Selasa, 11 Januari 2011

Stimulus Fiskal, dimuat Harian Suara Karya, 24 Maret 2009



Stimulus Fiskal
Harry Azhar Azis
Wakil Ketua Panitia Anggaran DPR RI

Istilah stimulus fiskal kembali populer sejak Pemerintah pada 23 Februari mengusulkan perubahan APBN 2009 menggunakan Pasal 23 UU Nomor 41 Tahun 1998 tentang APBN 2009. Pasal ini hanya dapat digunakan apabila DPR sepakat dengan Pemerintah mengangap kondisi perekonomian negara dalam keadaan darurat. DPR RI melalui Panitia Anggaran diberi waktu satu hari untuk meresponnya dan akhirnya pada 24 Februari menyetujui usulan tersebut dengan penambahan Rp 2 triliun sehingga jumlah stimulus fiskal menjadi Rp 73,3 triliun. Ternyata sampai tulisan ini dibuat, hampir satu bulan sejak disetujui DPR, implementasi belanja stimulus fiskal itu masih mengalami hambatan dengan berbagai macam alasan. Sebagai pemegang otoritas fiskal, pemerintah memang diberi kewenangan mengusulkan sejumlah belanja fiskal tambahan dan melaksanakannya bila usulan tersebut disetujui DPR sebagai pemegang hak bujet.

Konsep stimulus fiskal sebenarnya terkait dengan paham kebijakan ekonomi yang dianut pemerintah. Tampaknya pemerintah kita percaya bila belanja ditambah, maka perekonomian yang melemah akan bangkit kembali. Paham ini dikenal sebagai keynesian policy, yang memperbesar defisit anggaran. Bagi sebagian penganut paham classical maupun neoclassical economics, konsep stimulus fiskal justru dianggap tidak akan membawa efek positif pada perekonomian. Bagi kelompok ini, apabila stimulus itu dibiayai oleh bertambahnya pinjaman pemerintah di pasar keuangan maka akan terjadi crowding effects yang menambah kelangkaan likuiditas dan akhirnya malah menurunkan kegairahan ekonomi, yang justru bertentangan dengan tujuan awal menerapkan defisit anggaran untuk membangkitkan perekonomian, terutama pada sisi permintaan agregatnya.

Bagi kelompok oposisi, kebijakan stimulus fiskal, lebih-lebih pada tahun menjelang Pemilu biasanya dianggap sebagai cara Pemerintah untuk memperbaiki citra perekonomian yang melemah, baik disebabkan oleh dampak krisis maupun kinerja penyerapan anggaran yang buruk. Karena pilihan kebijakan yang tersedia bagi Pemerintah tidak banyak, apapun citra kebijakan yang muncul, Pemerintah memang seharusnya tetap fokus pada upaya mengatasi dampak krisis secara terukur terutama di bidang ketenagakerjaan, daya saing ekonomi maupun daya beli masyarakat. Lambatnya pelaksanaan stimulus fiskal yang telah disetujui, sebagaimana juga sering terlihat pada pelaksanaan anggaran yang reguler, bukan mustahil menambah masalah baru. Birokrasi pemerintahan, kinerja anggaran dan time lag antara perencanaan, pelaksanaan serta pencapaian sasaran anggaran tampaknya memang harus segera dibenahi.  Kebijakan stimulus fiskal tidak akan banyak berarti bila kinerja anggarannya tidak terukur dan fokus dalam mengatasi masalah riel yang dihadapi, bila pola pembiayaan justru menambah kelangkaan likuiditas ekonomi dan atau bila budaya kerja birokrasi masih memprihatinkan. Budaya kerja yang lebih cepat dengan kualitas kerja yang lebih baik tampaknya memang harus menjadi tema kita bersama lebih-lebih dalam upaya kita mengatasi kondisi krisis perekonomian seperti saat ini. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar