Kamis, 06 Januari 2011

BPHTB dan PBB P2


PENGELOLAAN BPHTB DAN PBB-P2 DI DAERAH
Dalam UU 28 tahun 2009 tentang PDRD
Dr. Harry Azhar Azis, MA.[1]
(2 Desember 2010, Surabaya)


Assalamualaikum wr. wb.
Yth. Dirjen Perimbangan Keuangan,
Yth. Kepala BPN,
Yth. Walikota Surabaya,
Yth. Para Bupati dan Walikota,
Yth. Ketua Tim Asistensi Menkeu Bidang Desentralisasi Fiskal, dan
Para Hadirin yang berbahagia.

Untuk memulai acara pada hari ini, marilah kita panjatkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya, sehingga kita dapat hadir dalam acara diskusi siang ini dalam keadaan sehat jasmani dan rohani serta tidak mengalami kekurangan apapun.

Dengan ditetapkannya Rancangan Undang-Undang tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (RUU PDRD) menjadi Undang Undang (UU) dalam Sidang Paripurna DPR 18 Agustus 2009, selesailah pembahasan selama tiga tahun lebih atas RUU ini sejak dibentuknya Panitia Khusus RUU PDRD pada 14 Juni 2006. RUU yang semula diusulkan pemerintah memuat 18 Bab dan 164 Pasal akhirnya disepakati DPR dan Pemerintah menjadi 18 Bab dan 185 Pasal, yang mengatur jenis pajak dan retribusi yang boleh dipungut pemerintah provinsi, kabupaten dan kota. Dengan sifatnya yang closed list agar tercipta kepastian hukum, Pemerintah Daerah tidak dapat lagi memungut jenis pajak selain yang telah ditentukan dalam UU ini.

Pajak Provinsi menjadi lima jenis, yakni: Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, Pajak Air Permukaan, dan Pajak Rokok. Pajak Rokok adalah pajak baru Provinsi yang dibagihasilkan ke Kabupaten/Kota, yang harus diterapkan pada 1 Januari 2014.
Pajak Kabupaten/Kota disepakati menjadi 11 jenis, yakni Pajak Hotel, Pajak restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, Pajak Parkir, Pajak Air Tanah, Pajak Sarang Burung Walet, Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan; dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. Sementara itu, 30 jenis retribusi disepakati yang dikategorikan 3 kelompok, yakni retribusi jasa umum seperti retribusi parkir di tepi jalan umum dan pelayanan pasar; retribusi jasa usaha seperti retribusi tempat pelelangan dan terminal, dan retribusi perizinan tertentu seperti retribusi izin mendirikan bangunan dan izin trayek angkutan umum.

BPHTB dan PBB-P2
BPHTB mulai 1 Januari 2011, sedangkan PPB Perkotaan dan Pedesaan dimulai paling lambat 31 Desember 2013. Artinya, Pemerintah Kabupaten dan Kota harus sudah menyiapkan Perda agar dapat memiliki dasar hukum dalam pemungutannya. Disisi lain Pemerintah Pusat juga harus sudah mulai menyiapkan Perubahan UU Nomor 12/1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan. Sebagai upaya pajak terutama dalam penguatan pajak pemerintah daerah (local tax empowering), UU PDRD menyediakan ruang yang luas bagi penggalian potensi pajak di daerah. Pengalihan kedua jenis pajak tersebut ke kabupaten/kota merupakan insentif yang besar bagi kemadirian keuangan di daerah. Tarif BPHTB yang ditetapkan paling tinggi sebesar 5% dan tarif PBB-P2 paling tinggi 0,3% memerlukan analisis mendalam dalam pelaksanaanya, yang tentu harus disesuaikan dengan karakteristik dan kemampuan ekonomi penduduk daerah. Artinya, dalam pembuatan Perda harus melibatkan pertimbangan utama mengenai willingness to pay masyarakat dan elastisitas tarif pajak terhadap basis pajak, sehingga tidak terjadi disparitas pajak yang besar antar daerah yang dapat berakibat pada mobilitas sumber daya, yang akhirnya menumpuk di satu daerah tertentu saja. Karakteristik daerah atau wilayah pemukiman tentu berbeda dengan wilayah industri atau perkebunan. Begitu juga, kemampuan penduduk di pusat kegiatan kota, daerah kumuh dan pinggiran tidak dapat disamaratakan.

Pola pengalihan BPHTB dan PBB-P2 ke kabupaten/kota merupakan hal baru dan fumdamental setelah sepuluh tahun otonomi daerah dan Kota Surabaya menjadi salah satu Kota yang telah siap dalam implemetasi kedua jenis pajak daerah tersebut. Kesiapan daerah yang diindikasikan dengan perangkat peraturan maupun dalam hal kesiapan infrastruktur menjadikan indikator utama dalam penilaian kemampuan daerah untuk tumbuh mandiri dan menyejahterakan penduduknya.

Namun demikian, dengan dialihkannya BPHTB dan PBB-P2 ke daerah kabupaten/kota bukan berarti Pemerintah Daerah memiliki diskresi yang seluas-luasnya atas hak tersebut. Konsekuensi dari pengalihan pajak pusat adalah kabupaten/kota harus meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik di daerah sesuai dengan kebutuhannya (local need). Persepsi negatif masyarakat terhadap pengelolaan pertanahan, termasuk tata ruangnya, harus dapat dihilangkan dengan dijalankannya UU PDRD.   

Tabel 1. BPHTB dan PBB APBN tahun 2005 - 2011

Laju penerimaan pajak yang berasal dari PBB dan BPHTB mengalami kenaikkan  setiap tahunnya. Rata-rata kenaikkan laju PBB sebesar 9,8% per tahun dan BPHTB sebesar 20% per tahun. Pada tahun 2011, meskipun di beberapa daerah kabupaten/kota akan diserahkan pengalihan PBB-P2, namun penerimaan PBB kepada pemerintah pusat tetap mengalami kenaikkan 9,3% dibanding tahun 2010. Ditinjau dari kontribusinya terhadap APBN, proporsi PBB maupun BPHTB mengalami penurunan sepanjang tahun 2005 sampai 2011. Artinya, sumber penerimaan APBN dari sektor non PBB dan BPHTB makin besar, bisa saja diartikan pula sources of domestic capacity semakin membaik.

Berdasarkan hal tersebut, jelas bahwa potensi penerimaan pajak dari PBB merupakan sektor yang makin dapat diandalkan bagi penerimaan daerah dan dapat meningkatkan tax ratio daerah. Dari sudut BPHTB, pengalihannya ke daerah akan mengurangi pendapatan pemerintah pusat sebesar Rp 7,1 T. Namun hal tersebut dapat diatasi oleh peningkatan sumber pajak yang lain, seperti PPh dan PPn/PPnBM.

Sebagai bentuk insentif kepada wajib pajak, maka diperlukan peningkatan pelayanan publik terutama dalam pengurusan kepemilikan tanah di daerah. Pelayanan satu atap merupakan pelayanan publik yang ideal bagi masyarakat terutama dalam menarik investor. Peningkatan regulasi mengenai tata ruang juga harus menjadi prioritas pemerintah di daerah, karena menyangkut keseimbangan lingkungan dan permasalahnnya, misalnya banjir dan longsor.   

Tantangan-Tantangan
Terdapat beberapa hal yang menjadi permasalahan dalam pengalihan BPHTB dan PBB-P2 ke kabupaten/kota untuk pengelolaannya. Pertama, belum banyak daerah yang siap dengan Perda yang mengatur tata cara pemungutan dan pengelolaan BPHTB dan PBB-P2. Apakah masa transisi terlalu cepat atau kapasitas daerah yang belum kuat?

Kedua, belum siapnya infrastruktur perangkat daerah terutama mengenai capacity building aparat pemerintah daerah yang terkait. Contoh yang nyata adalah banyaknya SKPD yang memiliki overcapacity pegawai namun kekuarangan tenaga profesional, terutama di bidang teknis keuangan daerah. Untuk daerah-daerah tertentu, tampaknya Kemenkeu harus bisa memetakan dan mengambil alih tanggungjawab dalam  pola peningkatan peningkatan kapasitas institusi daerah di bidang adminitrasi keuangan daerah.

Ketiga, perangkat daerah harus dapat menjangkau kelompok wajib pajak yang selama ini tidak tersentuh oleh DJP. Jangkauan dan kewenangan yang lebih spesifik merupakan pertimbangan utama, termasuk pola insentif dan disinsentif dalam rangka pengembangan kewilayahan di daerah.

Penutup
Dengan berlakunya UU PDRD yang memuat pengalihan PBB ke kabupaten/kota paling lama 31 Desember 2013 dan BPHTB paling lama tanggal 1 Januari 2011, daerah dituntut untuk lebih berkualitas dalam membuat tatanan regulasi yang berkaitan dengan pengelolaan sumber penerimaannya. Dengan berjalannya, waktu keyakinan kapasitas daerah akan terus meningkat cukup menggembirakan. Peluang-peluang yang diciptakan oleh UU PDRD sangat besar dalam menarik investor di daerah. Namun demikian, permasalahan ketimpangan fiskal dan kompetisi fiskal menjadi hal yang tidak dapat dihindari. Namun, daerah yang berhasil akan bergantung pada pola regulasi yang dibentuk dan implementasi yang transparan dan bertanggungjawab. Oleh karena itu, prinsip good governance sangat penting dalam pelaksanaannya dan perlu pemikiran serta koordinasi antar kepala daerah untuk meredam dampak negatif UU PDRD.

Akhir kata, saya ucapkan terima kasih dan semoga acara “Launching Pengalihan BPHTB dan PBB-P2 menjadi inspirasi bagi seluruh kepala daerah kabupaten/kota untuk dapat mengambil alih PBB-P2 sebelum batas waktu yang ditentukan dalam UU PDRD.

Wassalamualaikum, wr. wb.


[1] Ketua Pansus RUU PDRD DPR RI (2004-2009) dan Wakil Ketua Komisi XI DPR RI (2009-2014), PhD Oklahoma State University (2000), lahir Tanjungpinang (1956). Makalah untuk Launching Pengalihan BPHTB dan PBB-P2, “Peluang dan Tantangan Dalam Pengelolaan BPHTB dan PBB P2 oleh Daerah”. 2  Desember 2010, Surabaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar