Jumat, 07 Januari 2011

Pajak Progresif Kendaraan Bermotor, dimuat di Harian Bisnis Indonesia, 24 Agustus 2009

Harry Azhar Azis
Ketua Pansus RUU PDRD

Dengan ditetapkannya Rancangan Undang-Undang tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (RUU PDRD) menjadi Undang Undang (UU) dalam Sidang Paripurna DPR 18 Agustus 2009, selesailah pembahasan selama tiga tahun lebih atas RUU ini sejak dibentuknya Panitia Khusus RUU PDRD pada 14 Juni 2006. RUU yang semula diusulkan pemerintah memuat 18 Bab dan 164 Pasal akhirnya disepakati DPR dan Pemerintah menjadi 18 Bab dan 185 Pasal, yang mengatur jenis pajak dan retribusi yang boleh dipungut pemerintah provinsi, kabupaten dan kota. Dengan sifatnya yang closed list agar tercipta kepastian hukum, Pemerintah Daerah tidak dapat lagi memungut jenis pajak selain yang telah ditentukan dalam UU ini.

Pajak Provinsi menjadi lima jenis, yakni: Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, Pajak Air Permukaan, dan Pajak Rokok. Pajak Rokok adalah pajak baru Provinsi yang dibagihasilkan ke Kabupaten/Kota. Pajak Kabupaten/Kota disepakati menjadi 11 jenis, yakni Pajak Hotel, Pajak restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, Pajak Parkir, Pajak Air Tanah, Pajak Sarang Burung Walet, Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan; dan Bea perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. Sementara itu, 30 jenis retribusi disepakati yang dikategorikan 3 kelompok, yakni retribusi jasa umum seperti retribusi parkir di tepi jalan umum dan pelayanan pasar; retribusi jasa usaha seperti retribusi tempat pelelangan dan terminal, dan retribusi perizinan tertentu seperti retribusi izin mendirikan bangunan dan izin trayek angkutan umum.

Pajak progresif
Dari semua kesepakatan atas pajak daerah, hanya Pajak Kendaraan Bermotor diterapkan dengan pola progresif terutama pada kepemilikan kedua dan seterusnya dengan tarif antara 2% sampai paling tinggi 10%. Pajak progresif tidak dikenakan pada kepemilikan pertama. Juga tidak dikenakan pada kendaraan angkutan umum, ambulans, pemadam kebakaran, sosial keagamaan, lembaga sosial, Pemerintah/TNI/POLRI, Pemerintah Daerah, dan kendaraan lain yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Bahkan sesuai dengan prinsip pemanfaatannya, tarif pajak jenis kendaraan ini hanya dikenakan antara 0,5%  dan 1%. Tarif pajak untuk objek pajak kendaraan bermotor lainnya seperti kendaraan perusahaan atau sepeda motor untuk angkutan umum seperti ojek dapat ditetapkan secara tersendiri oleh pemerintah daerah sesuai dengan kebutuhan dan pertimbangan daerahnya masing-masing. Besaran tarif aktual untuk setiap jenis kendaraan bermotor harus ditetapkan melalui Peraturan Daerah Provinsi.

Pajak progresif memang merupakan fenomena baru dalam sistem perpajakan kita baik di pusat maupun daerah. Sebenarnya, pola pengenaan pajak ini mirip pajak barang mewah pada UU Pajak Pertambahan Nilai/Barang Mewah (PPn/BM), yang berlaku paling tinggi 75% sementara tarif normal PPn adalah 10%. Bila RUU PPn/BM yang sedang dibahas DPR dan pemerintah disepakati, sesuai usul Pemerintah, barang mewah bisa dikenakan tarif antara 10% sampai 200%, yang disesuaikan kategori barangnya. Alasan pokok mengapa akhirnya disepakati penerapan pajak progresif adalah karena sifat permintaannya yang inelastic, artinya permintaan barang itu relatif tidak terpengaruh perubahan harga baik karena dikenakan tambahan tarif pajak, struktur pasarnya yang cenderung bersifat monopoli (monopolistic competition), atau karena sifat luxury barang itu. Alasan kedua adalah penerapan rasa keadilan pada sistem perpajakan (fairness of taxation system). Mereka yang memiliki kendaraan lebih dari satu umumnya dapat dikategorikan sebagai kelompok masyarakat yang telah memiliki penghasilan lebih dari cukup. Mereka yang berpenghasilan tinggi selayaknya dipungut pajak lebih besar agar negara memiliki kemampuan lebih tinggi menyediakan fasilitas umum bagi rakyatnya. Dalam UU Pajak Penghasilan(PPh) pola ini sesungguhnya telah digunakan yakni makin tinggi pendapatan seseorang makin tinggi tarif PPh yang dikenakan. Alasan ketiga adalah membuka ruang kompetisi antar daerah. Daerah dimungkinkan melakukan diskresi tarif pajak sesuai kebutuhan provinsinya masing-masing. Bahkan, pemerintah provinsi dapat juga melakukan tarif berbeda bagi Kota/Kabupaten di wilayahnya. Misalnya, tingkat progresifitas tarif pajak di kota yang padat dan macet dapat saja dipercepat sebagai disinsentif untuk kepemilikan kendaraan lebih dari satu, sementara di daerah kurang padat tingkat progresifitasnya bisa saja diperlambat. Pola kompetisi antar daerah seperti ini diyakini dalam jangka panjang akan menemukan keseimbangan tarif progresif antar daerah. Daerah-daerah padat seperti Jakarta justru diuntungkan dengan progresifitas tarif yang lebih rendah bila diberlakukan di daerah sekitarnya seperti Bogor, Bekasi maupun Tangerang karena percepatan kepadatan kendaraan akan berkurang sementara penerimaan pajak bagi daerah padat justru meningkat sehingga makin memperbesar kemampuannya membangun sarana jalan dan transportasi umum.

Kewajian Alokasi Penerimaan
Fenomena dalam UU PDRD ini selain pajak progresif adalah kewajiban alokasi penerimaan (earmarking) dari pajak ini ke sektor publik yang terkait langsung dengan sektor perpajakan itu. Misalnya, minimal 10% dari hasil penerimaan pajak kendaraan bermotor wajib dialokasikan oleh pemerintah daerah untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum di daerahnya. Dengan makin membesarnya alokasi belanja ke sektor ini, diharapkan pertumbuhan sarana jalan dan transportasi umum akan semakin seimbang dengan pertumbuhan kepemilikan kendaraan pribadi, yang pada akhirnya akan memperlancar transaksi dan mobilitas perekonomian secara umum. Bahkan untuk pajak rokok, UU PDRD mewajibkan 50% dari hasil penerimaannya dialokasikan untuk belanja publik di bidang kesehatan masyarakat dan penegakan hukum terutama untuk mengatasi perdagangan rokok illegal.

Pola earmarking relatif belum dikenal pada sistem perpajakan di Indonesia. Selama ini, umumnya alokasi penggunaan hasil penerimaan pajak tergantung keputusan politik bujet antara pemerintah dan DPR atau pemerintah daerah dan DPRD sehingga tidak mustahil hasil penerimaan pajak dari suatu sektor atau daerah tidak dikembalikan ke sektor atau daerah yang bersangkutan secara proporsional. Dengan earmarking, tidak ada lagi alasan pemerintah daerah untuk tidak mengalokasikan dana yang diperoleh dari pajak kendaraan bermotor seperti yang ditentukan oleh UU ini.

Industri Otomotif
Untuk jangka panjang, bila ketidakmapuan pemerintah daerah terus berlanjut karena sedikitnya dana publik yang dialokasikan kepada pembangunan sarana jalan dan transportasi umum, kemacetan jalan diperkirakan akan makin parah terjadi di kota-kota yang padat sekarang ini dan justru akan merugikan pertumbuhan industri otomotif dan sekaligus juga merugikan pertumbuhan ekonomi daerah/nasional. Karena itu, tampaknya tidak cukup alasan industri otomotif hanya sekedar mementingkan diri sendiri tanpa peduli dengan peningkatan kemampuan pemerintah daerah untuk membangun sarana jalan dan transportasi umum. Pajak progresif memang dimaksudkan untuk menambah kemampuan pemerintah daerah membangun sarana jalan dan transportasi umum itu. Ketentuan alokasi minimal 10% dari hasil penerimaannya mempertegas hal ini. Kita berharap dengan berlakunya UU ini, pemerintah daerah akan makin serius memperhatikan perbaikan jalan dan transportasi umum di daerahnya sehingga kelancaran lalu lintas jalan akan semakin baik di masa datang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar