Jumat, 07 Januari 2011

HMI, Politik dan Intelektualisme, Naskah Orasi Ilmiah utk HMI Cabang Batam, 1 Januri 2009


                           HMI, POLITIK DAN INTELEKTUALISME

Dr. H Harry Azhar Azis, MA

Ketua Umum PB HMI 1983-1986,  Wakil Ketua Panitia Anggaran DPR RI, 
Dapil Kepri Partai Golkar dan PhD Ekonomi Oklahoma State University, USA.
(Orasi Ilmiah pada Pelantikan HMI Cabang Batam 31 Jan 2009, Asrama Haji Batam)

Tanggal 5 Februari 2009 nanti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) mencapai usia 62 tahun, usia matang sebuah organisasi mahasiswa. Sejak berdiri 1947, HMI melewati lima zaman yang watak dan tantangannya berbeda dan terkristal dalam citra, budaya, network, dan sistem HMI seperti sekarang ini. Walaupun melewati berbagai zaman itu, normal atau kritis, cita-cita HMI ternyata tetap seperti ketika lahir, yaitu: (1) mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 dan NKRI, dan (2) menegakkan syiar Islam sebagai rahmatan lil alamin. Dengan cita-cita itu, Panglima Besar Jenderal Sudirman pernah menyatakan HMI, bukan saja berarti Himpunan Mahasiswa Islam, tetapi juga, Harapan Masyarakat Indonesia. Cita-cita itu yang dirumuskan dalam tujuan HMI, berlaku sampai sekarang: Terbinanya insan akademis, pencipta pengabdi, yang bernafaskan Islam dan bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diredhoi Allah SWT.

Lima zaman pengembaraan HMI adalah era sejarah bangsa ini: 1. Era Kemerdekaan; 2. Era Demokrasi Parlementer; 3. Era Demokrasi Terpimpin; 4. Era Demokrasi Pancasila dan 5. Era Reformasi. Tiap era sejarah itu memiliki karakteristiknya masing-masing. Pada era Kemerdekaan (1945-1951), HMI menyatu dengan rakyat membela mati-matian kemerdekaan negara yang baru diproklamasikan, tekad “Merdeka atau Mati” dikumandangkan HMI. Sampai kini semboyan itu tidak lapuk  dan sering bermanfaat secara politik. Di era inilah HMI didirikan mahasiwa bernama Lafran Pane dan teman-temannya. Pane sampai akhir hayat menjadikan perguruan tinggi sebagai orientasi utama hidupnya. Baginya, HMI haruslah menjadi “perguruan tinggi kedua” untuk anggotanya. Bila di perguruan tingginya anggota HMI memperoleh nilai tambah ilmu pengetahuan, di HMI anggotanya memperoleh nilai tambah kepemimpinan, menjadi pemimpin. Bila ilmu pengetahuan membuat manusia paham nilai-nilai kebenaran sehingga bisa membedakan yang benar dan yang salah. Pemimpin adalah orang yang bertanggungjawab menegakkan kebenaran (ma’ruf) dan mencegah kesalahan (mungkar). Karena itu, menurut Pane, pengurus HMI yang tidak becus megurus kaderisasi anggota menjadi pemimpin, ia  tidak paham untuk apa HMI didirikan.

Pada era Demokrasi Parlementer (1951-1959), dengan kembalinya Republik Indonesia Serikat (RIS) ke bentuk Republik Indonesia (RI) tahun 1951, parta-partai politik mulai melirik HMI agar mendukung mereka. Jati diri mandiri sejak berdiri, HMI tegak independen tidak memihak suatu partai. Yang dibela HMI bukan partai tetapi bangsa dan negara. Atau, bila menggunakan bahasa politik kini: kepentingan rakyat. Terhadap kepentingan rakyat, keadilan dan kesejahteraan rakyat, HMI tidaklah independen. HMI memerangi penyebab penderitaan rakyat. HMI memerangi penindasan atas rakyat. HMI memihak cita-cita mulia menegakkan kebenaran. Watak inilah yang disebut sifat independen HMI, tetapi memihak perjuangan kebenaran, mewujudkan rakyat adil sejahtera.

Pada era Demokrasi Terpimpin (1959-1966), sejak Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959, Indonesia kembali ke UUD 1945. Indonesia pernah mengalami UUD RIS 1949 dan UUD Sementara 1950 yang berlaku sampai 1959. Setelah Dekrit, kekuatan politik Indonesia berubah. Bila di era Demokrasi Parlementer, empat partai politik besar adalah Masyumi, PNI, NU dan PKI. Pada Demokrasi Terpimpin, ketika Masyumi dan PSI dibubarkan 1961, tinggal tiga kekuatan partai yakni PNI, PKI dan NU. Partai-partai Islam lainnya tetap sebagai partai kecil. Yang menarik, pada era ini muncul kekuatan non-politik baru yaitu kelompok militer, terutama TNI-Angkatan Darat, yang menjadi “penyeimbang politik” terutama terhadap PKI. Pada masa inilah HMI masuki era paling kritis, ketika PKI dan pendukungnya, seperti CGMI, berusaha membubarkan HMI. Yel-yel seperti “bila tidak bisa bubarkan HMI, pakai kain sarung saja,” menjadi tema utama PKI kepada pendukungnya. Tidak dapat dibayangkan yang terjadi pada Indonesia bila HMI berhasil dibubarkan. Indonesia berubah total bila PKI menguasai negara. Perlawanan HMI kepada PKI dan kekuasaan yang monolit ternyata menarik simpati banyak pihak, termasuk Pimpinan TNI-AD. HMI, melalui alumni dan kader-kadernya seperti Dahlan Ranuwihardjo, Sulastomo, Ekki Syahruddin, Fahmi Idris, Abdul Gafur berhasil meyakinkan TNI-AD sehingga Kepala Staf AD, Pahlawan Revolusi Jenderal Ahmad Yani, saat itu sampai mengeluarkan pernyataan sangat historik bagi HMI, “siapa saja yang ingin membubarkan HMI, langkahi mayat saya terlebih dahulu.” Inilah awal hubungan yang makin dekat antara HMI dan TNI, yang berlanjut ketika Orde Baru mengambil alih kekuasaan.

Era Demokrasi Pancasila (1966-1998) ditandai dengan jatuhnya Presiden Soekarno dan munculnya Presiden Soeharto yang mengubah lagi peta politik nasional. Di era ini, setelah 1971 tinggal tiga partai politik resmi yang diakui, yaitu Golkar, PPP dan PDIP. Pengamat politik menyatakan sebenarnya tidak ada partai politik karena tidak mirip dengan partai politik era Demokrasi Parlementer atau seperti sekarang ini. Pada era inilah mulai banyak alumni HMI ikut kekuasaan seperti di DPR/D, Menteri maupun Kepala Daerah. Belum lagi di birokrasi dan perguruan tinggi. Juga terlihat yang merintis dunia intelektual, profesional dan usaha swasta, tidak sedikit berkelana di dunia pengangguran atau betah menjadi demonstran. Keanekaragaman wilayah kerja alumni HMI itu bisa saja hasil kaderisasi organisasi yang memang berwatak independen.  Karena lamanya era ini, 32 tahun, pergerakan HMI sebenarnya masih bisa dipilah ke era tahun 70an, 80an dan 90an, dengan karakteristiknya masing-masing. Tahun 70an, misalnya, ditandai keikutsertaan beberapa kader HMI dalam peristiwa Malari 1974 dan Kampus Kuning 1978. Sebagai aktivis HMI, saya pribadi juga mengalami ringkihnya era ini dan ditahan kekuasaan Orde Baru selama tiga bulan tahun 1978 karena melawan sistem. Tahun 80an, diwarnai dengan kasus asas tunggal Pancasila yang membelah HMI menjadi dua, HMI dan HMI MPO (Majelis Penyelamat Organisasi), yang hingga kini masih saling mengklaim sejarahnya. Tahun 90an, HMI dan gerakan mahasiswa lainnya ikut meruntuhkan rezim Orde Baru yang memang sudah semakin lapuk.

Era Reformasi (1998-sekarang) adalah era kebebasan baru yang juga dinikmati HMI. Setahun Presiden BJ Habibie memimpin, HMI memanfaatkan Kongres HMI tahun 1999 di Jambi kembali ke khittahnya, menetapkan kembali asas Islam sebagai dasar organisasi, setelah 13 tahun berasaskan Pancasila yang ditetapkan Kongres HMI tahun 1986 di Padang. Perdebatan asas tunggal Pancasila dimulai Kongres HMI tahun 1983 di Medan, dimana saya terpilih sebagai Ketua Umum PB HMI dalam usia muda 26 tahun, setengah usia saya kini. Sebagian pemimpin HMI saat ini mungkin belum lahir. Beda ritme zaman dulu dan kini seperti bumi dan langit. Pada era ini, makin banyak kader HMI tahun 60an, 70an, dan bahkan 80an terlihat ikut memimpin negara ini. Nama-nama seperti M Jusuf Kalla, Akbar Tandjung, Bachtiar Hamzah, MS Kaban, Hidayat Nur Wahid, Amien Rais, sudah tidak asing di telinga kita sebagai pejabat dan tokoh negara yang alumni HMI.  Bahkan, yang menarik, beberapa pejabat dan tokoh masyarakat, yang dulu sedikit atau bahkan tidak dikenal di HMI, tidak jarang mengaku sebagai alumni, sesuatu yang sangat membanggakan terutama bagi mereka yang dulu pernah memimpin HMI.

Berbeda dengan era-era sebelumnya, tantangan era reformasi yang dihadapi HMI ternyata lebih kompleks.  Walaupun demikian, paling tidak ada tiga tantangan pokok yang selalu dihadapi organisasi HMI, yaitu: (1) Independensi, (2) Kaderisasi, dan (3) Kontektualisasi Visi. Yang pertama, independensi HMI. Bagi HMI, independensi adalah karakter organisasi. Dalam konteks politik selalu diartikan sebagai menjaga “jarak sama” dengan kekuatan politik yang ada, dalam hampir semua momentum. Arti dinamis, begitu kekuatan politik berubah, HMI harus berubah bila ingin menjaga symmetrical position-nya, kalau tidak HMI dapat tidak independen lagi. Benarkah demikian? Impelementasi organisatorisnya, pengurus HMI tidak boleh rangkap jabatan atau yang lebih sederhana, pengurus HMI tidak boleh membuat pernyataan mendukung suatu partai politik atau pemerintah. Begitu ia mendukung atau mendemo suatu establishment politik biasanya ada saja kelompok lain dalam HMI menolaknya. Mendukung atau menolak sesuatu yang melibatkan HMI dianggap melawan prinsip independensi. Ini konflik yang berkaitan tafsir independensi HMI. Tidak sedikit kasus di PB HMI, Badko atau Cabang, pengurusnya melawan sifat independensi HMI yang menambah pekerjaan rumah. Hikmahnya, kekayaan konflik internal bertambah dan substansi demokrasi HMI semakin mature, bila tidak menimbulkan perpecahan atau kerusakan. Independensi model ini dikenal  independensi organisatoris. HMI tidak boleh terkait kekuatan politik manapun.   

Bagaimana menafsirkan independensi HMI dalam konteks nilai-nilai? Secara etis biasanya ditafsirkan bahwa HMI tunduk (tidak independen) pada nilai-nilai kebenaran mutlak yang bersumber Al Qur’an dan Hadist maupun hukum alam raya, termasuk hukum sosial yang baku. Pertanyaannya adalah apakah ketika premis berubah atau berbeda, sikap juga boleh berubah? Cak Nur (Dr Nurcholish Madjid) pernah menyatakan bahwa “Islam Yes, Partai Islam No!” di tahun 1970an, yang ditafsirkan sebagai mendukung partai-partai nasionalis (non-Islam), dimana ketika itu diperkirakan Golkar memperoleh benefitnya. Tetapi di dekade berikut, Cak Nur justru mendukung PPP, yang notabene Partai Islam, penyataannya “memompa Ban Kempis.” Nilai apa yang didukung Cak Nur? Mungkin keseimbangan politik, walaupun masa itu dianggap melawan arus mapan. Kesimbangan politik (check and balance) sebagai nilai etis yang harus diperjuangkan. Benarkah? Bagaimana HMI harus menempatkan diri dalam arus pergumulan nilai-nilai etis tentang pemahaman ajaran Islam atau kondisi masyarakat. Sebut saja, misalnya, antara yang disebut Islam Liberal dan Islam mainstraiming. Antara MUI dan Ahmadiah. Antara Fatwa haram Golput dan Fatwa haram rokok. Antara Lia Aminuddin dan Hizbut Thahrir. Antara goyang Rhoma Irama/Camelia Malik dan Goyang Inoel. Antara penduduk miskin yang bertambah dan tersangka koruptor yang dibebaskan sidang pengadilan. Antara kedukaan murid SD yang bunuh diri karena ketiadaan biaya dan kegembiraan negara membayar utang yang dikorupsi. Dan lain-lain. Dan lain-lain.
       
Apa batas antara meningkatkan perjuangan idealisme (high-terrain politics) dan menghindari politik praktis (low-terrain politics)? Biasanya, ujung idealisme adalah penegakkan moral, sedang politik praktis adalah akumulasi kekuasaaan. Di dunia utopia, dua hal ini sebenarnya bisa tidak berbeda. Ketika kekuasaan benevolent (bijak bestari), maka moralitas menjadi cahaya penerang (enlightenment). Ketika kekuasaan corrupt, moralitas menjadi trading-house, yang mendagangkan kebenaran. Mampukah HMI dengan sifat independensinya membedakan kedua hal ini secara honest, sehingga tidak menabrak jalur yang dibuat HMI sendiri. Atau, mungkinkah dalam independensi HMI terdapat derajat interdependensi? Dalam pola hubungan makin terbuka, modern dan kompleks, hakekat saling mempengaruhi atau saling ketergantungan tidak dapat dihindari. Dalam model lama, independensi yang pasif menjadi tidak mungkin. Beberapa interpretasi tentangrangkap jabatan” dan “pemihakan” diperlukan untuk memahami derajat independensi HMI yang lebih bersifat aktif. Misalnya, apakah kebenaran itu memihak atau tidak memihak? Kejujuran apakah itu penderitaan atau kebebasan? Ketika HMI “tetap,” yang lain berubah, organisasi ini bisa saja menjadi kehilangan konteksnya. Apa yang sesungguhnya diperjuangkan HMI? Dilema etis ini dapat dijelaskan dalam kasus seperti dimana seorang ahli jantung harus memutuskan sorang pasien yang didiagnosa kena “stroke” harus segera dioperasi atau tidak. Secara prosedur, ahli jantung itu harus memperoleh izin dari ahli warisnya untuk melakukan tindakan operasi medis. Bila izin itu, karena sesuatu hal, tidak diperoleh, dan berdasarkan diagnosa pasien itu harus segera dioperasi agar jiwanya “terselamatkan,” maka apa keputusannya? Operasi tanpa izin berhadapan dengan hukum, operasi menunggu izin berhadapan dengan misi kemanusiaan, penyelamatan jiwa. Pilih mana? Kasus-kasus pengambilan keputusan di HMI, jelas dipengaruhi oleh sifat independensinya (misi etis yang aktif) dan interdependensinya (resiko hukum atau sosial-politik lainnya).

Miskinnya anggota di kampus terkenal dan beralihnya mahasiswa baru ke organisasi yang lebih spesifik seperti LSM atau gerakan mahasiswa instant, menjadi tantangan HMI. Pakar manajemen menyebut like the big elephant which cannot dance, inilah yang mungkin menjelaskan situasi HMI sekarang. HMI yang makin besar menjadi makin lamban mengambil keputusan. Ketika saya dan PB HMI, dulu, menghadapi kasus Asas Tunggal, HMI masuk ke wilayah yang amat interdependen atau mungkin dependen. Ketika itu, HMI menjadi organisasi mahasiswa terakhir bertahan sampai dua tahun sampai kepada keputusan, dan satu tahun tambahan untuk secara formal dalam Kongres HMI.  Organisasi-organisasi lainnya, sebut saja NU, Muhammadiyah, bahkan KAHMI, telah menerima keinginan politik saat itu, dengan berbagai interpretasinya masing-masing. Begitu pula Kelompok Cipayung. Munculnya MPO, yang menolak asas Pancasila, adalah resiko yang dihadapi HMI setelah keputusan penerimaan asas Pancasila diambil. Resiko apa pula yang dihadapi HMI bila HMI menolak asas Pancasila ketika itu? Tentu saja cerita selanjutnya telah kita pahami bersama.  Dilema etis inilah yang dihadapi HMI, yang bukan hanya menyangkut waktu dan kondisi, tetapi juga menyangkut harapan dan kecemasan, bukan saja pada angota HMI tetapi bahkan pada jaringan alumninya.

Meneruskan nilai-nilai yang diperjuangkan HMI kepada generasi penerus memerlukan perkaderan HMI yang kuat. Tetapi, apakah kaderisasi anggota untuk merebut kekuasaan politik? Jawabannya cukup jelas: tidak. HMI memang bukanlah organisasi politik. Penyebutan bahwa HMI sebagai organisasi quasi-politik juga tidak dapat dipertanggungjawabkan, kecuali bila pengertian ini mengandung paham zoon politicon, dimana politik diartikan secara luas tidak sekedar kekuasaan atau organisasi politik. Dalam konteks inipun, hasilnya tidak dapat dikatakan langsung sebagai merebut kekuasaan politik untuk kepentingan anggotanya seperti dikenal dalam perjuangan partai-partai politik agar anggota atau kadernya memperoleh posisi-posisi politik tertentu. Bahkan dalam perebutan posisi-posisi politik organisasi intra-kampus pun, apakah itu Dewan Mahasiswa (dulu) atau Senat Mahasiswa, kecuali KNPI atau Kelompok Cipayung, apakah HMI tidak dapat disebut bermain politik secara langsung?  Bila ini benar, HMI bukan organisasi quasi-politik atau apalagi organisasi politik, dimana posisi HMI dalam konteks politik? Jawaban lebih tepat adalah politisasi HMI. HMI dengan sejarahnya yang panjang dan jumlah anggota yang besar dan alumni yang tersebar di pelbagai bidang pekerjaan memang telah dianggap sebagai suatu “kekuatan” politik. Di arena politik praktis, kita melihat alumni HMI tersebar di semua partai politik, yang dengan misleading disebut telah terbentuk suatu HMI Connection. Dengan sistem politik yang ada sekarang, alumni HMI yang berpolitik tidak mungkin secara sempurna beridealisasi seperti harapan tujuan HMI, betapapun tujuan HMI telah menjadi semacam spirit perjuangan mereka. Bukan saja penafsiran aktual atas tujuan HMI di kalangan HMI, ataupun alumninya, bisa berbeda-beda, tetapi juga kepentingan partai masing-masing dimana alumni HMI berafiliasi bisa tidak sama. Dalam kaitan itu, alumni HMI yang memegang kekuasaan politik, pada akhirnya lebih bersifat individual, atau paling tidak berorientasi kepada partainya. Yang menarik, tidak sedikit alumni HMI berusaha menghilangkan afiliasinya dengan HMI ketika citra politik HMI tidak menguntungkan. Sebaliknya, tidak sedikit pula yang mengaku pernah menjadi anggota HMI ketika citra HMI atau lebih tepat ketika alumni HMI memegang kekuasaan. Dalam politisasi HMI tidak suatu kekuatan politik manapun menguasainya, tetapi bisa mempengaruhi pengambilan keputusannya. Keputusan HMI, apakah oleh institusi HMI, tidak pernah luput dari jangkauan pengaruh politik aktual. Dalam kacamata positif, politisasi HMI bisa saja merupakan refleksi dari kekuatan-kekuatan yang “bertarung” di HMI, yang sekaligus memberikan nuansa demokratisasi HMI. Ketika saya memimpin HMI, kepada wartawan dari koran yang berpengaruh saya tanya, mengapa anda begitu antusias meliput berita tentang HMI? Jawabnya cukup mengejutkan, menurut redaksi korannya, HMI adalah satu-satunya organisasi yang mampu mengambil keputusan independen dan demokratis dimana semua organisasi lain tidak mungkin melakukannya.

Kembali kepada pertanyaan di atas, apakah kaderisasi HMI membawa anggotanya menuju wilayah kekuasaan politik. Jawabnya bisa ya atau tidak. Pertama, tidak semua kader HMI memiliki orientasi politik praktis atau bersedia menjadi politisi atau birokrat. Sebagian mereka memilih jalur pengusaha, sebagian lagi jalur intelektual dan professional, da’i, makelar, wartawan, petani, supir, tukang ojek atau mungkin pengangguran, walau dengan terpaksa. Prosentase alumni HMI yang terjun ke dunia politik relatif kecil. Kedua, jarak waktu dari anggota atau pengurus HMI menjadi politisi, apalagi yang kemudian memegang jabatan politik, bisa panjang atau pendek, yang semua bergantung momentum, kemampuan, relasi patron-client dan lainnya. Ketiga, kaderisasi HMI tidaklah secara spesifik mengarahkan anggota HMI menjadi politisi, tetapi lebih kepada pembentukan kualitas kepemimpinan, sesuatu yang memang tidak ditemui secara kurikula di dunia perguruan tinggi formal. Kepemimpinan yang terbentuk diharapkan bukan hanya berkembang di arena politik, tetapi di semua bidang yang menjadi minat anggota. Denga alasan-alasan itu, kaderisasi HMI tidak difokuskan menjadikan anggotanya pemimpin politik. Bahwa kualitas kepemimpinan berpengaruhi terhadap pilihan politik, pada dasarnya memiliki kans yang sama untuk pilihan pada bidang pekerjaan lain.

Kunci kesinambungan keorganisasian HMI, menurut saya, bukan terletak pada keberhasilan alumninya, tetapi lebih tergantung pada pembaharuan sistem perkaderan serta kesinambungan kegiatan perkaderan HMI itu sendiri. Tanpa perhatian yang lebih serius dan fokus dalam menentukan pilihan atas keanekaragaman tren zaman yang mampu diadopsi dalam sistem perkaderan HMI, jelas akan merugikan organisasi ini menghadapi tantangan yang berbeda. Sementara network HMI banyak dipuji orang luar, perkaderan HMI mendapat sorotan negatif sebagian alumni dan anggota HMI. Cak Nur pernah minta HMI dibubarkan karena sistem perkaderan HMI tidak mampu menghasilkan alumni “insan kamil.” Kasus-kasus korupsi yang melibatkan beberapa alumni HMI menjadi tema utamanya, walau mungkin koruptor yang bukan alumni bisa saja lebih banyak lagi. Mungkinkah Cak Nur hanya berwacana atau sekedar memberikan shock terapy bahwa sesuatu harus diperbaiki dalam perkaderan HMI?  Walau pertanyaan itu bersifat educatainment, hasil perkaderan HMI memang harus diuji oleh outputnya, yaitu kualitas alumni HMI di masyarakat. Di banyak universitas, kebanggaan atas universitas itu salah satunya adalah apabila para alumninya dapat menduduki jabatan-jabatan penentu dengan gaji yang tinggi. Di dunia politik atau juga birokrasi, memang banyak alumni HMI. Mungkin berikutnya adalah dunia intelektual, perguruan tinggi dan aktivitas sosial. Di dunia bisnis, mungkin dapat dihitung dengan jari. Sayang, HMI atau KAHMI tidak memiliki data yang akurat sehingga kita memperoleh informasi, misalnya, tentang value added dan produktifitas para alumni secara periodik.
        Brand image HMI sebagai organisasi pencetak pemimpin memang memukau. Tetapi pemimpin apa? Pemimpin yang bagaimana? Mungkinkah kita terlalu berharap banyak terhadap sistem perkaderan HMI, sementara added value bagi mahasiswa yang menjadi anggota HMI sulit diukur melalui komptensi maupun karakternya? Berbeda dengan suatu perguruan tinggi yang relatif memilik data tentang kompetensi awal mahasiswa yang diterima di perguruan tinggi tersebut sehingga output akhirnya bisa diukur. Di HMI, mungkin karena karakter voluterisme angotanya, data seperti itu hampir tidak mungkin dimiliki. Kalau begitu, apa yang mungkin dilakukan?  Inilah pertanyaan dasar bagi PB HMI sekarang, yang bisa saja dijawab melalui semacam needs simulation para anggota dan masyarakat terhadap HMI. Mirip seperti menjawab Panglima Besar Sudirman ketika menyatakan bahwa HMI adalah Harapan Masyarakat Indonesia. Apa itu? Proses selanjutnya adalah proses manajemen organisasi, yang lazim disebut strategic management atau kadang-kadang disebut juga sebagai visionary management.
Perkaderan HMI memang harus meluas (widening) dan mendalam (deepening). Dari bersifat administrative menjadi institutional leadership. Karena keahlian HMI mencetak pemimpin, fokus perkaderan HMI melahirkan pemimpin dari yang bertumpuk di suatu bidang (politik atau birokrasi) menjadi ke semua bidang kepemimpinan. Tentu ini tidak mungkin dilakukan oleh PB HMI satu periode saja. Apabila HMI kembali dengan serius menekuni kegiatan perkaderannya, yang terus-menerus dimodifikasi sesuai perkembangan kebutuhan, dan tantangan zamannya, tampaknya kecemasan atas merosotnya mutu perkederan organisasi ini tdak perlu muncul lagi di masa datang.  BIla tidak, bila HMI terlalu terpukau oleh “kebesaran” networking para alumninya, bila HMI makin terjerumus dengan kegiatan politik praktis, bila HMI terlalu responsif terhadap situasi yang bersifat current event, organisasi ini secara pasti semakin menjadi myopic, minat mahasiswa menjadi anggota makin minimal dan seterusnya. Karena peristiwa datang dan pergi, kemampuan menangkap essence perubahan adalah kemampuan yang telah terbukti diperani HMI selama 62 tahun sejarahnya. Karena itu, peran sesungguhnya HMI bukan lagi sekedar menjaga eksistensi diri, tetapi menemukan kembali substansi perannya dalam zaman yang terus berubah ini. Itulah sesungguhnya tugas utama setiap pengurus HMI, di semua tingkatannya, seusai sifat independensinya dalam situasi masyarakat dunia yang makin terinterdependensi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar