Jumat, 07 Januari 2011

Governance dan Akuntabilitas Bank Indonesia, Materi utk SESPIBI di Jakarta, 7 Maret 2010


GOVERNANCE  DAN AKUNTABLITAS
BANK INDONESIA

Dr. Harry Azhar Azis[1]

INDEPENDENSI DAN KOORDINASI
Undang Undang Bank Indonesia (UU BI) 13/1968 diubah menjadi UU 23/1999 dan diubah lagi ke UU 3/2004. Kini rencana perubahan UU BI masuk Proglenas. Kasus Bank Century menimbulkan pertanyaan tentang perundangan, implemnetasi atau keduanya, terutama terkait governansi dan akuntabilitas. Pada UU 13/1968, BI tunduk pada Dewan Moneter  pimpinan pemerintah. Krisis moneter 1998 dianggap karena BI terkooptasi dengan pemerintah. Lalu, UU 23/1999 membuat BI ‘amat’ independen.

Prinsip independensi BI di UU 23/1999 mendahului Perubahan ke-4 UUD 1945. Tahun 2002 ditetapkan Pasal 23D UUD 1945: “Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggungjawab dan independensinya diatur dengan UU.” Dalam rumusan “Menimbang huruf d” dalam UU BI 23/1999 disebutkan: “…diperlukan Bank Sentral yang memiliki kedudukan yang independen.” Ketika diubah menjadi UU BI 3/2004, rumusannya, “perlu…keseimbangan antara independensi BI dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dengan pengawasan dan tanggungjawab atas kinerjanya serta akuntabilitas publik yang transparan.” UU BI 23/2004 menambah konsep keseimbangan yang multitafsir. Salah satunya tertuang pada Pasal 21 UU 17/2003 tentang Keuangan Negara, perlu koordinasi antara BI dan Pemerintah Pusat dalam penetapan dan pelaksanaan kebijakan moneter dan fiskal.

Apa Arti Independensi BI
Bagaimana memahami perintah “koordinasi” dalam kaitan kata “independensi.” Apakah seperti Perppu Nomor 4/2008 tentang Jaringan Pengaman Sistem Keuangan, yang tidak disetujui DPR itu? Pasal 5 Perppu No 4/2008 menyebut Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) keanggotaannya terdiri dari Menteri Keuangan sebagai Ketua merangkap Anggota dan Gubernur Bank Indonesia sebagai Anggota. Pada Pasal 10 ayat 3 disebutkan dalam hal tidak tercapai mufakat, Ketua KSSK menetapkan keputusan. Pasal ini dipahami Gubernur BI tunduk pada keputusan Menteri Keuangan, artinya tidak independen! Mengapa sebagian mengartikan independensi BI seperti “Negara dalam Negara?” Dalam konteks koordinasi, bagaimana bila BI dan pemerintah mengambil kebijakan berbeda? Misalnya BI menaikkan suku bunga tetapi pemerintah menambah belanja stimulus. Apakah independensi BI tunduk pada kepentingan lebih besar, seperti negara? Siapa itu? Keputusan Presiden saja atau Presiden bersama DPR disebut kebijakan negara, seperti layaknya untuk pengesahan UU?

Independensi BI sering diartikan untuk semua bidang seperti (a) kelembagaannya, (b) kebijakan moneter, sasaran dan instrumennya, (c) SDM, termasuk sistem rekuritmen, penggajian maupun “reward” yang ditentukan sendiri, (d) anggaran. Seperti terlihat pada Pasal 4 ayat 2 “…bebas dari campur tangan pemerintah dan/atau pihak lain..” Contoh, pada Pasal 51 ayat 1 “Gaji, penghasilan lainnya dan fasilitas bagi Gubernur, Deputi Gubernur Senior dan Deputi Gubernur ditetapkan oleh Dewan Gubernur.” Faktanya, dari semua Pejabat Negara termasuk Presiden, gaji Gubernur BI adalah paling tinggi. Seharusnya level gaji tertinggi pejabat Negara adalah Presiden. Pada Pasal 60 ayat 3: “anggaran kegiatan operasional….disampaikan kepada DPR….untuk mendapat persetujuan.” Pasal 51 ayat 1 dan Pasal 60 ayat 3 menjadi  perdebatan di Komisi XI DPR. Ada yang menyatakan Pasal 51 ayat 1 berdiri sendiri. Sebaliknya ada pula yang menyatakan Pasal 51 ayat 1 tunduk pada Pasal 60 ayat 3, karena gaji Gubernur BI bagian dari anggaran operasional BI. Penjelasan Pasal 60 ayat 3: “…Apabila setelah tanggal 31 Desember belum mendapat persetujuan anggaran yang diusulkan dianggap disetujui.”  Bandingkan dengan Pasal 23 ayat 3 UUD NKRI 1945: “Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara yang diusulkan oleh Presiden, Pemerintah menjalankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang lalu”. Penjelasan Pasal 60 ayat 3 ini menempatkan pilihan DPR “seolah” harus menyetujui anggaran yang diajukan BI. Pada Pasal 60 ayat 4, “anggaran untuk kebijakan moneter, sistem pembayaran serta pengaturan perbankan wajib dilaporkan secara khusus kepada DPR.” Ayat ini tidak menyatakan harus mendapat persetujuan DPR, cukup “melaporkan” saja. Dalam Penjelasannya, yang dimaksud secara khusus itu adalah dilaporkan secara tertutup kepada Komisi (DPR) yang membidangi Bank Indonesia dan Perbankan. Hal ini justru bertentangan dengan Prinsip “transparansi” yang dikehendaki oleh UU ini (seperti tertuang dalam hal Menimbang huruf c dan Pasal 7 ayat 2).

Peran BI
Peran BI membangun bangsa dan negara sangat strategis. Peran itu terkait  konteks UUD 1945 Pasal 23D. Bagaimana peran yang lebih sesuai bila UU BI 3/2004 diubah. Pasal 7 yang semula berbunyi “..mencapai dan menjaga kestabilan nilai rupiah” (UU 23/1999)  ditambah ayat baru, Pasal 7 ayat 2 (UU 3/2004): “..Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia melaksanakan kebijakan moneter secara berkelanjutan, konsisten, transparan, dan harus mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian.” Pasal 8 menyebut tiga tugas: 1) menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, 2) mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, dan 3) mengatur dan mengawasi bank. Dengan mengacu pada Pasal 7 ayat 2, dalam pelaksanaan tugasnya, independensi BI harus mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian, ini wilayah amat interpretatif. Karena itu, tafsir makin jelas menguntungkan penegakkan akuntabilitas dan governansi, seperti dalam konteks: (a) pengertian independensi BI yang lebih tepat, (b) pemahamanan fungsi kebijakan moneter BI, (c) pengawasan dan penilaian atas kinerja BI, (d) transparansi dan akuntabilitas anggaran BI, (e) hubungan dengan pemerintah, (f) tanggungjawab BI atas perbaikan perekonomian dan kelancaran kegiatan pembangunan bangsa.

Reward dan Punishment System
Peraturan BI mempengaruhi seluruh stackholders perekonomian nasional. Namun tidak ada aturan dalam UU BI mengenai sanksi bila BI melakukan kesalahan baik dalam perencanaan maupun pelaksanaannya, sengaja atau lalai. Misalnya, tugas utama BI  mencapai dan menjaga stabilitas nilai rupiah. Bila tingkat inflasi tidak terkendali, nilai tukar rupiah tidak stabil, siapa yang harus dipersalahkan? Selama ini BI beralasan bahwa tingkat inflasi tidak sepenuhnya di bawah kontrol BI karena itu tidak layak BI bertanggungjawab untuk sebab-sebab yang diluar wewenangnya. Benarkah? Sisi supply side economy dan pembangunan infrastruktur  memang merupakan wilayah tanggungjawab pemerintah, bagaimana menghitung porsi tanggungjawab masing-masing? Bagaimana pula bila penyebabnya diluar kontrol wilayah BI maupun pemerintah seperti domino effek dari krisis negara tetangga atau negara lain, terjadi bencana alam atau musibah penyakit epidemis yang menghambat distribusi supply, dan seterusnya.

Rumusan Pasal 9 ayat 2 menyatakan “BI wajib menolak dan atau mengabaikan segala bentuk campur tangan dari pihak manapun dalam rangka pelaksanaan tugasnya.” Hal ini bisa bertentangan dengan hak DPR, yang dijamin UUD 1945, untuk mengawasi dan mengevaluasi kinerja BI. Pasal ini termasuk yang harus diperjelaskan. Penjelasan tentang Pasal ini atau Pasal-pasal yang dianggap dapat mengganggu independensi BI bukan saja harus dilihat dalam konteks hubungan kelembagaan dalam sistem ketatanegaraan tetapi juga penguatan aspek penegakkan hukum (law enforcement)  bila terjadi pelanggaran.

Good Governance dan Akuntabilitas
Good governance adalah paradigma baru setelah reformasi. Isu good governance mencuat akhir 1980-an, setelah tembok Berlin runtuh dan kemiskinan meluas di Eropa Timur, Afrika, dan Asia. Isu ini terus dikembangkan seperti oleh U.K. Overseas Development Administration, United Nations Development Programe, dan World Bank[2]. Menurut mereka, dalam governance substansi paling penting adalah unsur akuntabilitas. Di Indonesia, good governance mencuat sejak 1990-an dan menjadi tolak ukur lembaga donor memberi pinjaman dan hibah. Agenda mewujudkan tata kinerja yang baik makin menjadi prioritas dan tantangan semua institusi publik. Good governance mengukur proses pencapaian keputusan dan pelaksanaan untuk dipertanggungjawabkan bersama. Governance, yang diterjemahkan menjadi tata pengelolaan, adalah penggunaan wewenang ekonomi, politik dan administrasi guna mengelola urusan negara pada semua tingkat.[3] Governance mencakup  mekanisme, proses dan lembaga dimana warga masyarakat mengutarakan kepentingan mereka, memperoleh hak, memenuhi kewajiban dan menjembatani perbedaan. Definisi lain, governance adalah mekanisme pengelolaan sumber daya ekonomi dan sosial melibatkan pengaruh sektor negara dan masyarakat dalam suatu usaha kolektif.[4] Asumsinya banyak aktor terlibat dan tidak ada yang sangat dominan menentukan gerak aktor lain. Governance membantah paham formal bekerjanya institusi-institusi negara. Governance mengakui banyak pusat pengambilan keputusan pada tingkat berbeda.
UNDP merekomendasikan karakteristik governance, yaitu legitimasi politik, kerjasama dengan institusi masyarakat sipil, kebebasan berasosiasi dan berpartisipasi, akuntabilitas birokratis dan keuangan, efisiensi manajemen sektor publik, kebebasan informasi dan ekspresi, sistem yudisial yang adil dan dipercaya. World Bank mengungkapkan sejumlah karakteristik good governance adalah masyarakat sipil yang kuat dan partisipatoris, terbuka, kebijakan yang dapat diprediksi, eksekutif yang bertanggung jawab, birokrasi yang profesional dan aturan hukum yang pasti. Asian Development Bank menegaskan konsensus umum bahwa good governance dilandasi 4 pilar yaitu (1) accountability, (2) transparency, (3) predictability, dan (4) participation.[5]
Akuntabilitas menjadi kunci dari semua prinsip ini. Prinsip ini menuntut dua hal yaitu (1) kemampuan menjawab (answerability), dan (2) konsekuensi (consequences). Komponen pertama (bermula dari responsibilitas) terkait dengan tuntutan agar mereka yang berwenang mampu menjawab setiap pertanyaan berhubungan penggunaan kewenangan, untuk apa sumber daya digunakan, dan apa pencapaiannya. Miriam Budiardjo mendefinisikan akuntabilitas sebagai “pertanggungjawaban pihak yang diberi mandat untuk memerintah kepada mereka yang memberi mandat itu.”[6] Akuntabilitas adalah pertanggungjawaban dengan pengawasan distribusi kekuasaan sehingga konsentrasi kekuasaan tidak menumpuk dan terjadi kondisi saling mengawasi (check and balance). Guy Peter menyebutkan 3 tipe akuntabilitas : (1) akuntabilitas keuangan, (2) akuntabilitas administratif, dan (3) akuntabilitas kebijakan publik.[7] Hopwood dan Tomkins (1984), dimensi-dimensi akuntabilitas pada organisasi sektor publik , yaitu akuntanbilitas hukum dan kejujuran, akuntabilitas manajerial, akuntabilitas program, akuntabilitas kebijakan, dan akuntabilitas keuangan[8].
Akuntabilitas Indonesia
Pemerintah melakukan sosialisasi konsep Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) kepada 41 Departemen/LPND. Di tingkat unit kerja Eselon I, dilakukan berdasarkan permintaan dari pihak unit kerja yang bersangkutan, dimana capaian dan cakupannya masih tergolong rendah. Dengan komitmen tiga pihak yakni Lembaga Administrasi Negara (LAN), Sekretariat Negara, dan BPKP, maka pemerintah mulai memperlihatkan perhatiannya pada implementasi akuntabilitas. Hal ini terlihat jelas dengan diterbitkannya Inpres No. 7 tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Inpres ini menginstruksikan setiap akhir tahun seluruh instansi pemerintah (dari eselon II ke atas) wajib menerbitkan Laporan Akuntabilitas Kinerja (LAK). Dengan LAK seluruh instansi pemerintah dapat menyampaikan pertanggungjawabannya dalam bentuk konkrit ke arah pencapaian visi dan misi organisasi.
UU 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN menegaskan asas akuntabilitas penyelenggaraan negara dan pengelolaan pemerintahan. UU berlaku untuk semua penyelenggara negara. UU 17/2003 tentang Keuangan Negara khususnya di pasal 14 ayat (2) yang menyatakan bahwa instansi pemerintah diwajibkan menyusun rencana kerja dan anggaran yang didasarkan pada prestasi kerja yang akan di capainya. Dengan demikian terdapat hubungan yang erat antara anggaran pemerintah (APBN dan APBD) dengan kinerja yang akan dicapainya berdasarkan perencanaannya. PP 24/2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) mempertegas teknis pelaksanaannya

Diagram 1 menjelaskan opini pemeriksaan BPK atas LKKL tahun 2006-2008. Diagram itu menggambarkan kemajuan laporan keuangan yang membaik pada K/L. Persentase Kementerian/Lembaga yang memperoleh opini pemeriksaan Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) meningkat dari 7,3% (2006) menjadi 41,5% (2008).  Sementara prosentase  opini Tidak Menyatakan Pendapat (TMP) atau disclaimer telah menurun dari 45,1% (2006) menjadi  21,9% (2008). Tentu disclaimer harus menjadi 0%.

Diagram 1. Hasil Pemeriksaan LKKL 2006-2008
Saat ini, good governance Indonesia oleh Transparansi Internasional masih dibawah angka psikologis (4 dari skala 10). Sejak krisis ekonomi 1997 sampai 2007, good governance di Indonesia berkisar angka + 2,5. Ini yang yang terus harus diperbaiki.
Upaya Reposisi
Citra BI yang tertimpa kasus-kasus memang harus diperbaiki, yang tentu ini berpengaruh atas akuntabilitas lembaga ini.  Pertama, perbaikan internal BI adalah keharusan dengan meminimalkan kemungkinan abuse of power.  Pengawasan terhadap pejabat BI, khususnya Dewan Gubernur, perlu dilakukan dengan otoritas lain yang didukung peraturan perundang-undangan. Kedua, perlu koreksi total atas mekanisme transparansi dan akuntabilitas BI sehingga tidak muncul lagi kasus-kasus baru. Ketiga, sistem “rewards dan punishment” seharusnya berlaku untuk BI. Keempat,  early warning system pada perbankan sebaiknya dibuat transparan dan akuntabel untuk publik  Kelima, perlu elaborasi titik kritis kemungkinan penyalahgunaan wewenang untuk semua tingkatan dalam birokrasi BI  Keenam, perlu redefinisi pola hubungan kelembagaan BI dalam konteks sistem ketatanegaraan.


[1] Ketua Badan Anggaran DPR RI, disampaikan pada program SESPIBI Bank Indonesia 17 Maret 2010
[2] Minogue, 1987: The Principles and Practice of Good Governance
[3] Dikutip dari artikel  “Dokumen Kebijakan UNDP : Tata Pemerintahan Menunjang Pembangunan Manusia Berkelanjutan”, buletin informasi Program Kemitraan untuk Pembaharuan Tata Pemerintahan di Indonesia, 2000.
[4]Meuthia Ganie-Rochman dalam artikel berjudul “Good governance : Prinsip, Komponen dan Penerapannya”, yang dimuat dalam buku HAM : Penyelenggaraan Negara Yang Baik & Masyarakat Warga, (2000), Jakarta : Komnas HAM.
[5] Dikutip dari artikel “Publik Administration in the 21-st Century”, diterbitkan Asian Development Bank
[6] Miriam Budiardjo, (1998), “Menggapai kedaulatan Untuk Rakyat”, Bandung : Mizan, hal 107- 120)
[7] B. Guy Peters, (2000), “The Politics of Bureaucracy”, London : Routledge, hal 299-381)
[8] A.G. Hopwood and. C.R. Tomkins, (1984), “The Role of Information in Public Accountability

Tidak ada komentar:

Posting Komentar