1945 Pasal 31 Ayat 4 dan diperkuat UU Nomor 20/2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Pasal 46 Ayat 2, harus dioptimalkan untuk pembangunan dan pengembangan SDM. Kedua, partisipasi generasi muda terus menerus dalam pengembangan infrastruktur pendidikan dan kesehatan sampai ke wilayah pelosok untuk ikut menyadarkan masyarakat. Pendidikan harus dipandang sebagai gunting memotong tali yang kemiskinan. Ketiga, penguasaan teknologi secara bertanggungjawab. Informasi harus diseleksi. Keempat, kepekaan atas masalah bangsa harus dipupuk, sense of belongingness and responsibility. Social capital harus terus dikembangkan, egoisme, apatisme dan hedonisme bukan teman kesejahteraan.


[1] Wakil Ketua Komisi XI (Keungan dan Perbankan) DPR RI. Anggota DPR RI Dapil Kepri. PhD Oklahoma State University, USA (2000). Diskusi publik “Nasionalisme Vs Neokolonialisme Perdagangan” oleh ProDem, Hotel Sahid Jakarta 19 Oktober 2010.
[2] Musgrave, R. A. 1997. Devolution, Grants, and Fiscal Competition. The Journal of Economic Perspectives, Vol. 11, No. 4 (Autumn, 1997), pp. 65-72. 
[3] Millennium Indicators Database Online (UNSD, 2010).
[4] BPS, 2010
[5] BPS, 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar