Rabu, 12 Januari 2011

Pengendalian Inflasi yang lemah miskinkan rakyat, dimuat Harian Bisnis Indonesia, 12 Januari 2011

(Judul di Bisnis Indonesia: Pengendalian Inflasi yang lemah miskinkan rakyat)
Daya Gerus Inflasi: Pemiskinan Rakyat
Harry Azhar Azis
Wakil Ketua Komisi XI (Keuangan Negara) DPR RI

Angka inflasi nasional yang dipublikasi Biro Pusat Statistik (BPS) ternyata lebih rendah dibanding inflasi beberapa daerah. Dari 66 kota basis perhitungan, inflasi umum Indonesia tahun 2010 mencapai 6,96% atau 31% lebih buruk dari target inflasi seperti perintah UU APBNP 2010. Beberapa kota bahkan tingkat inflasinya lebih jelek lagi seperti Sibolga mencapai 11,8% (123% dari target nasional), Mataram 11,1% (110%), Jambi 10,5% (98%), Bandar Lampung 9,9% (87%), Banjarmasin 9,1% (72%) dan Denpasar serta Sorong 8,1% (52%). Bahkan, Batam yang  daerah perdagangan bebas sesuai UU 44/2007 dimana sisi distribusi seharusnya tidak bermasalah ternyata inflasinya juga masih tidak sebagus yang diharapkan yaitu 7,4% (40%). Data ini terungkap dalam Focus Group Discussion diselenggarakan Badan Supervisi Bank Indonesia (BSBI), 6 Januari 2011 lalu, di Batam, Kepulauan Riau.

Bila seorang pekerja berpendapatan tetap yang berprestasi mengalami kenaikan gaji rata-rata sebesar 5% di tahun 2010, dengan besaran inflasi di tahun tersebut, yang terjadi bukan peningkatan kesejahteraan tetapi sebaliknya penuruan daya beli. Ironisnya, kenaikan pendapatan seseorang karena prestasi kerja ternyata harus terpukul kembali oleh inflasi akibat ketidakmampuan negara menekan kenaikan harga-harga. Bahkan, bagi mereka dalam kategori berpendapatan rendah atau miskin situasinya bisa lebih parah. Kelompok miskin umumnya membelanjakan sebagian besar porsi pendapatannya untuk membeli bahan makanan, sisanya baru digunakan untuk kebutuhan hidup lainnya. Dengan inflasi bahan makanan sebesar 15,64% di tahun 2010, lebih dua kali lebih besar dari inflasi umum, sisa porsi pendapatan kelompok ini yang digunakan untuk membeli keperluan hidup selain bahan makanan tentu semakin kecil. Logika ini bisa terus dikembangkan sampai kepada mereka yang tidak bekerja, tidak memiliki pendapatan atau sangat miskin. Bila daya beli pendapatan masyarakat semakin kecil karena inflasi dan membiarkan inflasi terus terjadi tanpa kendali artinya pembiaran proses pemiskinan penduduk secara pasti sedang terjadi. Dan ini tentu bertentangan dengan tujuan terbentuknya negara ini seperti tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu menuju sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bukan pemiskinan rakyat.

Yang menarik, dari kategorisasi barang dan jasa yang terkena inflasi, barang dan jasa yang makin banyak dikonsumsi kelompok menengah dan orang kaya justru  laju inflasinya  lebih rendah dari laju inflasi umum. Sebut saja misalnya, tingkat inflasi kelompok barang-barang sandang 6,51%, kelompok perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar 4,08%, kelompok pendidikan, rekreasi dan olahraga 3,29%, kelompok transportasi, komunikasi dan jasa keuangan 2,69% serta kelompok kesehatan 2,19%. Dari data ini bisa ditafsirkan salah satu atau semua situasi berlaku pada kelompok ini bahwa supply barang dan jasanya masih lebih besar dari pertumbuhan demand-nya, regulasi dan law enforcement lebih baik dan lebih transparan atau struktur pasarnya lebih kompetitif dari struktur pasar kelompok barang dan jasa kebutuhan pokok (bahan makanan) penduduk.

Penjelasan Bank Indonesia (BI) dan atau Pemerintah sangat tidak memadai bahwa inflasi terjadi karena cuaca buruk dan atau bencana, pedagang ambil untung besar atau imbas gejolak perekonomian dunia. Cuaca buruk atau bencana tentu dapat diprediksi dengan persediaan stock, merelaksasi regulasi produksi dan distribusi perdagangan atau memperbesar belanja infrastruktur sehingga meningkat kualitas konektivitas jalur produksi dan konsumsi antar daerah serta secara nasional. Imbas kenaikan harga di dunia internasional tidak cukup signifikan sebagai alasan karena nilai rupiah justru menguat pada akhir-akhir ini dan memiliki daya tekan terhadap kemungkinan tingkat inflasi yang lebih parah. Era demokrasi yang sedang kita bangun ini memang makin  meningkatkan kualitas rasional masyarakat sehingga penjelasan yang dibutuhkan justru harusnya lebih substantif seperti dari segi perencanaan program, koordinasi, sinkronisasi dan implementasi kebijakan yang belum fokus mengatasi laju inflasi. Bila benar pedagang mengambil keuntungan besar yang menyebabkan inflasi tinggi, seperti kasus harga cabai merah yang melonjak, berarti seperti sebuah pengakuan bahwa struktur pasar yang terbentuk adalah tidak sehat karena dikuasai sekelompok pedagang. Karena itu, adalah tugas pemerintah untuk menyehatkannya sehingga pada tahun-tahun berikutnya tidak perlu lagi alasan seperti ini.

Tugas menjaga nilai rupiah sudah jelas diamanatkan kepada BI selaku pemegang mandat Pasal 7 UU 3/2004 tentang BI. Rumusan tugas dijelaskan pasal 8 huruf a UU tersebut, yakni menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter. Karena masalah inflasi tidak dapat ditangani BI saja, Pasal 21 UU 17/2003 tentang Keuangan Negara juga memerintahkan agar Pemerintah (fiskal) dan BI (moneter) saling berkoordinasi ketat dalam penetapan dan pelaksanaa kebijakan fiskal dan moneter, terasuk di antaranya kebijakan mengendalikan inflasi. Walau kedua UU ini tidak secara tegas mengatur pola pembagian tanggungjawab bila terjadi kegagalan mencapai dan atau memelihara kestabilan nilai rupiah tampaknya tidak ada pilihan lain hal ini harus dilakukan agar masing-masing otoritas makin fokus pada kebijakan yang terkoordinasikan.

BI cenderung berpendapat bahwa inflasi inti (core inflation) layak menjadi wilayah tanggungjawabnya. Inflasi inti adalah hasil perhitungan inflasi dengan mengeluarkan faktor-faktor volatile food prices seperti bahan makanan atau makanan dan enerji sehingga connected dengan kebijakan inflation targeting framework.  Sementara itu, Pemerintah disamping berkoordinasi dengan BI, juga berkoordinasi dengan penanggunjawab sektoral terkait di pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun daerah. Kebijakan adimistered priced seperti menaikkan harga BBM atau tarif dasr listrik relatif lebih well-established karena biasanya diputuskan dalam sidang kabinet yang dihadiri semua pejabat kementerian sektoral. Tetapi untuk kebijakan pengendalian harga barang, yang terbentuk dari komponen supply, distribusi dan demand, yang masuk dalam kategori volatile food prices seperti beras, gula, minyak goreng, cabai merah, bawang merah dan seterusnya belum tentu dibahas secara intersektoral dalam kabinet.

Disamping koordinasi sektoral, koordinasi fokus pada daerah-daerah yang potensi tingkat inflasi tinggi juga harus dilakukan. BI telah membentuk Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID), yang semestinya di dukung pemerintah daerah, tetapi juga selayaknya  melibatkan  penanggungjawab kebijakan sektoral di pemerintah pusat. Tingkat inflasi tinggi dan berbeda di beberapa daerah merefleksikan bukan saja karakteristik perekonomian tetapi juga kemampuan pejabat daerah/pusat mengendalikan gejolak inflasi. Bentuk program yang disusun dan didukung anggaran dan regulasi daerah serta pusat untuk memerangi faktor-faktor penyebab inflasi di daerah tersebut layak dilakukan. Dengan pemahaman dan fokus kebijakan seperti ini, mengkombinasikan kebijakan sektoral dan kewilayahan secara tepat, inflasi yang terjadi pada barang-jasa tertentu dan daerah-daerah tertentu dapat dikendalikan dan ditekan secara lebih sistematis. Rakyat harus diyakinkan dengan kebijakan program yang terkoordinasi dan tepat, bukan dengan alasan-alasan.  Inflasi harus serius diperangi dan tidak boleh lagi dibiarkan mengambil daya beli masyarakat, apalagi memiskinkannya, karena bertentangan dengan UUD 1945 yang justru menghendaki kemakmuran rakyat yang adil dan merata..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar