Kamis, 06 Januari 2011

IPO PT Krakatau Steel

IPO PT Krakatau Steel

Harry Azhar Azis

Wakil Ketua Komisi XI (Keuangan) DPR RI

(Dimuat di Harian Suara Karya 11 November 2010)

Initial Public Offering saham PT Krakatau Steel (IPO PT KS) ternyata menuai kritik. Berbeda dengan penjualan saham perusahaan swasta atau individu, saham yang dikuasai Badan Usaha Milik negara (BUMN) selalu menarik perhatian publik. Seperti diketahui, saham itu termasuk aset negara yang diatur oleh Undang-Undang sehingga bila dipandang ada pengelolaan yang salah maka subjek pada Rancangan Undang Undang Otoritas Jasa Keuangan yang ajuan Pemerintah kini dibahas intensif Pansus DPR. Dalam Rapat kerja Pansus tanggal 20 Oktober lalu, antara DPR dan Pemerintah, disepakati 110 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dari 611 DIM. 95 DIM lain yang bersifat redaksional dan 410 DIM substantif diteruskan pembahasannya oleh Panitia Kerja (Panja) yang Anggotanya setengah jumlah Anggota Pansus mencakup 9 fraksi. Wakil Pemerintah dalam Panja dipimpin Dirjen Bappepam-LK Kementerian Keuangan.

Rapat Panja tanggal 21 Oktober mulai pembahasan pasal-pasal substantif. Topik pertama adalah nama lembaga. Sebagian fraksi mengusulkan nama sesuai Pasal 34 ayat 1 UU Bank Indonesia, yaitu Lembaga Pengawas Jasa Keuangan (LPJK). Alasannya, nama LPJK menegaskan kata “pengawasan” karena amanatnya funsgi pengawasan perbankan tidak lagi diemban BI. Sebenarnya, bunyi pasal tersebut adalah “lembaga pengawasan sektor jasa keuangan”. Pemerintah bertahan pada nama OJK karena kata “otoritas” mempertegas kewenangan seperti banyak digunakan negara lain dengan nama Financial Supervisory Authority. Sampai tulisan ini dibuat, belum ada kesepakatan soal nama. Mungkin saja nanti terjadi kompromi menjadi Otoritas Pengawas Jasa Keuangan (OPJK), dua kata kunci otoritas dan pengawas diadopsi.

Dari 410 DIM substatif, perdebatan panjang tampaknya akan fokus pada pasal-pasal tentang independensi, organisasi, fungsi, tugas, wewenang dan akuntabilitas serta governansi otoritas ini. Yang lain tentang protokol koordinasi antara otoritas ini dengan Bank Indonesia dan Pemerintah. Bila pasal-pasal tentang pola koordinasi terrumuskan dengan baik, pembahasan tentang pembentukan UU Jaring Pengaman Sektor Keuangan (JPSK), yang Perppunya pernah ditolak DPR, akan lebih mudah. Kekuatiran atas dampak sistemik karena kegagalan pengawasan diharapkan tidak pernah terjadi lagi. Juga, usul Pemerintah tentang pemungutan fee terhadap industri atau pola cost sharing yang berkembang dalam wacana masyarakat harus dibahas hati-hati.

Sesuai bunyi Pasal 34 ayat 2 UU BI, pembentukan otoritas ini dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2010. Tidak ada pilihan lain, Pansus OJK dan Pemerintah bekerja harus ekstra keras memenuhi tenggat waktu itu. Walau perintah pembentukan diundangkan melalui UU 23/1999 dan bunyi perintahnya tidak berubah walau UU 23/1999 diubah menjadi UU 3/2004 tentang BI, RUU dari Pemerintah baru muncul 11 tahun kemudian. Berbagai tafsir politis mengapa RUU ini baru muncul kiranya tidak menghambat proses pembahasan. Kita berharap otoritas ini nanti mampu bekerja lebih baik melindungi nasabah dan mencegah kejahatan jasa keuangan sehingga industri jasa keuangan indonesia makin bermanfaat bagi pembangunan kesejahteraan rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar