Rabu, 26 Januari 2011

Penangungjawab Inflasi, Seminar Inflasi dan Kesejahteraan Rakyat, FPG DPR RI,Ruang KK I DPR,, 27 Januari 2011

Penanggungjawab INFLASI  
Oleh : Dr. Harry Azhar Azis,MA[1]
Inflasi adalah fenomena ekonomi yang meruntuhkan level kesejahteraan rakyat, langsung maupun tidak langsung. Mengenali faktor-faktor penyebab, dampak yang ditimbulkan,  model kebijakan menanganinya serta mempertegas lembaga-lembaga negara yang bertanggungjawab menjadi suatu keharusan. Dalam tata pengelolaan sekarang, lembaga yang bertanggung jawab menangani inflasi tidak jelasdan terkesan saling lempar tanggungjawab antara otoritas moneter (Bank Indonesia) dan otoritas fiskal (Pemerintah). Untuk itu, perlu memperjelas pola kebijakan efektif pengendalian inflasi dan siapa-siapa yang bertangungjawab. Tujuan Utamanya adalah agar Inflasi dapat dikendalikan pada tingkatan yang rendah sehingga menjaga tingkat kesejahteraan rakyat. Kesejahteraan rakyat tidak boleh dibiarkan diterpa oleh kegagalan negara mengatasi inflasi.
Untuk menentukan model yang tepat kebijakan dalam pengendalian inflasi sangat ditentukan pemahaman jenis-jenis inflasi serta faktor penyebabnya. Hal ini menjadi penting karena fenomena inflai terkait suku bunga, unemployment, tingkat pertumbuhan ekonomi, jumlah uang beredar serta nilau kurs rupiah atas mata uang asing. Interaksi yang kompleks antar faktor-faktor inflasi dalam situasi tertentu dapat tingkat hubungan dan trade off nya bisa berbeda karakteristiknya sehingga kebijakan Pemerintah dan BI harus makin governance. Kedua lembaga ini harus didorong agar makin profesional dan betul-betul paham apa terjadi pada rakyat bila kebijakan mereka gagal.
 Secara teori, inflasi disebabkan perubahan sisi permintaan (demand) dan/atau penawaran (supply), dengan masing-masing turunannya yang bervariasi. Di sisi permintaan terkait misalnya dengan kebijakan uang beredar (money supply), ketersediaan uang dalam setiap transaksi (availability of money) dan biaya suku bunga intermediasi (interest rate) yang semuanya merupakan tanggungjawab BI. Kebijakan BI dalam konteks ini disebut kebijakan moneter (monetary policy) yang berpengaruh pada kestabilan nilai rupiah, khususnya tingkat inflasi (inflation rate). Walau tidak pernah tegas diatur, BI tampaknya cenderung menganggap hanya inflasi inti (core inflation) yang layak menjadi wilayah tanggungjawabnya. Inflasi inti adalah angka inflasi yang dihitung dengan mengeluarkan faktor-faktor volatile food prices seperti bahan makanan atau makanan dan enerji. Jadi, agak aneh bila BI menjelaskan harga-harga bahan makanan seperti harga cabai merah dimana kenaikannya karena pedagang ambil untung besar. Apalagi kalau penjelasannya karena cuaca buruk, sesedehana itukah? Jauh lebih bijak bila BI menjelaskan faktor-faktor inflasi inti apakah sesuai  target  4% plus minus 1%. Walau angka 1% dapat berarti BI membiarkan harga-harga terdeviasi sampai 25%, yang menunjukkan kelemahan sisi perencanaan kebijakan moneter, khususnya dalam konteks inflation targeting framework.  

Di sisi penawaran, aspek produksi dan distribusi barang serta jasa adalah tanggungjawab pemerintah. Dari inflasi umum 6,96% seperti laporan BPS, 50% disebabkan kenaikan harga bahan makanan dan kemudian diikuti makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau (18%), perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar (15%), sandang (7%), transportasi, komunikasi dan jasa keuangan (7%), pendidikan, rekreasi dan olahraga (3%) dan kesehatan (1%). Bila bahan makan dan makanan jadi dikeluarkan dalam perhitungan inflasi, angka inflasi tahun 2010 hanya sekitar 2,23%. Cabai merah yang diusulkan seorang pejabat pemerintah agar dihilangkan dari perhitungan inflasi hanya menyumbang 9% dari total kenaikan harga-harga bahan makanan atau 4,5% dari total angka inflasi 2010. Justru kenaikan harga beras perlu menjadi perhatian karena menyumbang 37% atas inflasi harga bahan makanan.

Kebijakan Pengendalian Inflasi
Berdasarkan kerangka, kejelasan tanggungjawab BI dan pemerintah harus makin diperjelas. Tahun 2005 (Juli), BI memperkenalkan Inflation Targeting Framework (ITF), yang telah menjadi praktek kebijakan moneter beberapa Negara seperti New Zealand, Australia, Inggris, Kanada, Korea Selatan dan Amerika Serikat sejak Bernanke. Para pendukung ITF percaya bahwa dengan menetapkan besaran target inflasi di awal tahun atau akhir tahun untuk ekspektasi inflasi tahun berikutnya, kebijakan ekonomi-makro yang mendukung pertumbuhan ekonomi dapat diharapkan lebih stabil, sustainable, transparan dan  yang lebih penting tanpa kuatir atas perubahan tingkat inflasi yang terlalu besar.
Tahun 2005  memberikan pelajaran berharga dalam konteks ITF. Yang menarik, walau UU BI menyatakan bahwa tanggungjawab utama BI adalah untuk menstabilkan daya beli rupiah (inflasi terkendali) dan nilai tukar rupiah (terhadap valas), ternyata di tahun 2005 hal itu tidak terjadi sama sekali. Kenaikan harga BBM 1 Oktober 2005, dan sebelum Maret 2005, ternyata menjadi benchmark situasi perekonomian tahun 2006. Inflasi Oktober 2005 yang mencapai 8,7% (MoM) merupakan puncak tingkat inflasi bulanan selama tahun 2005, yang walaupun menurun di November 2005 (1,3%), telah mendongkrak angka inflasi menjadi 18,4% (YoY), yang merupakan angka inflasi tertinggi selama 6 tahun ini. Angka inflasi ini per Desember 30, 2005 (YoY), menjadi 17,1%, angka yang jauh dari target UU APBN-P II No 9/2005. Penyumbang inflasi terbesar adalah kenaikan biaya transportasi lebih 40% dan harga bahan makanan 18%. Core inflation pun naik menjadi 9,4%, yang menunjukkan kebijakan BI tidak sepenuhnya efektif. Inflasi yang mencapai dua digit ini (CPI) jauh melampaui angka target inflasi APBN (8,6%). Yang menarik, Gubernur BI memprediksi inflasi tahun 2005 sebesar 14% (Kompas, 25 Oktober 2005) dan bahkan Menteri PPN/BAPPENAS (ketika itu Sri Mulyani) lebih berani lagi menjanjikan inflasi 2005 tidak akan lebih 12% (Suara Karya, 26 Oktober 2005). Seperti disebut di atas, inflasi tahun 2005 adalah 17,1%. Pada tahun 2010 juga terjadi inflasi umum Indonesia tahun 2010 mencapai 6,96% atau 31% lebih buruk dari target inflasi 5,3% seperti perintah UU APBNP 2010.

Pengendalian Inflasi : Tanggung Jawab Bersama Otoritas Fiskal dan Moneter
Bila belajar dari pengelaman tidak efektifnya pengendalian inflasi yang selama ini, tanggungjawab bersama antara otoritas moneter dan fiskal harus makin dipertegas. Hal ini mejadi penting karena dampak inflasi menyebabkan bertambah penduduk kemiskinan. Bila seorang pekerja berpendapatan tetap yang berprestasi mengalami kenaikan gaji rata-rata sebesar 5% di tahun 2010, dengan besaran inflasi di tahun tersebut, yang terjadi bukan peningkatan kesejahteraan tetapi sebaliknya penuruan daya beli. Ironisnya, kenaikan pendapatan seseorang karena prestasi kerja ternyata harus terpukul kembali oleh inflasi akibat ketidakmampuan negara menekan kenaikan harga-harga. Bahkan, bagi mereka dalam kategori berpendapatan rendah atau miskin situasinya bisa lebih parah. Kelompok miskin umumnya membelanjakan sebagian besar porsi pendapatannya untuk membeli bahan makanan, sisanya baru digunakan untuk kebutuhan hidup lainnya. Dengan inflasi bahan makanan sebesar 15,64% di tahun 2010, lebih dua kali lebih besar dari inflasi umum, sisa porsi pendapatan kelompok ini yang digunakan untuk membeli keperluan hidup selain bahan makanan tentu semakin kecil.
Bila Logika ini bisa terus dikembangkan sampai kepada mereka yang tidak bekerja, tidak memiliki pendapatan atau sangat miskin. Bila daya beli pendapatan masyarakat semakin kecil karena inflasi dan membiarkan inflasi terus terjadi tanpa kendali artinya pembiaran proses pemiskinan penduduk secara pasti sedang terjadi. Hal ini tentu bertentangan dengan tujuan terbentuknya negara ini seperti tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu menuju sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bukan pemiskinan rakyat
Dengan meletakan inflasi sebagai tanggungjawab bersama, maka menjadi jelas lembaga yang bertanggungjawab atas pengendalian inflasi. Kerangka pemilahan antara inflasi yang disebabkan oleh sisi demand tentu menjadi domain utama Bank Indonesia, sedangkan Inflasi dari sisi Supply menjadi domain utama dari pemerintah. Hal ini akan memudahkan formulasi kebijakan yang efektif dalam pengendalian inflasi serta kebijakan lanjutan untuk menghadapi kondisi trade off ketika suatu model kebijakan dipilih, dengan demikian proses pengawasannya menjadi lebih mudah, transparan dan rasional. Kita membutuhkan kebijakan rasional yang betul-betul membela rakyat, termasuk dalam konteks inflasi.



[1] Wakil Ketua Komisi XI DPR, makalah Diskusi Inflasi dan Suku Bunga serta Dampaknya bagi Kesejahteraan Rakyat, FPG DPR RI, 27 Januari 2011

2 komentar:

  1. Mari Kita Dukung Redenominasi Rupiah,
    Rupiah Baru Bikin Hidup Lebih Simpel dan Bisa Menurunkan Inflasi

    Untuk keterangan lebih lanjut juga bisa melihat video interaktif dibawah ini (sangat menarik dan kreatif)
    http://www.youtube.com/watch?v=vfHJDzdpdVU

    Mohon tanggapannya Dr. Harry Azhar Azis,MA? apakah redenominasi juga merupakan salah satu solusi untuk menekan inflasi...
    Terima Kasih Banyak Prof
    oleh : Desandito Mulyo

    BalasHapus