Sabtu, 15 Januari 2011

Urgensi UU Penilai Bagi Kesinambungan Dunia Usaha, Seminar di Htl Bidakara, 9 Agustus 2010

Urgensi Undang-Undang Penilai bagi Kesinambungan Dunia Usaha

Dr. Harry Azhar Azis, MA.[1]

Dalam menjalankan suatu roda pemerintahan, diperlukan aturan hukum yang jelas. Aturan hukum tersebut berfungsi sebagai regulator yang mengatur hubungan antara pemerintah, swasta dan masyarakat yang terlibat di dalamnya. Di Indonesia, dikenal dua jenis aturan hukum yang berlaku dalam masyarakat, yaitu hukum normatif dan positif. Hukum normatif merupakan landasan hukum yang bersifat tertulis dan berlaku secara umum dan mengikat. Sementara, hukum positif merupakan perangkat hukum yang tidak tertulis dan biasanya berupa hukum adat yang berlaku di dalam kehidupan masyarakat.
Bila ditinjau dari perangkat hukum yang diperlukan bagi penyelenggaraan negara, maka perangkat hukum normatiflah yang paling sesuai dengan tujuan dan manfaat yang ingin diambil dari perangkat hukum tersebut. Selain bersifat mengikat, perangkat hukum ini juga memuat sanksi yang tegas dan jelas. Sehingga, hukum normatif menjadi acuan penyelenggaraan pemerintahan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang dengan catatan sepanjang masih relevan dengan kehidupan masyarakat.      
Berdasarkan UU No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundangan (UU PPP) Pasal 2, “Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum negara”. Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan dasar dalam Peraturan Perundang-undangan (UU PPP Pasal 3 Ayat 1). Jadi, dalam pembentukan Undang-Undang harus selalu mengacu kepada Pancasila dan UUD 1945.
Seluruh sila-sila dalam Pancasila mencerminkan harmonisasi antara kehidupan beragama dan kehidupan bernegara dalam masyarakat yang memiliki kemajemukan tinggi seperti di Indonesia. Salah satu sila Pancasila yaitu sila ke-5 mengandung pesan moral bahwa keadilan harus dikedepankan dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara. Artinya, segala sesuatu yang akan diambil oleh pemangku kebijakan harus mempertimbangkan dampak positif dan negatifnya terhadap kehidupan masyarakat luas, termasuk dampaknya terhadap kepercayaan dunia usaha terhadap pemerintah.

Proses Terbentuknya Undang-Undang
         Mengacu pada UU No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundangan (UU PPP) Pasal 7 Ayat 1, tata urutan peraturan perundang-undangan yang saat ini berlaku di Indonesia adalah sebagai berikut:
1.      Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2.      Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
3.      Peraturan Pemerintah.
4.      Keputusan Presiden.
5.      Peraturan Daerah.
         Pembentukan Undang-Undang merupakan syarat bagi kepastian hukum suatu kebijakan yang menyangkut kepentingan seluruh masyarakat. Tanpa payung hukum yang jelas, maka hal-hal yang menjadi hak dan kewajiban akan menjadi bias dan berpotensi menimbulkan moral hazzard. Ketika terjadi pelanggaran, maka pelaku tidak akan dijerat oleh sanksi hukum karena tidak ada peraturan tertulis yang mengatur hal tersebut atau perangkat hukumnya bersifat lemah. Untuk terbentuknya suatu Undang-Undang, maka Undang-Undang  harus berisi (UU PPP Pasal 8):
a.                  Mengatur lebih lanjut ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang meliputi :
1.             Hak-hak asasi manusia.
2.                  Hak dan kewajiban warga negara.
3.                  Pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara.
4.                  Wilayah negara dan pembagian daerah.
5.                  Kewarganegaraan dan kependudukan.
6.                  Keuangan negara.
b.                  Diperintahkan oleh suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang.

         Terkait dengan perangkat hukum jasa penilai, saat ini peraturan yang berlaku adalah Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 125/PMK.01/2008 Tentang Jasa Penilai Publik. Sebagaimana diketahui, perangkat peraturan yang dinaungi oleh Peraturan Menteri menjadi bias karena tidak termuat secara eksplisit dalam tata urutan perundang-undangan. Jadi, dapat dikatakan bahwa Peraturan Menteri lebih bersifat ad hoc karena tidak berfungsi sebagai peraturan untuk melaksanakan perintah undang-undang yang menyangkut kepentingan publik.
         Agar suatu rancangan undang-undang (RUU) dapat disahkan menjadi undang-undang (UU), maka salah satu persyaratan adalah RUU tersebut harus masuk dalam program legislasi nasional[2] (prolegnas). Sebagai bagian dari proses perencanaan, Rancangan Undang-Undang yang masuk ke dalam prolegnas dipilih berdasarkan skala prioritas. Adapun kriteria prolegnas dibagi berdasarkan prolegnas tahunan dan lima tahunan. Dalam hal Rancangan Undang-Undang Jasa Penilai, sudah masuk ke dalam agenda prolegnas lima tahunan (2009-2014). Skala prioritas RUU yang masuk ke dalam agenda prolegnas didasarkan atas urgensinya terhadap kebutuhan dan kepentingan publik.
Bedasarkan UU PPP, tahapan yang harus dilalui dalam pembentukan Undang-Undang dibagi atas perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan. Pengusulan RUU dapat berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden, dan Dewan Perwakilan Daerah yang disusun berdasarkan program legislasi nasional (UU PPP Pasal 17 Ayat 1). Dalam kedaaan tertentu, Dewan Perwakilan Rakyat atau Presiden dapat mengajukan rancangan undang-undang di luar Program Legislasi Nasional (UU PPP Pasal 17 Ayat 3).
Pengusulan RUU oleh DPR dapat melalui Badan Legislasi (Baleg)/Komisi/Gabungan Komisi (Tatib DPR Pasal 109 Ayat 1), dan 1 orang anggota DPR atau lebih (Tatib DPR Pasal 109 Ayat 2). Sementara, RUU yang diajukan dimasukkan dalam agenda Rapat Paripurna DPR dan harus disertakan dengan naskah akademisnya. Pengambilan keputusan terhadap usulan/inisiatif RUU dibahas dalam Rapat Paripurna DPR kembali dengan 3 alternatif keputusan, yaitu persetujuan tanpa perubahan, persetujuan dengan perubahan, dan penolakan. Apabila keputusan yang diambil adalah persetujuan dengan perubahan, maka Badan Musyawarah (Bamus) DPR menugaskan Baleg/Komisi/Pansus untuk penyempurnaan, sedangkan apabila keputusan terhadap RUU tersebut berupa penolakan, maka RUU tidak dapat diajukan kembali selama masa sidang DPR.


Hambatan yang mungkin muncul dalam Pembentukkan Undang-Undang Jasa Penilai
Proses perencanaan Undang-Undang merupakan proses awal dan sangat penting bagi kelanjutan proses RUU menjadi Undang-Undang. Seperti halnya perencanaan pembangunan, proses perencanaan Undang-Undang harus dilakukan secara rasional dan mengedepankan kebutuhan publik akan hal tersebut. Selain itu, Undang-Undang harus mencerminkan asas keadilan dan menjadi acuan dalam setiap menjalankan kegiatan yang berhubungan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan implikasinya terhadap kehidupan sosial masyarakat.
Seringkali RUU yang diajukan kepada DPR mengalami penolakan, baik RUU yang diusulkan oleh DPR, Presiden, maupun DPD. Berbagai hal yang menyebabkan ditolaknya suatu Rancangan Undang-Undang (RUU) yang pertama, RUU dianggap hanya menguntungkan salah satu golongan masyarakat. Hal ini akan berpotensi timbulnya suatu polemik dalam jangka panjang apabila terus dipertahankan dan disahkan menjadi Undang-Undang.
Kedua, terkait dengan RUU Jasa Penilai, maka harus memuat tugas dan fungsi yang jelas. Sebagai penilai aset kekayaan negara, maka tugas dan fungsi jasa penilai tidak boleh tumpang tindih dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan dan Keuangan Pembangunan (BPKP). Kedudukannya dan ruang lingkupnyapun harus jelas, apakah hanya menilai kekayaan negara di pemerintah pusat atau sampai ke pemerintah daerah.
Ketiga, harus ada standar yang jelas sebagai acuan penggunaan jasa penilai. Sebagai contoh, Badan Standarisasi Nasional yang berpedoman pada PP No. 62 Tahun 2007 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Badan Standarisasi Nasional. Dengan demikian, keberadaan jasa penilai dianggap memiliki kekuatan hukum yang sah (memenuhi aspek legalitas) dan dapat dipertanggungjawabkan karena memenuhi unsur Undang-Undang, yaitu memuat hak dan kewajiban warga negara serta pengelolaan keuangan negara. Disamping itu, peraturan yang memuat tarif dan jenis jasa akan menekan tindakan korupsi, penilaian atas kekayaan negara tidak dapat diintervensi oleh pihak manapun karena dasar penilaian tidak bersifat subjektif, meningkatkan transparansi dan akuntabilitas kekayaan negara, bersifat meningkatkan kapasitas keuangan negara dalam bentuk PNBP, dan meningkatkan kepercayaan dunia usaha terhadap pemerintah.
Keempat, RUU Jasa Penilai harus memuat sanksi hukum yang tegas. Artinya, sanksi yang diterapkan atas tindakan pelanggaran tidak hanya berupa sanksi administratif. Apabila sanksi yang berlaku hanya berupa sanksi administratif, maka potensi kekayaan negara yang hilang akan sangat besar.

Rekomendasi atas RUU Jasa Penilai
         Untuk menciptakan suatu keharmonisan kehidupan bernegara, maka norma-norma atau aturan-aturan harus dapat mengakomodir seluruh kepentingan masyarakat. Tanpa aturan yang berbentuk Undang-Undang, maka peraturan akan mudah dilanggar dan istilah “tebang pilih” akan tetap berlaku ketika terjadi suatu pelanggaran. Oleh karena itu, beberapa hal sebagai alternatif pemecahan masalah yang terkait dengan RUU Jasa Penilai adalah yang pertama, RUU Jasa Penilai harus mengakomodir kebutuhan pemerintah pusat dan daerah. Karena, pengertian kekayaan negara tidak hanya kekayaan yang berada pada pemerintah pusat, tetapi juga di pemerintah daerah. Hasil penilaian terhadap kekayaan negara harus dipublikasikan kepada masyarakat sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas kekayaan negara.
         Kedua, diperlukan harmonisasi dalam penyusunan naskah akademis RUU Jasa Penilai. Hal ini sebagai upaya untuk menghindari tumpang tindihnya RUU tersebut dengan Undang-Undang lain yang mempunyai karakteristik fungsi dan kedudukan sama atau sederajat. 
         Ketiga, perlunya muatan sanksi hukum pidana dalam RUU Jasa Penilai. Didalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 125/PMK.01/2008 Tentang Jasa Penilai Publik, sanksi yang termuat merupakan sanksi administratif atau sanksi perdata. Kedudukan peraturan perundang-undangan yang semakin tinggi menuntut penerapan sanksi yang semakin tegas karena sifatnya yang lebih universal dan sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada masyarakat.
         Ketiga alternatif tersebut diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam penyusunan RUU Jasa Penilai. Dengan harmonisasi perundangan yang baik serta dengan tujuan untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas kekayaan negara, maka hasil penilaian akan memberikan pertimbangan dalam perencanaan pembangunan. Sinergi antara kedua hal tersebut dapat menjadikan penggunaan anggaran negara yang efektif, efisien, dan optimal sehingga akan mengakselerasi pembangunan nasional.


[1] Wakil Ketua Komisi XI DPR RI. Makalah disampaikan pada Seminar Sehari RUU Penilai “Undang-Undang Penilai bagi Dunia Usaha”. Hotel Bidakara Jakarta, 9 Agustus 2010.
[2]Program legislasi Nasional adalah instrumen perencanaan program pembentukan Undang-Undang yang disusun secara berencana, terpadu, dan sistematis (UU No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundangan Pasal 1 Ayat 9).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar