Jumat, 07 Januari 2011

RUU OJK menjadi UU OPJK? dimuat Harian Suara Karya, 25 Oktober 2010

http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=264714

RUU OJK menjadi UU OPJK?
Harry Azhar Azis
Wakil Ketua Komisi XI (Keuangan) dan Anggota Pansus OJK DPR RI

Rancangan Undang Undang Otoritas Jasa Keuangan yang ajuan Pemerintah kini dibahas intensif Pansus DPR. Dalam Rapat kerja Pansus tanggal 20 Oktober lalu, antara DPR dan Pemerintah, disepakati 110 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dari 611 DIM. 95 DIM lain yang bersifat redaksional dan 410 DIM substantif diteruskan pembahasannya oleh Panitia Kerja (Panja) yang Anggotanya setengah jumlah Anggota Pansus mencakup 9 fraksi. Wakil Pemerintah dalam Panja dipimpin Dirjen Bappepam-LK Kementerian Keuangan. 

Rapat Panja tanggal 21 Oktober mulai pembahasan pasal-pasal substantif. Topik pertama adalah nama lembaga. Sebagian fraksi mengusulkan nama sesuai Pasal 34 ayat 1 UU Bank Indonesia, yaitu Lembaga Pengawas Jasa Keuangan (LPJK). Alasannya, nama LPJK menegaskan kata “pengawasan” karena amanatnya funsgi pengawasan perbankan tidak lagi diemban BI. Sebenarnya, bunyi pasal tersebut adalah “lembaga pengawasan sektor jasa keuangan”. Pemerintah bertahan pada nama OJK karena kata “otoritas” mempertegas kewenangan seperti banyak digunakan negara lain dengan nama Financial Supervisory Authority. Sampai tulisan ini dibuat, belum ada kesepakatan soal nama. Mungkin saja nanti terjadi kompromi menjadi Otoritas Pengawas Jasa Keuangan (OPJK), dua kata kunci otoritas dan pengawas diadopsi.

Dari 410 DIM substatif, perdebatan panjang tampaknya akan fokus pada pasal-pasal tentang independensi, organisasi, fungsi, tugas, wewenang dan akuntabilitas serta governansi otoritas ini. Yang lain tentang protokol koordinasi antara otoritas ini dengan Bank Indonesia dan Pemerintah. Bila pasal-pasal tentang pola koordinasi terrumuskan dengan baik, pembahasan tentang pembentukan UU Jaring Pengaman Sektor Keuangan (JPSK), yang Perppunya pernah ditolak DPR, akan lebih mudah. Kekuatiran atas dampak sistemik karena kegagalan pengawasan diharapkan tidak pernah terjadi lagi. Juga, usul Pemerintah tentang pemungutan fee terhadap industri atau pola cost sharing yang berkembang dalam wacana masyarakat harus dibahas hati-hati.

Sesuai bunyi Pasal 34 ayat 2 UU BI, pembentukan otoritas ini dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2010. Tidak ada pilihan lain, Pansus OJK dan Pemerintah bekerja harus ekstra keras memenuhi tenggat waktu itu. Walau perintah pembentukan diundangkan melalui UU 23/1999  dan bunyi perintahnya tidak berubah walau UU 23/1999 diubah menjadi UU 3/2004 tentang BI, RUU dari Pemerintah baru muncul 11 tahun kemudian. Berbagai tafsir politis mengapa RUU ini baru muncul kiranya tidak menghambat proses pembahasan. Kita berharap otoritas ini nanti mampu bekerja lebih baik melindungi nasabah dan mencegah kejahatan jasa keuangan sehingga industri jasa keuangan indonesia makin bermanfaat bagi pembangunan kesejahteraan rakyat.     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar