Kamis, 06 Januari 2011

Mencemaskan Harga BBM

Kecemasan Harga BBM

Harry Azhar Azis

Wakil Ketua Komisi XI (Keuangan Negara) DPR RI

(Di muat di Harian Suara Karya, 6 Januari 2011)

Belum selesai bergembira menyambut tahun 2011, muncul kecemasan baru: kenaikan harga BBM. Pemerintah buru-buru menyatakan harga BBM tidak akan naik. Pernyataan itu memang wajar untuk mecegah spekulasi. Bila harga BBM meloncat diatas kemampuan APBN belum tentu at all cost Pemerintah mampu menahan harga domestik tidak naik, paling tidak BBM nonsubsidi. Asumsi harga BBM pada APBN 2011 adalah USD 80/barel. Kini harga BBM dunia mendekati USD 100/barel artinya sudah 25% di atas perkiraan UU APBN.

Kenaikan harga BBM nonsubsidi lebih pasti. Harga seperti Pertamax yang semula Rp 7000 kini menjadi Rp 7500 sesuai mekanisme pasar. Bila perbedaan harga BBM nonsubsidi dan subsidi (Premium Rp 4500) makin besar, sebagian konsumen Pertamax atau sejenis secara rasional tergoda lagi membeli Premium atau Solar yang disubsidi, kecuali kebijakan pembatasan tertentu dilakukan tepat sasaran. Kuota subsidi Premium tahun 2011 naik menjadi 23,3 juta kiloliter (dari 21,5 juta kiloliter di 2010) dan Solar 13,1 juta kiloliter (11,3 juta kiloliter di 2010). Kenaikan kuota itu berasumsi pada harga APBN dan pertumbuhan konsumen BBM, tetapi tidak menghitung kenaikan harga dan jumlah konsumen BBM subsidi akibat perubahan harga BBM.

Bila benar pada tahun 2011 rata-rata kenaikan 25% di atas harga APBN dan tiap kenaikan harga USD 1 menambah beban subsidi BBM Rp 1,2T, versi angka Pemerintah Rp 900M, dibutuhkan tambahan subsidi APBN 2011 Rp 23,9T (versi Pemerintah Rp 16T). Tentu, harus dihitung pula pertambahan penerimaan, minimal dari PPh Migas, yang dengan pola sama bertambah Rp 13,9T, sehingga net margin tambahan dana subsidi BBM antara Rp 2,1T sampai Rp 10T. Angka ini belum menghitung tambahan dana subsidi atas jumlah konsumen BBM bersubsidi yang naik dan DBH Migas transfer daerah sekitar Rp 7,5T.

Pertanyaan di masyarakat bukan hanya kenaikan harga BBM bersubsidi tetapi juga harga BBM nonsubsidi. Pada kasus tahun 2005, pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi dua kali 30% (Maret) dan 115% (Juli) dan naik lagi 27,8% Mei 2008. Kenaikan ini memerlukan perubahan APBN tahun bersangkutan. Pada Januari 2003, Pemerintah mengusulkan kenaikan 22% tetapi dicabut kembali setelah menghadapi protes masyarakat. Mei 1998, kenaikan 71% harga BBM berimplikasi politik kejatuhan Presiden Soeharto. Tetapi kenaikan harga terus terjadi, 12% Oktober 2000 dan 30% Juni 2001 serta bukan mustahil di 2011.

Bagi Pemerintah, harga dan subsidi BBM tampaknya merupakan masalah politik, karena itu pernyataannya lebih bernuansa politis. Bagi masyarakat, terutama yang berpendapatan tetap, harga BBM terkait status kesejahteraannya. Mungkinkah kebijakan politik melindungi kesejahteraan. Itulah pilihan politik pemerintah. Kita selalu mendukung kebijakan rasional dan berpihak kepada masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar