Selasa, 11 Januari 2011

APBN dan TDL, dimuat Harian Suara Karya, 12 Juli 2010



APBN dan TDL
Harry Azhar Azis
Ketua Badan Anggaran DPR RI

Kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) rata-rata 10% telah ditetapkan Pemerintah berlaku 1 Juli 2010. Dengan demikian, subsidi negara pada PLN menjadi Rp 55,1 triliun pada APBN-P 2010 yang disahkan DPR tanggal 3 Mei 2010, naik sekitar 50% dari subsidi listrik Rp 36,7 triliun dalam APBN 2010 yang disahkan Oktober 2009. Kenaikan subsidi itu tentu bukan hanya karena kenaikan 10% TDL, tetapi juga kenaikan 23% harga asumsi BBM dari USD 65/barel (APBN 2010) menjadi USD 80/barel (APBN-P 2010), derajat inefisiensi yang masih memprihatinkan dalam pengelolaan PLN dan sikap berubah-ubah Pemerintah atas kebijakan subsidi dan efisiensi penggunaan dana negara.

RAPBN-P 2010, yang diajukan Pemerintah ke DPR tanggal 25 Februari 2010 sebenarnya mengusulkan kenaikan TDL sebesar rata-rata 15% atau 5% lebih tinggi dari yang disepakati bersama DPR. Dalam pembahasan di Panitia Kerja Badan Anggaran DPR, beberapa fraksi termasuk FPG, FPKS dan FPDIP menolak kenaikan sebesar itu. Alasan utama penolakan itu adalah dampaknya pada perekonomian terutama inflasi, daya saing industri, pemutusan hubungan kerja (PHK) dan peningkatan kemiskinan. Menurut Bank Indonesia, inflasi tahun 2010 diperkirakan mencapai 4,8% tanpa kenaikan TDL. Bila TDL dinaikkan 15%, terjadi tambahan inflasi sebesar 0,36% sehingga menjadi 5,16%. Asumsi APBN 2010 yang disepakati untuk inflasi adalah 5,3%. Artinya, dengan kenaikan TDL 10%, target asumsi inflasi masih jauh di bawah kesepakatan DPR dan Pemerintah. Kalangan industri memperkirakan kenaikan TDL ini berdampak pada daya saing (competitiveness) industri yang makin terpukul setelah juga diberlakukan pada tahun 2010 kebijakan China-ASEAN Free Trade Arrangement (CAFTA). Industri memang terpukul dengan biaya industri yang naik dan permintaan yang turun. Kalangan Serikat Buruh dan LSM lebih menajamkan perhatiannya pada pengaruh kenaikan TDL pada besaran PHK, tingkat pengangguran dan kemiskinan.

Dalam pembahasan kenaikan TDL, pemerintah memang lebih fokus pada dampak meningkatnya beban APBN, yang cukup dapat dipahami. Perhatian pada beban APBN menjelaskan sisi kepentingan pemerintah. Kalkulasi dampak kebijakan TDL pada daya saing industri, bertambahnya PHK, pengangguran dan kemiskinan, tidak dirumuskan. Inilah sisi masyarakat. Perhatian pemerintah pada kaum miskin dan pekerja lebih baik ketika kebijakan kenaikan 112% harga BBM 1 Oktober 2005 dan 27,8% pada 23 Mei 2008. Pada masa itu ada kompensasi kelompok miskin seperti bantuan langsung tunai (BLT) dan skema insentif pajak kalangan industri. Ini dua sisi beban atas kebijakan, APBN dan masyarakat.  Ke depan, perlu validitas penelitian atas dampak setiap kebijakan. Kekuasaan negara harus dikelola lebih rasional, bukan sekedar karena “kekuasaan” belaka. Inilah yang oleh UUD 1945 disebut sebagai accountability atau rasionalitas pertanggungjawaban pengelolaan APBN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar