Jumat, 07 Januari 2011

Orasi Ilmiah di STIMA Kosgoro, Jakarta, 14 November 2009




ORASI ILMIAH
DR. HARRY AZHAR AZIS, MA
KETUA BADAN ANGGARAN DPR RI

Dengan tema :
KEWIRAUSAHAAN UMKM
MENGATASI KRISIS DAN
MEMBANGUN KESEJAHTERAAN RAKYAT




pada acara :

WISUDA PROGRAM STUDI STRATA SATU (S1) DAN DIPLOMA III
SEKOLAH TINGGI ILMU MANAJEMEN KOSGORO
TAHUN AKADEMIK 2009/2010



Bismillaahirrahmaanirrahiim,
Yth  Ketua/Pengurus Yayasan Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen KOSGORO,
Yth Ketua, Pimpinan dan Staf Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen KOSGORO,
Yth Bapak Ibu Dosen, Para Orang Tua dan Keluarga Wisudawan/wati,
Yth Calon Wisudawan/wati,  Civitas Akademika dan Tamu Undangan.

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Salam sejahtera untuk kita semua,
Pada saat berbahagia ini, izinkan saya mengajak hadirin bersyukur kehadirat Tuhan YME, Allah SWT, atas kesempatan mengikuti peristiwa melepas wisudawan/wati, mengantar mereka dari kehidupan teori ke praktek untuk kesejahteraan diri sendiri, keluarga dan masyarakat umum.

Perkenankanlah saya menyampaikan orasi bertema Kewirausahaan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) Mengatasi Krisis dan Membangun Kesejahteraan Rakyat semoga memberi bekal tambahan bagi wisudawan/wati sebelum melangkah ke luar kampus mengabdikan ilmunya.
 
Hadirin Yang Berbahagia,
Menjelang akhir tahun 2009 ini, setelah krisis melanda tahun 2007-2008, kita mulai melihat kembali secercah harapan keluar dari krisis. Krisis keuangan global yang puncaknya terjadi April 2008 dampaknya masih terasa di Indonesia. Dunia telah mengeluarkan dana mengatasi krisis sekitar US$ 3,9 triliun atau Rp 39.000 triliun (6,5 kali PDB Indonesia tahun 2010 Rp 5.980 triliun) untuk mengatasi krisis ini. Amerika Serikat mengeluarkan US$ 1,4T, Inggris US$680M, Eropa US$ 1,46T dan Korea Selatan US$ 130M. Indonesia tahun 2009 mengeluarkan Rp 73 triliun stimulus fiskal untuk mengatasi krisis dan lainnya Rp 6,7 triliun untuk Bank Century yang disebut gagal karena krisis.

Berbeda krisis tahun 1997-1998, dimana ekonomi Indonesia terpuruk minus 13,2%, krisis tahun 2008-2009, kita masih tumbuh 4,3% walau turun dari 6% target awal 2009. Sementara Malaysia pertumbuhannya -6,3%, Thailand -7,1% dan Singapora -10,1%. Pidato Kenegaraan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono 16 Agustus 2009 pada Sidang Paripurna DPR, yang dipimpin  Ketua DPR Agung Laksono, menyebut Indonesia, selain China dan India, tumbuh cukup tinggi dibanding negara maju yang negative growth. Bahkan, menurut Presiden, bila pola pertumbuhan ini konsisten bertahan, tahun 2025, Indonesia dapat masuk kategori negara maju (advanced countries).

Di Indonesia, kata pertumbuhan atau pembangunan ekonomi populer sejak Orde Baru. Sebelumnya, yang terkenal adalah kata “revolusioner” dan “merdeka atau mati.” Di era Orde Baru, khususnya 1965-1985, Indonesia dipuji menjadi “the top twenty” dunia dengan pertumbuhan ekonomi tinggi (Islam and Chowdhury,  Asia-Pacific Economies: A Survey, Routledge, 1997). Tahun 1993, Bank Dunia menyebut Indonesia sebagai negara Asia dengan keajaiban ekonomi (miracle economy) sehingga disebut Naga atau Macan Kecil Asia (Asian’s Little Dragon or Tiger). Tahun 1996, IMF masih memprediksi Indonesia tumbuh smooth 7% (Amanah Abdulkadir, A Computable General Equilibrium Model for Indonesia: Impacts of Strategic Reform Policies, PhD Dissertation, Oklahoma State University, 1998). Ironisnya, pada 30 Mei 1997, ketika Indonesia di tepi jurang krisis, Bank Dunia memuji ekonomi Indonesia tumbuh 7.5% sampai 2005 (The World Bank, May 1997). Krisis 1997 dan kejatuhan rezim Orde Baru tahun 1998 mengubah paradigma pertumbuhan dan pembangunan ekonomi.

Mengapa keajaiban ekonomi Indonesia mudah hancur tertimpa krisis? Rezim politik yang sangat berkuasa juga jatuh. Tahun 1999, IMF (The IMF’s Response to the Asian Crisis, 17 January 1999) memperbaiki pernyataannya bahwa krisis Asia Timur terjadi bukan karena ketidakseimbangan makroekonomi tetapi lebih disebabkan bad governance sistem keuangan. IMF membuat daftar “kesemrawutan” pengawasan sektor keuangan, kualitas rendah asesmen resiko keuangan, pinjaman luar negeri besar jangka pendek untuk investasi jangka panjang dan tanpa asuransi, pemerintahan buruk dan tidak transparan, campur tangan pemerintah di sektor privat dan KKN (crony capitalism). Catatan DPR periode 2004-2009, beban krisis itu sampai sekarang dibayar cicil tiap tahun oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dari total Rp 702 triliun, walau catatan Pemerintah hanya Rp 654 triliun. Pertumbuhan ekonomi salah orientasi atau salah kelola keuangan telah menjadi beban ekonomi negara dan rakyat kita.

Pembangunan ekonomi ternyata dapat membuat ketidakadilan (inequality), bukan kesejahteraan. Robert Barro (Inequality and growth in a panel of Countries, Journal of Economic Growth, 2000) menyebutkan inequality membuat pertumbuhan lambat negara miskin tetapi tinggi bagi negara maju. Mungkin itu sebabnya kemiskinan bertahan lama di negara berkembang. Ini disebut paradoks pertumbuhan ekonomi. Slogan kaum gerakan adalah “yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin.” Pertumbuhan ekonomi mendorong konsumerisme kelompok kaya, kecemburuan kelompok miskin dan ketimpangan ekonomi sebagai penyulut konflik sosial dan politik (Cristopher Cramer, Inequality and Conflict: A Review of an Age-Old Concern, 2005)  

Kritik lain, kerusakan lingkungan dan perubahan iklim (climate change) adalah efek negatif pertumbuhan ekonomi. Dulu, Club of Rome, 1972, dengan buku The Limits to Growth mengingatkan bahaya kerakusan (greedy) eksplorasi ekonomi atas polusi, kekurangan air (minum), kelaparan dan kerusakan lingkungan. Kini, Al Gore, Mantan Wakil Presiden Amerika Serikat dan pemenang Hadiah Nobel Lingkungan Hidup tahun 2007 menjadi motor gerakan green growth karena global warming akibat eksplorasi ekonomi, katanya, akan menjadi bumerang generasi mendatang. Bila Al Gore menyebut bumerang alam, buku klasik Mukaddimah Ibn Khaldun tahun 1377 menguraikan bumerang sosial dan politik. Katanya, pembangunan ekonomi yang tidak adil akan menghancurkan perekonomian suatu bangsa dan menghilangkan peradabannya dari muka bumi.

Pertumbuhan ekonomi diteruskan Orde Reformasi membangun negara. Uniknya, UUD 1945 tidak ada kata pembangunan atau pertumbuhan ekonomi. Pembukaan UUD 1945 menyebut “memajukan kesejahteraan umum” menjadi tanggungjawab pemerintah, disamping tugas melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kecerdasan bangsa dan ikut  melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dalam konstitusi,  tujuan negara tercantum di alinea ke-2 Pembukaan UUD “Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur,” dan di alinea ke-4 UUD “mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Tafsirnya, misalnya, mengenai keuangan negara untuk “sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” (Pasal 23 ayat 1), bumi air dan kekayaan alam juga untuk “sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” (Pasal 33 ayat 2).

Apakah tujuan “mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” atau “sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” dapat tanpa pembangunan ekonomi? Pasal 33 ayat 4 UUD 1945 mengamanatkan model perekonomian kita harus “diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.” Apakah rumusan ini berarti negara adil dan makmur adalah negara kesejahteraan (welfare state)?

Negara kesejahteraan adalah konsep politik ekonomi yang disepakati para pengambil keputusan politik. Amartya Sen (“The Possibility of Social Choice,” American Economic Review, 89, July 1999) menjelaskan public choice dengan kiasan “A camel is a horse designed by a Committee.” Onta (camel) tentu bukan kuda (horse), tetapi para pengambil keputusan dapat menyatakan “kuda” walau itu mungkin “setengah kuda” dan “setengah lainnya” karena kompromi politik. Dengan metafora ini, menurut Sen, perumusan pilihan sosial menjadi abstrak menunjukkan “kehebatan” cita-cita tetapi dapat pula “membingungkan” karena mengadopsi kepentingan berbeda. Atau rumusannya menjadi negatif (negative definition) seperti, misalnya, dulu, Negara Pancasila: bukan negara agama dan bukan pula negara sekuler. Ketika ditanya mengapa “bukan,”  jawaban selalu kembali ke square one, itulah negara Pancasila.

Kesulitan merumuskan pilihan sosial dijelaskan Kenneth Arrow (“A Difficulty in the Concept of Social Welfare” Journal of Political Economy, August 1950) dalam teori kemustahilan (Impossibility theorem). Bagi Arrow, rasionalitas, konsistensi dan kebenaran tidak penting dalam menentukan pilihan, tetapi kekuasaan. Arrow menjelaskan prinsip demokrasi mayority rule. Koalisi kekuasaan dapat mengubah yang benar menjadi salah atau sebaliknya, secara demokratis. Bila Arrow menyebut preferensi, Robert Aumann, (“War and Peace.” Nobel Prize Lecture, December 8, 2005) menyebut kepentingan (interests) sebagai motivasi mengambil keputusan. Menurut Aumann, keputusan adalah rasional bila sesuai his best interests atas informasi, pengetahuan atau pemahaman yang dimiliki. Keputusan demokratis tetap rasional walau tidak selalu konsisten antar waktu. Pada sistem otoriter, pilihan sosial ditentukan rezim berkuasa menjadi kebenaran sosial paksaan (enforceable) (Blair dan Pollak, “Collective Rationality and Dictatorship: TheScope of the Arrow Theorem.” Journal of Economic Theory, 1979).

Bagaimana menjelaskan paham kemakmuran (affluent) atau kesejahteraan (welfare) terkait prinsip keadilan (equality)? Amartya Sen (Inequality Reexamined, 1995) memberikan pertanyaan etis (1) mengapa keadilan? dan (2) keadilan terhadap apa? Dua pertanyaan ini, bagi Sen, adalah untuk mengetahui apakah kritik terhadap ketidakadilan tepat sasaran. Kritik atas ketidakadilan terkait pertanyaan ke dua, ketidakadilan terhadap apa. Apakah terhadap pendapatan (incomes), kekayaan (wealths), kesejahteraan (welfares), kesempatan (opportunities), kesuksesan (achievements), kebebasan (freedoms) dan atau terhadap hak-hak (rights).  Bagi Sen, kesejahteraan terkait jumlah orang miskin (poverty head count) dan proporsi orang miskin atas total penduduk sebagai indeks kemiskinan. Orang berpendapatan di bawah garis kemiskinan (below poverty line), dengan berbagai variasi, pengukurannya pada dua variabel: jumlah perolehan uang atau asupan kalori per hari. Makin besar jumlah penduduk miskin atau indeks kemiskinan, makin tidak sejahtera negara itu.

Menurut John Rawls (Theory of Justice, 1971), kesejahteraan terkait pemerataan pendapatan (equatable distribution of income). Baginya,  ketidakadilan (inequality) atau kesenjangan pendapatan (income gap)  dibenarkan sepanjang kelompok paling miskin (the least disadvantaged) memperoleh jaminan sosial. Karena itu, program kesejahteraan sosial menjadi alat utama menjembatani kesenjangan sosial. Mohammad Hatta (Kumpulan Pidato, 1981) menyebut keadilan sosial adalah kemakmuran merata dan seluruh rakyat terbebas kesengsaraan hidup. Konsep Hatta lebih mirip Sen dalam indeks kesejahteraan dan mirip Rawls dalam kebutuhan dasar. Bagi Hatta, alokasi sumber daya harus untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kemampuan orang miskin untuk maju harus ditopang demokrasi ekonomi (freedom to achieve) yang mendorong pemberdayaan kaum sengsara (capabilities to function). G Myrdal (An American Dilemma: The Negro Problem and Modern Democracy, 1944) menyebut kesejahteraan terletak pada terpeliharanya martabat manusia, terciptanya rasa keadilan, kebebasan mendapatkan hak, keadilan dan kesempatan yang sama.

Hadirin yang berbahagia,
Dengan pemahaman ini, demokrasi ekonomi haruslah membangun semua kelompok masyarakat, terutama yang lemah. Dalam konteks ini, perhatian pada UMKM diharapkan mengangkat kesejahteraan rakyat. UU Nomor 20/2008 tentang UMKM menyebutkan tujuan kebijakan UMKM adalah pertama, mewujudkan perekonomian nasional seimbang, berkembang, dan berkeadilan. Kedua, menumbuhkembangkan UMKM menjadi usaha tangguh dan mandiri; dan  Ketiga, meningkatkan peran UMKM dalam penciptaan lapangan kerja, pemerataan pendapatan,  dan pengentasan kemiskinan.
UU ini menegaskan peran negara. Setidaknya, pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban menumbukan iklim usaha, aspek pendanaan, sarana dan prasarana, informasi usaha, kemitraan, perizinan, kesempatan, promosi, dan dukungan kelembagaan. Kewajiban lain adalah pengembangan produksi dan pengolahan, pemasaran, sumberdaya manusia, teknologi, pembiayaan dan penjaminan. Implementasi kebijakan ini dikelompokkan pada lima aspek: pertama, kualitas sumber daya manusia. Kedua, peningkatan aksesibilitas modal untuk kapitalisasi kerja. Ketiga, mekanisasi dan inovasi teknologi untuk kualitas produksi. Keempat, hak cipta/paten dan merk. Kelima, legalitas kelembagaan melalui kerja sama Ikatan Notaris Indonesia agar memudahkan linkage program ke lembaga keuangan formal (Menegkop dan UKM, 2009).
Komitmen diatas diwujudkan dengan pelbagai program dan anggaran yang besar, diantaranya Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). KUR telah dimulai tahun 2009 yang diharapkan mencapai leverage kredit UMKM sebesar Rp 37,5 T pertahun dengan jaminan resiko 30% atau senilai Rp 375 M dalam APBN 2010. PNPM tahun 2007 mencapai Rp 4,4T dan terus meningkat Rp 6,6T (2008), Rp 10,4T (2009) dan Rp 12,9T (2010). Untuk tahun 2010 PNPM diharapkan mencapai 6.458 Kecamatan.
Untuk tahun 2008, dengan PDB Rp 4.484 T, share UMKM mencapai  58,3 %  PDB atau Rp 2.614T.  Dengan kata lain UMKM sangat besar posisinya dalam perekonomian Indonesia.   Share pasar domestik atas produk UMKM  sebesar 79,83 %. Fenomena krisis keuangan  global  ternyata  menjadi peluang ekspor UMKM dengan produk kualitas tinggi namun harga murah.  Pasar dalam negeri juga membesar di tengah menurunnya impor produk luar negeri. Bila 51,3 juta unit usaha UMKM yang menyerap 90,9 juta tenaga kerja dapat terus dikembangkan, tingkat kesejahteraan rakyat banyak akan makin baik dan income gap akan makin kecil di Indonesia.

Hadirin Yang Berbahagia,
Tantangan Indonesia adalah pengangguran dan kemiskinan. Angka pengangguran 9,7% (2008) turun menjadi 8,1% (2009). Target pemerintah tahun 2014, angka ini menjadi 5-6%. Pengangguran Jawa, khususnya Jakarta, Banten, dan Jawa Barat lebih tinggi dibanding kawasan lain, di atas 10 persen tahun 2007 dan 2008. Ancaman pengangguran juga melanda kelompok terdidik. Tahun 2008, BPS menyebut penganggur pendidikan Sarjana 12,6%,  Diploma III sebesar 11,2%, SMK 17,2%, SMU 14,3%, SMP 9,4% dan SD dan tidak sekolah 4,6%. Dari sisi umur, 2/3 penganggur berusia muda. Pada Februari 2005, jumlah sarjana menganggur 385.400 orang meningkat pada Februari 2009 mencapai 626.600 orang, angka ini termasuk 9,26 juta penganggur atau 8,1% dari total tenaga kerja 2009. Pengangguran Akademi (2006) 297.200 dan 486.400 (2009), universitas 375.400 (2006) dan 626.600 (2009) Tiap tahun Indonesia memproduksi 300.000 sarjana dari 2900 perguruan tinggi.  STIMA Kosgoro menghasilkan 786 sarjana, termasuk 120 orang yang diwisuda saat ini.

Tahun 2006, BPS mencatat dari 10,4% tingkat pengangguran saat itu, 0,5% merupakan pengangguran dalam kategori skilled employment sementara 10% unskilled.  Data diatas menunjukkan jenjang pendidikan tinggi peluang masuk kelompok pengangguran juga tinggi. Padahal pengangguran intelektual lebih berbahaya bagi kehidupan sosial. Patut dicatat pasar tenaga kerja formal hanya 36,2% sementara pasar kerja informal sebesar 63,9%.

Hadirin Yang Berbahagia,
Masalah pengangguran adalah masalah kita bersama dan menjadi tanggungjawab pemerintah untuk menciptakan iklim usaha bagi penganggur terdidik. Kesempatan membuka usaha memang terpulang bagi mereka terdidik belum bekerja. Kesempatan selalu terbuka untuk berwirausaha, baik perorangan maupun kelompok. Bila ada kemauan, kesempatan terbuka. Siapa saja dapat menjadikan wirausaha menjadi pilihan masa depan. Tahun 2008, UMKM tumbuh 2,9%. Angka ini menjelaskan peluang besar mengembangkan UMKM. Bentuknya, dari sektor manufaktur, jasa hingga pertanian. Di sektor manufaktur, industri rumah tangga cukup dominan, khususnya alas kaki, pakaian, maupun pengolahan makanan. Di sektor jasa, jasa transportasi, perdagangan dan restoran serta teknologi informasi.  Di sektor pertanian,  usaha perkebunan, perikanan serta tanaman bahan makanan non-padi terbuka pasar yang luas.

Pertanyaan pokok bagi pemula umumnya bagaimana memulai suatu usaha? Walau minimal pengalaman, dengan dengan ilmu, semangat dan stamina wirausaha terbuka luas. Mereka yang berhasil adalah yang selalu mencari peluang bangun kembali dari setiap kejatuhannya. Inilah inti enterpreneurship! Mulailah dari kecil dan dilakukan sendiri. Banyak usahawan suskes memulai yang kecil dan tidak berhenti ketika besar

STIMA Kosgoro telah memberi bekal keilmuan. Sebagian dari yang sekarang diwisuda telah bekerja dan sebagian lagi mulai mencari pekerjaan. Carilah yang terbaik untuk hidup ini. Karena hidup hanya sekali. Hari ini adalah hari bersejarah bagi wisudawan/wati. Adalah juga hari penentuan untuk menghadapi realitas sebenarnya, bagi hari depan yang cerah.

Mengakhiri orasi ilmiah ini, saya ucapkan “SELAMAT DAN SUKSES” kepada wisudawan wisudawati. Semoga Tuhan YME meridhoi kita semua membangun yang terbaik bagi diri sendiri, keluarga dan bangsa kita.

Jakarta, 14 November 2009
Dr. Harry Azhar Azis, MA
Ketua Badan Anggaran DPR RI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar