Jumat, 07 Januari 2011

FTZ BBK, Orasi Ilmiah Wisuda STISIPOL Tgpinang, 9 Desember 2010

FREE TRADE ZONE  BATAM BINTAN DAN KARIMUN
MENGHADAPI TANTANGAN GLOBALISASI
Dr. Harry Azhar Azis, MA.[1]
Assalamualaikum wr. wb.
Yth. Ketua dan Pimpinan STISIPOL Raja Haji Tanjungpinang,
Yth. Para Pengajar STISIPOL Raja Haji Tanjungpinang,
Yth. Para Wisudawan/Wati dan Hadirin yang berbahagia.
Pertama, kita panjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT dengan karuniaNya kita hadiri wisuda sarjana STISIPOL Raja Haji  ke-10 yang dilakasanakan dengan hikmat. Hari ini tentu bersejarah bagi yang lulus meraih gelar sarjana, predikat dan kemampuan keilmuan berguna untuk penyelesaian tugas perjuangan perbaikan hidup, lingkungan masyarakat dan bangsa ke masa depan. Begitu pula, orangtua yang bangga melihat anak-anaknya makin percaya diri menatap tantangan kehidupan. Tak lupa, wisuda ini mengukir kembali kemuliaan perguruan tinggi ini menjadi media pencerdasan anak-anak bangsa.
Kemudian, perkenankanlah saya menyampaikan pemikiran untuk ikut mengokohkan acara wisuda yang membanggakan ini. Tantangan ke depan telah jelas di mata kita, yaitu globalisasi. Walau defisini “globalisasi” masih diperdebatkan, aktivitas globalisasi terjadi bahkan sebelum era modern. Andre Gunder Frank[2] menyebut mulai terlihat 3000 tahun sebelum Masehi perdagangan antara Mesopotamia Selatan (Irak) dan India.  300 tahun sebelum Nabi Isa AS lahir, tumbuh kota-kota Cosmopolitan (“cosmopolis” kata Yunani artinya “kota dunia”), seperti kota Alexandria (Mesir), Athena (Yunani) dan Antioch (Turki). Di Abad Keemasan Islam (Abad ke-8 sampai ke-13) muslim, dan Yahudi, terbangun perdagangan produk pertanian/industri, juga berkembang ilmu, teknologi dan literatur.
Di masa Mongolia (Abad ke-13 dan ke-14), globalisasi mengalir dari Korea, Asia Tenggara (termasuk Indonesia) sampai ke  Timur Tengah.  Di masa ini, Silk Road (Jalan Sutra) menghubungkan China dan Arab menjadi legenda. Kerajaan Portugis dan Spanyol, kemudian Belanda dan Inggris di Abad ke-16 dan ke-17 mendorong munculnya pionir seperti Marco Polo (dari Venice menuju China Abad ke-12), Vasco de Gamma (dari Portugis ke India Abad ke 14) dan Christopher Columbus (dari Spanyol ke Amerika Serikat Abad ke-14) yang kemudian membangun perdagangan emas,  kayu dan rempah-rempah antara Eropa dan Amerika dan Asia Pasifik. Globalisasi terus berjalan dengan berbagai bentuk.
Industrialisasi Abad Ke-19 di Inggris menyebar ke seluruh dunia. Eropah menjual produk hasil industri ke dunia dan membeli dari belahan dunia lain hasil alam. Membuka pasar-pasar dunia baru dengan peperangan dan kolonisasi. Teknologi dan mesin produksi massal mengubah pola supply dunia.  British East India Company (dibentuk tahun 1600) dan Dutch East India Company (1602) menjadi model awal pola multinational corporations menguasai dunia. McDonald dikenal dari Cairo sampai Batam. Mungkin kita disini semua mengenal artis Oprah Winfrey atau Sandra Bullock, rokok Marlboro atau Dunhill, jam Rado, Seiko atau Rolex, sepatu Nike atau Adidas, serta parfum Gucci atau Calvin Cline. Mungkin nanti dunia juga akan mengenal Sambal Belacan Tanjungpinang, Ikan Teri Boedak Melayoe dan Mie Lendir Jalan Bintan. Gurindam 12 Pulau Penyengat telah menjadi literatur dunia.  
Perdagangan mulai dari transaksi barter, uang dan sampai kepada e-money meghubungkan berbagai kepentingan penduduk dunia yang berbeda bangsa, agama, bahasa dengan satu kepentingan kesejahteraan masing-masing.  Aliran produk, jasa, modal, investasi dan tenaga kerja terjadi masing-masing berpindah tempat baru dengan harapan keuntungan dan kehidupan lebih baik. Teknologi informasi dan jaringan komunikasi mengubah penduduk dunia yang terpencar menyatu.
Kini, pemerintah negara dunia terus berunding bagaimana globalisasi mampu membangun dan saling menguntungkan. Beberapa organisasi perdagangan dan keuangan dunia muncul seperti The General Agreement on Tariffs and Trade (GATT, 1947) dan berubah menjadi World Trade Organization (WTO, 1995). Juga, The World Bank hasil konperensi Bretton Wods (1944) dan The International Monetary Fund (IMF, 1945) yang dimotori Amerika Serikat dan Inggris mengatur keuangan dunia.
Globalisasi juga mendorong perdagangan dan ekonomi secara regional. Seperti European Union (EU, 1993) terbentuk karena Maastricht Treaty adalah sejarah panjang European Economic Community (EEC, 1957) wujud membangun Eropah bersama setelah Perang Dunia II. Di Amerika Latin muncul The Latin American Free Trade Association (LAFTA) dipelopori Argentina, Brazil, Peru, Chile, Mexico, Paraguay dan Uruguay melalui Montevideo Treaty (1960). Tahun 1970 bergabung Bolivia, Columbia, Ecuador dan Venezuela.  Di selatan, tahun 1991, empat negara yaitu Argentina, Brazil, Paraguay dan Uraguay membentuk organisasi mirip EU bernama Mercosur. Di Timur Tengah, muncul The Council of Arab Economic Unity (CAEU, 1957) terdiri dari Mesir, Irak, Jordania, Kuwait, Lybia, Mauritania, Palestina, Somalia, Tunisia, Syria, United Emirated Arab dan Yaman. Di Afrika, ditemui The African Economic Community. Tahun 2008, negara-negara Afrika membentuk The African Free Trade Zone (AFTZ).
Indonesia tidak ketinggalan. Sejak tahun 1989, Indonesia bergabung dalam Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) suatu organisasi kerjasama ekonomi negara-negara Asia-Pasisik dengan fokus perdagangan bebas. Pertemuan terakhir di Yokohama, 13-14 November 2010, disepakati “The Yokohama Vision-Bogor and Beyond” yakni mempercepat  proses integrasi pasar APEC. Sejak 1967, Indonesia menjadi salah satu pelopor berdirinya Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) bersama Malaysia, Thailand, Singapore dan Filipina. Kini ASEAN menjadi 10 negara, yaitu Brunei Darussalam (bergabung 1984), Vietnam (1995), Laos (1997), Miyanmar (1997) dan Kamboja (1998).  Sementara Papua Nugini dan Timor Leste berstatus  observer dalam ASEAN. Kini, bahkan dipertegas kerjasamanya menjadi ASEAN Economic Community (AEC) yang berlaku tahun 2015.
Kepulauan Riau sebagai daerah perbatasan Indonesia bersinggungan langsung dengan perdagangan bebas. Jauh sebelum Indonesia merdeka, di wilayah ini berlangsung prdagangan saling menguntungkan dengan Singapura dan Malaysia. Tanjung Pinang atau Pulau Bintan menjadi hub perdagangan Indonesia dengan negara tersebut. Pada waktu itu, Singapura dan Malaysia belum seperti kita kenal sekarang. Bahkan, sekarangpun kekayaan (PDB) Indonesia (sekitar Rp 7000T) lebih tiga kali lebih besar dari Singapura (sekitar Rp 1600T). Dengan maksud meningkatkan perdagangan global, sejak tahun 1970, Pemerintah Jakarta mengembangkan Batam dengan Keppres 65/1970 tentang Pengembangan Pulau Batam untuk pelabuhan ekspor pertanian dan eksplorasi minyak lepas pantai.
Pada 1973, Batam menjadi kompleks industri. Sejak 1978 Batam menjadi wilayah bebas pajak (tax free bounded wharehouses).  Pembangunan pelabuhan laut dan udara, jalan, air dan listrik serta kompleks industri mengubah Batam menjadi kota pulau. Batam mengambil alih peran Bintan sebagai pusat perdagangan dan industri. Dari 1978-1983, Batam mendapat status khusus untuk proses imigrasi, perdagangan, wisata dan investasi. Mulai 1983,  wilayah industri Batam diperluas sampai ke pulau Janda Berhias, Tanjung Sau, Ngenang, Kasem dan Moi-moi. Dengan PP 34/1983, Batam menjadi Kotamadya. Keppres 7/1984 membentuk Otorita Batam pengelola pekerjaan umum seperti jalan dan fasilitas umum agar investasi masuk makin cepat. Setelah Era Reformasi dan dibentuk UU 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, Batam menjadi Kota melalui UU 53/1999.  Pada tahun  2000, skema perdagangan bebas di Batam dimodifikasi dengan penerapan pajak pada beberapa produk termasuk barang mewah. Pada akhir 2004, kebijakan Pemerintah Pusat berubah lagi, Batam dikenakan pajak barang-barang impor. Sejak UU 44/2007, Batam kembali menjadi wilayah perdagangan bebas ditambah Bintan dan Karimun, atau yang dikenal sebagai FTZ BBK melalui PP 46/2007, PP 47/2007 dan PP 48/2007.
Yang menarik, Provinsi Kepulauan Riau baru terbentuk tahun 2002 melalui UU 25/2002 sebagai Provinsi ke-32 di Indonesia. Kota Tanjung Pinang dibentuk dengan UU 5/2001, yang sebelumnya berbentuk Kota Administratif melalui PP 31/1983.  Kabupaten Bintan, yang sebelumnya bernama Kabupaten Kepulauan Riau terbentuk sejak tahun 1950, yang meliputi Batam, Karimun, Lingga dan Natuna.  Bahkan bila merujuk ke belakang, Kerajaan Melayu Riau yang pusatnya di Pulau Bintan, tepatnya di Pulau Penyengat, salah satu anak Bintan, menguasai wilayah meliputi Singapura, Johor dan Malaka serta sebagian Indragiri Hilir. 
Free Trade Zone  Batam Bintan dan Karimun (FTZ BBK)
Pada April 2009, dari 527 perusaahan asing, 369 (71,4 %) dari Singapura.  Singapura tampak memiliki kepentingan berinvestasi di Kepri karena tenaga kerja murah, teknologi dasar, dan melimpah kekayaan alam dan luas tanahnya (Heng, 2006).  Namun, kebijakan  yang berubah-ubah, birokrasi berbelit, serta infrastruktur kurang menyebabkan bottlenecks  pertumbuhan wilayah ini.
Tabel 1 menjelaskan jumlah industri besar dan sedang yang masuk ke wilayah ini per kabupaten Kota pada tahun 2007 dan 2008.
Tabel 1. Jumlah Industri di Kabupaten/Kota  2007 -2008













*) Data Kab. Anambas masih tergabung dengan Kab. Natuna
Sumber : BPS Provinsi Kepulauan Riau, 2007 – 2008
Investasi di Kepri mengalami perubahan dalam 2007-2008. UU FTZ memberikan stimulus bagi PMA tercermin dari peningkatannya sebesar 3,3% (2008) dibanding 2007. Dominasi PMA terjadi di Bintan dan Batam dengan total investasi 88,9% dan 94,2%.











Tabel 2. Nilai Ekspor Provinsi Kepri ke Negara Tujuan, 2006 – 2008


Sumber : BPS Provinsi Kepulauan Riau, 2007 – 2009
Ekspor Kepri ke Singapura 63,06% dari total ekspor. Rata-rata nilai ekspornya US$ 6,82 Miliar (Rp 61,39T) dengan laju peningkatan ekspor 10,9% per tahun.
Tabel 3. Nilai Impor Kepri Menurut Negara Asal, 2006 – 2008



















Sumber : BPS Provinsi Kepulauan Riau, 2007 – 2009
Impor Provinsi Kepri tidak berbeda dengan ekspornya dan didominasi Singapura (62,3%). Laju impor signifikan dibanding ekspor setelah UU FTZ. Rata-rata impor 2006-2007 (US$ 1,9M) lebih rendah dari ekspor (US$ 6,5M) dan meningkat tahun 2008 (impor US$ 12,2M dan ekspor US$ 7,5M). Pada 2008 terjadi defisit neraca perdagangan US$ 4,7M.
Sektor yang berkontribusi terhadap PDRB Kepri, industri pengolahan; perdagangan, hotel, dan restoran; serta pertambangan dan penggalian 60,42%; 14,36%; dan 6,45%.


Tabel 4. PDRB Kepri Atas Dasar Harga Konstan 2000,  Lapangan Usaha, 2004 – 2008
Sumber : BPS Provinsi Kepulauan Riau, 2007 – 2009
Anggaran Pembangunan dan Kesejahteraan Rakyat
                Investasi publik adalah investasi pemerintah berupa pembangunan sarana dan prasarana infrastruktur. Umumnya, tiap Rp 1 investasi publik diikuti Rp 4 investasi swasta, baik domestik maupun asing. Makin banyak investasi, makin tersedia lebih besar lapangan kerja. Investasi pemerintah tahun 2007-2010 dalam infrastruktur dari pemerintah pusat relatif rendah dan terus menurun di wilayah BBK.
Tabel 5. Alokasi Dana Infrastruktur APBN (K/L dan Non K/L) ke Kepulauan Riau
Sumber : Kementerian Keuangan, 2010
Proporsi belanja modal terhadap APBD di Kepri cukup menggembirakan. Proporsi belanja modal 29,6%/tahun. Khusus wilayah BBK, belanja modal terhadap APBD meningkat tahun 2007-2010 yaitu 0,42% di Batam; 4,96% di Bintan; dan 2,77% di Karimun.
Tabel 6. Belanja Modal dan Proporsinya Terhadap APBD Kepulauan Riau
Sumber : Kementerian Keuangan, 2010
                               

Kinerja FTZ dapat diukur melalui indikator kesejahteraan seperti tingkat kemiskinan, pengangguran, gini rasio, dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). 

Tabel 7. Tingkat Pengangguran Terbuka Kepulauan Riau, 2008 – 2009










                Sumber : BPS Provinsi Kepulauan Riau, 2010
               
Dari tingkat pengangguran terbuka (TPT), Kab Natuna paling rendah (6,9%) baik terhadap Provinsi (8,06%) maupun Nasional (8,13%) dan Kab Bintan tertinggi (10,8%). Tingkat kemiskinan tertinggi di Kab Lingga (24,3%) diikuti Kota Tanjungpinang (13,9%). Daerah tingkat kemiskinan terendah di Kab Natuna (7,1%). Untuk BBK, pengangguran terbuka dan kemiskinan menurun artinya investasi positif bagi penyerapan tenaga kerja.
Koefisien Gini (gini rasio) Kepri selama 2007–2009 turun, sebaliknya rata-rata nasional justru naik dengan nilainya sebesar 0,36 (2007) menjadi 0,37 (2009). Nilai gini rasio regional dan nasional masih kategori ketimpangan rendah karena lebih rendah dari 0,4[3].


Tabel 8. Tingkat Kemiskinan di Kepulauan Riau, 2006 – 2009
   

                Sumber : BPS Provinsi Kepulauan Riau, 2007 – 2010

                Penurunan tingkat pengangguran, kemiskinan, dan gini rasio harus berkorelasi negatif terhadap indeks pembangunan manusia. Artinya, penurunannya harus meningkatkan IPM. Sebagian besar wilayah di Kepulauan Riau memiliki nilai IPM di atas rata-rata nasional (> 70,03). Kota Batam peringkat pertama IPM dengan rata-rata 76,6. Kab Natuna peringkat IPM terendah (66,3) terhadap provinsi dan nasional. Kawasan BBK memiliki rata-rata IPM di atas level nasional dan meningkat dari tahun ke tahun.
Tabel 9. Gini Rasio Provinsi Kepulauan Riau





                    
Sumber : BPS, 2010
                               
Tabel 10. Indeks Pembangunan Manusia Kepulauan Riau, 2004 -2008











                       *) Data Kab. Anambas masih tergabung dengan Kab. Natuna
                       Sumber : BPS Provinsi Kepulauan Riau, 2005 – 2009

Masalah Kawasan FTZ BBK  
                Keberhasilan FTZ BBK tentu tidak bisa dilihat secara parsial. Ada beberapa masalah perlu dipecahkan semua pihak terutama penentu kebijakan baik di pusat maupun daerah. Pertama, masih tinggi komponen impor bahan baku industri seperti terlihat pada kontribusi industri pengolahan terhadap PDRB Kepri sebesar 51,48% dan defisit neraca perdagangan  US$ 4,7M di 2008. Kedua, masih dominan kapal asing dalam kegiatan bongkar muat ekspor dan impor yang mencapai 95%.[4] Kegiatan ekspor dengan FOB (Free on Board) dan impor dengan CIF (Cost, Insurance, and Freight). Akibatnya, arus devisa banyak keluar dari perdagangan internasional yang berpotensi merugikan penerimaan negara.
                Ketiga, belum merata industri di BBK. Konsentrasi PMA/PMDN di  Batam. Dalam jangka panjang berakibat etimpangan antar wilayah FTZ.
                Keempat, peraturan FTZ masih tumpang tindih dan pengawasan kepabeanan masih lemah. Rantai birokrasi masih rumit bagi pelaku usaha. Peluang kolusi antara importir dan Bea dan Cukai dan penetrasi barang pasar gelap (black market) sulit diberantas.

Dukungan terhadap FTZ BBK
                Bila Indonesia ingin menguasai dunia, pola FTZ memang harus terus didukung. Masalah implementasi FTZ harus segera diselesaikan. Untuk itu, beberapa pikiran patut di perhatikan. Pertama,  utamakan komponen barang modal dalam negeri yang mungkin. Negara kita memiliki sumberdaya (endowment) yang besar, baik SD maupun SDM. Dalam jangka panjang, efek substitusi (substitution effect) dan efek income (income effect) akan terjadi bila diperoleh pengurangan komponen biaya produksi.
                Kedua,  infrastruktur maritim harus diperkuat. Kegiatan ekspor oleh kapal asing karena ketidakpercayaan terhadap kapal domestik serta resiko keamanan pengangkutan yang tinggi yang menyebabkan biaya ekonomi tinggi.       
                Ketiga, dibutuhkan pengembangan infrastruktur darat dan pelabuhan agar konsentrasi industri di kawasan BBK menyebar bukan hanya di Batam.           
                Keempat, masalah master list serta regulasi yang tumpang tindih dalam tata cara perpajakan berakibat pada terhambatnya arus lalu lintas barang harus diperbaiki.    Akhir kata, saya ucapkan terima kasih dan selamat kepada para wisudawan dan wisudawati STISIPOL ke-10. Idealisme kerja keras dan inovatif di kampus teruslah dipelihara di dunia kerja agar kehidupan ekonomi kita makin produktif. Jadikanlah Kepri sebagai bagian terdepan dan pusat pertumbuhan Indonesia dan jadikanlah posisi Indonesia tangguh di kancah internasional.
Wassalamualaikum wr. wb.  


[1] Wakil Ketua Komisi XI dan Anggota DPR RI Dapil Kepulauan Riau (2009-2014), PhD Oklahoma State University (2000), lahir Tanjungpinang (1956). Makalah untuk Wisuda Sarjana STISIPOL Raja Haji ke-10, “Politik anggaran Nasional dalam Kerangka Good Governance dan FTZ BBK”. Tanjungpinang, 9 Desember 2010.
[2] Andre Gunder Frank, "Reorient: Global economy in the Asian age" U.C. Berkeley Press, 1998.
[3] Kategori Gini Rasio LPEM-FEUI (1995) : GR < 0,4 : ketimpangan rendah; 0,4 GR 0,5 : ketimpangan sedang (moderat); dan GR > 0,5 : ketimpangan tinggi
[4] Lukita. 2010. Perkembangan Jasa-Jasa dan Posisi Indonesia dalam Perundingan GATS ke depan. Direktorat Neraca Pembayaran dan Kerjasama Ekonomi Internasional. Bappenas, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar