Selasa, 11 Januari 2011

Stimulus Fiskal atau Tambahan Belanja? dimuat Harian Suara Karya, 14 Januari 2010



Stimulus atau Tambahan Belanja?
Harry Azhar Azis
Ketua Badan Anggaran DPR RI

Awal pelaksanaan APBN 2010 tampaknya tidak jauh berbeda dengan APBN 2009. Pasal 23 UU Nomor 41 Tahun 2008 tentang APBN 2009 membolehkan Pemerintah mengajukan usulan perubahan APBN dengan alasan mengatasi krisis. Pada 23 Februari 2009, Pemerintah mengusulkan perubahan itu yang dikenal dengan nama stimulus fiskal. Besaran stimulus ajuan Pemerintah sebesar Rp 71,3 triliun akhirnya disetujui DPR menjadi Rp 73,3 triliun. Tetapi dari angka itu, hanya Rp 12,2 triliun yang dapat dikategorikan sebagai belanja modal atau infrastruktur, selebihnya digunakan untuk subsidi dan insentif pajak yang ditanggung pemerintah (DTP).

Mengingat pentingnya peran stimulus fiskal untuk memperkecil dampak krisis bagi kehidupan masyarakat, tugas pengelolaan belanja stimulus harus dilakukan dengan penuh tanggungjawab. DPR dan Pemerintah sepakat menerapkan prinsip “punishment” bagi kementerian/lembaga (K/L) termasuk provinsi dan kabupaten/kota yang gagal melaksanakan tugas stimulus fiskal 2009. Prinsip sanksi ini dituangkan dalam Pasal 14 UU Nomor 47 Tahun 2009 tentang APBN 2010. Sesuai bunyi Pasal 14 ayat (6) UU APBN 2010, pada 26 Februari 2010, Menteri Keuangan ditugaskan untuk menyelesaikan bentuk sanksi bagi mereka yang gagal melaksanakan stimulus, yang kemudian menjadi bahan bagi pembahasan pada perubahan APBN dan/atau APBN-Perubahan 2010.    

Seperti pada APBN 2009, melalui (juga) Pasal 23 UU APBN 2010, DPR kembali “bermurah hati” kepada Pemerintah memberi peluang tambahan belanja maksimal 2% dari belanja negara untuk belanja prioritas. Dalam APBN 2010 tidak disebut tambahan belanja itu adalah stimulus, yang di tahun 2009 alasan utamanya adalah krisis. Jika Pemerintah berniat menggunakan Pasal 23 ini, tambahan yang tersedia Rp 20,9 triliun atau 2% dari total belanja negara APBN 2010 Rp 1047,6 triliun. Bila disepakati Badan Anggaran DPR, dengan sisa anggaran lebih tahun 2009 sekitar Rp 38 triliun, bila Rp 20 triliun dipergunakan untuk tambahan belanja prioritas, Rp 18 triliun harus disimpan dalam cadangan APBN yang dikaji lagi penggunaannya pada APBN-Perubahan pada pertengahan tahun nanti. Dengan pola ini, asumsi makro ekonomi dan defisit tidak berubah, tetapi total belanja secara riel bertambah menjadi Rp 1068,6 triliun.

Secara teoritis, bila belanja prioritas bertambah, apalagi bila terukur untuk “public investment” dan/atau “welfare spending”, Pemerintah harus pula mampu menyusun target perekonomian dan kesejahteraan yang bertambah baik dibanding kondisi sebelum belanja bertambah. Agar efektif, prinsip “punsihment” harus terus diterapkan dan diperbaiki bila terjadi kegagalan kinerja, dan prinsip “reward” harus makin tegas diberikan bagi K//L, provinsi dan kabupaten/kota yang berkinerja baik. Bila kinerja anggaran ini menjadi budaya baru birokrasi, kita percaya bahwa tambahan anggaran tidak lagi untuk kemewahan pejabat, tetapi untuk menambah kemakmuran rakyat. Tidak pantas anggaran terus bertambah bila kesejahteraan justru makin jauh dirasakan rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar