Senin, 10/01/2011 08:07 WIB
DPR Kritik BI Tak Punya Landasan Tetapkan 'Kondisi Krisis'  
Herdaru Purnomo - detikFinance  
Jakarta -  Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyatakan Bank Indonesia (BI) tidak  mempunyai dasar untuk menetapkan kondisi krisis atau tidak. Bank sentral  cenderung 'seenaknya' dalam merubah aturan-aturan terkait kondisi  krisis atau memberlakukan exit policy (kebijakan pasca krisis) sementara  tak punya dasar menetapkan kondisi krisis.
Wakil Ketua Komisi XI  DPR-RI Harry Azhar Azis mengungkapkan kebijakan exit policy yang  diberlakukan bank sentral terkait Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek  (FPJP) bagi bank bermasalah dengan alasan krisis sudah berakhir dinilai  tidak berlandaskan hukum.
"Padahal kita tidak punya definisi  krisis, jadi lebih baik BI tidak menggunakan terminologi definisi krisis  untuk mengembalikan pada posisi aturan CAR (Rasio Kecukupan Modal)  diposisi 8% untuk mendapatkan FPJP," ujar Harry ketika berbincang dengan  detikFinance di Jakarta, Senin (9/1/2011).
Menurut  Harry, akan jauh lebih baik ketika bank sentral menggunakan terminologi  meluruskan kebijakan sesuai dengan 'International Best Practice'  sehingga terlihat akan lebih rasional dan profesional. Ketika BI, lanjut  Harry, menggunakan definisi tentang krisis sudah selesai atau belum  selesai untuk menerapkan sebuah aturan atau kebijakan, maka hal ini  menyalahi aturan. Karena memang tidak ada dalam sistem  perundang-undangan mengenai penjelasan krisis dan bukan menjadi wewenang  BI.
"Defisini tentang krisis belum selesai dalam sistem  perundang-undangan kita. Dan bukan menjadi wewenang BI karena itu alasan  yang menyatakan perubahan itu kembali berdasarkan krisis telah usai  sama sekali tidak berlandaskan hukum atau tidak memiliki kekuatan  hukum," tegasnya.
Politisi Partai Golkar ini berpendapat makna  krisis harus diatur dalam Undang-Undang (UU) tersendiri dimana sampai  saat ini UU itu belum ada. Bahkan, sambung HAarry RUU Jaring Pengaman  Sistem Keuangan (JPSK) yang pernah diusulkan pemerintah telah ditolak  oleh DPR, karena itu tidak ada kesepakatan soal krisis. 
"Walaupun  kebijakan BI mengembalikan aturan CAR harus 8% untuk FPJP sudah betul,  tetapi alasan yang digunakan salah dan tidak memiliki kekuatan hukum,"  terangnya.
"Yang jelas penetapan krisis bukan domain Bank  Indonesia, karena itu menggunakan itu sebagai rujukan hukum bisa salah,"  imbuh Harry.
Seperti diketahui, BI mengembalikan lagi aturan  pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) ke kondisi normal  atau tidak terjadi krisis. Bank sentral melihat kondisi saat ini sudah  tidak lagi terjadi kondisi likuiditas yang ketat seperti tahun 2008  lalu. Direktur Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan Bank  Indonesia Wimboh Santoso mengatakan bank yang berhak mendapatkan  fasilitas FPJP tidak lagi bisa jika CAR-nya berada dibawah 8%. "Minimal  CAR perbankan itu 8%," katanya.
Pada 29 Oktober 2008 BI memang  melonggarkan aturan FPJP yang tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia  No. 10/26/PBI/2008 tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek. Yang  menjadi poin BI dalam aturan tersebut terdapat dalam pasal 2 ayat 2  tentang persyaratan dan tata cara permohonan FPJP, yakni persyaratan  bank yang mengajukan FPJP harus memenuhi Rasio Kecukupan Modal (CAR)  sebesar 8%.
Namun ternyata pada 14 November 2008, Bank Indonesia  mengubah kembali syarat kecukupan modal minimal penerima FPJP yang  semula 8% diubah menjadi CAR positif. Sehari setelahnya, ketika itu PT  Bank Century Tbk (sekarang Bank Mutiara) menjadi satu-satunya bank yang  menggunakan fasilitas tersebut.
(dru/qom)
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar