Sabtu, 15 Januari 2011

Inflation Targeting Framework, naskah diskusi Bank Indonesia, 28 Juni 2006




INFLATION TARGETING FRAMEWORK
BANK INDONESIA
Harry Azhar Azis·




1.    Inflation Targeting Framework (ITF) yang dikenalkan BI sejak Juli 2005 telah menjadi praktek kebijakan moneter beberapa Negara seperti New Zealand, Australia, Inggris, Kanada, Korea Selatan dan Amerika Serikat sejak Bernanke menggantikan Greenspan. Para pendukung ITF percaya bahwa dengan menetapkan besaran target inflasi di awal tahun atau akhir tahun untuk ekspektasi inflasi tahun berikutnya, kebijakan ekonomi-makro yang mendukung pertumbuhan ekonomi dapat diharapkan lebih stabil, sustainable, transparent dan  yang lebih penting tanpa kuatir atas perubahan tingkat inflasi yang terlalu besar. Dengan target inflasi, BI dan Pemerintah tentu (seharusnya) akan bekerjasama secara erat agar target itu betul-betul dapat tercapai. Dan bila hal ini dipercayai para pelaku ekonomi, investor/produsen dan konsumen, maka roda perekonomian akan bergerak sesuai dengan yang direncanakan. Intinya adalah membangun kepercayaan publik sehingga ekspektasi inflasi mendekati target inflasi yang telah ditetapkan. Sebutlah, misalnya, bila tingkat inflasi (aktual) berada di atas target, maka kebijakan BI selayaknya menaikkan suku bunga (dalam hal ini SBI), sebaliknya bila inflasi berada di bawah target, suku bunga dapat segera diturunkan. Dengan pola ini, target inflasi adalah fokus kebijakan moneter (dan seharusnya juga fiskal). Dengan kepercayaan target inflasi akan “pasti” tercapai, perilaku spekulatif pelaku ekonomi akan semakin ditekan seminimal mungkin dan perekonomian berkembang secara rasional. Benarkah?

2.    Tahun 2005 ternyata memberikan pelajaran yang amat berharga dalam konteks ITF. Yang menarik, walau UU BI menyatakan bahwa tanggungjawab utama BI adalah untuk menstabilkan daya beli rupiah (inflasi terkendali) dan nilai tukar rupiah (terhadap valas), ternyata di tahun 2005 hal itu tidak terjadi sama sekali. Kenaikan harga BBM 1 Oktober 2005, dan sebelum Maret 2005, ternyata menjadi benchmark situasi perekonomian tahun 2006. Inflasi Oktober 2005 yang mencapai 8,7% (MoM) merupakan puncak tingkat inflasi bulanan selama tahun 2005, yang walaupun menurun di November 2005 (1,3%), telah mendongkrak angka inflasi menjadi 18,4% (YoY), yang merupakan angka inflasi tertinggi selama 6 tahun ini. Angka inflasi ini per Desember 30, 2005 (YoY), menjadi 17,1%, angka yang jauh dari target UU APBN-P II No 9/2005. Penyumbang inflasi terbesar adalah kenaikan biaya transportasi lebih 40% dan harga bahan makanan 18%. Core inflation pun naik menjadi 9,4%, yang menunjukkan kebijakan BI tidak sepenuhnya efektif. Inflasi yang mencapai dua digit ini (CPI) jauh melampaui angka target inflasi APBN (8,6%) atau angka inflasi nota Keuangan 2005 (7%) yang disampaikan Presiden tanggal 16 Agustus di Sidang Paripurna DPR. Inflasi dua digit diperkirakan tidak banyak berubah sampai Q3 tahun 2006, yang akan berimplikasi luas bagi perekonomian tahun 2006.  Misalnya, Inflasi sampai bulan Februari 2006 (YoY) masih amat tinggi 17,92%, bandingkan dengan Februari 2005 (YoY) 7,15% dan Februari 2004 (YoY) 4,6%. Yang menarik, Gubernur BI memprediksi inflasi tahun 2005 sebesar 14% (Kompas, 25 Oktober 2005) dan bahkan Menteri PPN/BAPPENAS (ketika itu dijabat Sri Mulyani) lebih berani lagi menjanjikan inflasi 2005 tidak akan lebih 12% (Suara Karya, 26 Oktober 2005). Seperti disebut di atas, inflasi tahun 2005 adalah 17,1%. Pertanyaannya, mengapa prediksi pejabat yang paling berwenang di Indonesia ini keliru dan berbeda dengan kehendak UU 9/2005 tentang APBN-P II? Beberapa pertanyaannya layak didaftar seperti:

a) Apakah target inflasi yang ditetapkan APBN itu keliru? Bila keliru mengapa DPR yang seharusnya mengawasi kinerja moneter dan fiskal di Indonesia ikut menyetujui? Siapa yang paling bertanggungjawab kalau ternyata perumusan “besaran” target itu ternyata tidak tepat. BI? Pemerintah? DPR? Atau ketiga lembaga ini?
b) Mungkinkah tidak terjadi koordinasi yang baik antara pejabat moneter dan fiskal sehingga target inflasi yang telah ditetapkan sebenarnya bukan target inflasi seperti yang dimaksud dalam konsep ITF (karena itu disebut “asumsi” bukan target), sehingga karena itu pula tidak ada kewajiban untuk menepatinya ?
c) Dimana letak early warning system yang dapat memberitahu kepada kita bahwa target yang telah ditetapkan sesungguhnya mustahil untuk dicapai? BI dan Pemerintah selalu menggunakan alasan bahwa faktor eksternal, khususnya harga BBM dunia dan suku bunga Fed sebagai “penyebab utama” target inflasi sulit dicapai. Bila ini benar, seberapa jauh early warning system kita dapat berfungsi?
d) Kalau besaran target inflasi boleh berubah, berapakali ia boleh berubah dan apa akibatnya terhadap kepercayaan publik/pasar?
e) Terakhir, mungkinkah ITF yang ditetapkan BI dapat berbeda dengan asumsi inflasi yang ditetapkan APBN. Kalau mungkin mana yang lebih bisa diandalkan atau yang lebih bisa dijadikan pegangan hukum?

3.    Kekeliruan prediksi ini menyebabkan perekonomian Indonesia kehilangan peluang peningkatan PDB sekitar Rp 80T di tahun 2005, hampir sama dengan nilai subsidi BBM sebesar Rp93T akibat kenaikan harga BBM, yang bila dikonversi kepada lapangan kerja kita kehilangan peluang penciptaan lapangan kerja sekitar 1,3 juta (dengan asumsi 20% dari Rp 80T untuk biaya TK dengan upah minimal Rp 1 juta/bulan). Dengan dependensi rasio 4,5, maka 6 juta orang miskin bisa tertolong di tahun itu. Hal ini terjadi hanya karena kesalahan gap angka prediksi dan aktual inflasi sebesar 3,1% (prediksi BI yang 14%), apalagi kesalahan 5,1% (prediksi BAPPENAS yang 12%), atau bahkan gap itu lebih besar lagi bila disbanding target APBN-P II tahun 2005 sebesar 8,5%. Mungkinkah kesalahan yang sama akan terjadi lagi di tahun 2006 ini?

4.    Pada tahun 2006, APBN menetapkan angka inflasi sebesar 8% dan SBI sebesar 9,5%. Angka inflasi sampai Mei 2006 adalah 15,60% (YoY), walau tingkat inflasi kalendar sampai Mei hanya 2,41% atau 0,37% di bulan Mei 2006. Tingkat suku bunga SBI yang semula 8,5% (Juli) menjadi 9,5% masih di atas tingkat inflasi 8,3% di bulan Agustus 2005, kemudian September 10% SBI dan 9,1% inflasi, menjadi kontraproduktif pada bulan Oktober 11% SBI dan 17,9% inflasi, dan terus bertahan menjadi di bulan November 2005 (SBI 12,25% ). Pada 14 Desember 2005, SBI naik 50 bps, menjadi 12,75%. Kini, setelah bertahan agak lama di 12,75%, SBI turun 25 bps menjadi 12,5%, jauh lebih rendah dari inflasi tahunan Mei (2005-2006). Gap negatif yang sekarang ini mencapai 3,1% antara SBI dan inflasi ini tentu tidak banyak memiliki kemampuan mendorong perekonomian sampai akhir September (Q3) tahun 2006, seperti diprediksi sebelumnya oleh BI. Dengan target SBI 9,5% dalam APBN tahun 2006, dan tingkat suku bunga SBI yang sekarang masih 12,5%, sanggupkah BI mencapainya selama 6 (enam) bulan ke depan?

5.      Agenda apa yang harus diperhatikan oleh otoritas moneter dan fiskal dalam rangka menegakkan ITF?


a)                   Koordinasi antara kedua otoritas ini jelas harus makin diperjelaskan baik dalam menetapkan target inflasi maupun dalam menangani faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pencapaian target inflasi tersebut. Tidak dipungkiri bahwa inflasi dapat disebabkan oleh kedua otoritas tersebut, secara sendiri-sendiri atau bersama-sama. Kegagalan dalam mencapai target inflasi jelas mempengaruhi kepercayaan publik/pasar atas kredibilitas, konsistensi, akuntabiltas dan profesionalisme kedua lembaga itu, yang akibatnya telah kita ketahui bersama. Koordinasi di antara kedua lembaga ini amat ditentukan oleh Tim Koordinasi yang dibentuk dan mengambil peran yang penting dalam mengkoordinasikan kebijakan-kebijakan di dua institusi ini. Ada baiknya dipikirkan juga anggota-anggota Tim yang mewakili stackholders yang bukan hanya dari kedua lembaga ini saja, dengan tanggungjawab yang jelas dan mandiri.
b)                   Perlu makin diperjelas, faktor-faktor apa saja yang dapat dikendalikan (endogenous variables) secara sendiri-sendiri atau bersama-sama dari kedua lembaga ini dan faktor-faktor apa saja yang tidak dapat dikendalikan (exogenous variables). Lempar tanggungjawab atau mencari kambing hitam atas kegagalan pencapaian target iflasi yang telah ditetapkan jelas akan menambah ketidakpercayaan publik/pasar, yang harus dihindari semaksimal mungkin oleh kedua lembaga ini.
c)                   Bila kedua lembaga ini terikat oleh subjektifitasnya masing-masing, perlu dipikirkan atau bahkan dibiayai suatu lembaga independent (misalnya perguruan tinggi atau yang lainnya) untuk secara rutin mempublikasi dampak positif-negatif kebijakan-kebijakan yang mempengaruhi target inflasi, siapa diuntungkan dan dirugikan, efeknya terhadap APBN, sector riel atau perekonomian pada umumnya.
d)                   Komunikasi publik yang dilakukan oleh kedua lembaga ini tidak cukup dilakukan dengan pola penyampaian slogan politik, seperti misalnya, don’t worry be happy atau saya masih bisa tidur nyenyak kok!  Komunikasi para pejabat di dua lembaga ini harus lebih mampu mencerminkan profesionalisme argumen tinimbang bersifat sloganistik. Karena mereka sesungguhnya adalah pejabat publik yang professional, bukan pejabat publik politik.  
e)                   Khusus hubungannnya dengan lembaga legislatif (DPR dan DPD), lembaga ini ini sebenarnya lebih berfungsi sebagai lembaga pengawasan politik, yang dalam banyak kasus baru dapat memberikan kebijakannya setelah incident tidak dalam konteks precedent. Lembaga legislatif yang ada sekarang ini, secara kelembagaan, tidak memiliki/dibantu tenaga expertise dalam bidang ini yang cukup memadai, karena itu perannya lamat terbatas secara teknikal.


*****


· Anggota DPR RI Komisi XI (Keuangan, Perbankan dan Perencanaan Pembangunan) dan alumni PhD Ekonomi Oklahoma Stae University, Amerika Serikat. Disampaikan pada diskusi tentang Inflation Targeting Framework diselenggarakan oleh Bank Indonesia tanggal 28 Juni 2006 di Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar