Kamis, 06 Januari 2011

Jalan Buntu RUU OJK?

Jalan Buntu RUU OJK?

Harry Azhar Azis

Wakil Ketua Komisi XI dan Anggota Pansus RUU OJK DPR RI

Harapan Rancangan Undang Undang Otoritas Jasa Keuangan (RUU OJK) disahkan menjadi UU selambat-lambatnya 31 Desember 2010, sesuai amanat Pasal 34 ayat 2 UU 3/2004 tentang Bank Indonesia (BI), ternyata tidak terpenuhi. Pemerintah dan DPR tidak mampu menyelesaikan sesuai tenggat waktu 17 Desember batas akhir Masa Persidangan II Tahun Sidang 2010-2011. RUU ini baru resmi diajukan Pemerintah 17 Juni 2010, setelah 11 tahun dimandatkan UU 23/1999 tentang BI dan dilanjutkan UU 3/2004. Apakah setelah reses DPR yang berakhir 9 Januari 2011, pembahasan RUU ini diteruskan? Tentu, karena Pasal 35 UU 3/2004 menyatakan sepanjang lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud Pasal 34 ayat 1 belum terbentuk, tugas pengaturan dan pengawasan bank dilaksanakan oleh Bank Indonesia. Pasal 34 ayat 1 menyatakan tugas mengawasi bank akan dilaksanakan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan UU.

Sejak pembahasan RUU masuk ke tingkat Panja, yang terdiri dari setengah Anggota pansus RUU, perdebatan antara Pemerintah dan DPR relatif berjalan lancar. Misalnya, disepakati lembaga ini bernama OJK yang intinya bertujuan memelihara kesehatan industri jasa keuangan, melindungi konsumen dan mencegah kejahatan industri jasa keuangan. Tugas pokok OJK adalah mengawasi semua sektor jasa keuangan seperti bank, pasar modal dan industri keuangan nonbank. Dengan demikian, tugas pengawasan bank yang kini masih di BI dan tugas pengawasan industri pasar modal serta jasa keuangan lainnya yang diemban Bappepam-LK dialihkan ke OJK. Juga disepakati paling lama enam bulan sejak RUU ini diundangkan, Ketua dan Anggota DK harus sudah terbentuk dan langsung memimpin proses transisi yang melibatkan BI dan Kementerian keuangan sebagi wakil Pemerintah. Kedua institusi negara ini diwajibkan membantu DK OJK sehingga proses peralihan berjalan lancar, terbuka dan bertanggungjawab. Panja RUU memberi catatan khusus agar proses peralihan pegawai yang kini bekerja di BI dan Bappepam-LK dilakukan dengan memperhatikan aspek sukarela, fairness, merit system dan track record sehingga OJK diisi kaum profesional memiliki kompetensi dan moralitas tinggi. Untuk itu, sistem kepegawaian OJK disesuaikan pola industri jasa keuangan yang biaya operasionalnya dibebankan APBN dengan standar biaya khusus. Bila diperlukan, industri jasa keuangan tertentu dapat dipungut biaya tertentu yang diatur melalui Peraturan Pemerintah.

Selama proses transisi nanti, Bank Indonesia dan Bappepam-LK tetap menjalankan tugasnya seperti biasa sampai 31 Desember 2012. Semua izin dan/atau regulasi yang telah dikeluarkan kedua lembaga tersebut tetap berlaku sampai ditentukan kemudian oleh DK OJK yang berfungsi penuh menjalankan tugas dan wewenangnya mulai 1 Januari 2013. Bahkan, dalam rangka mengantisipasi dan mencegah kemungkinan krisis global berdampak kepada perekonomian Indonesia ketika UU Jaringan Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) belum terbentuk, Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Lembaga penjamin Simpanan (LPS) dan OJK wajib segera berkoordinasi dalam forum stabilitas sistem keuangan, dimana prosedur dan tata cara koordinasi forum ditentukan bersama keempat lembaga ini. Bila keputusan forum dalam rangka mencegah dan mengatasi krisis melibatkan keuangan negara, keputusan itu wajib dilaporkan kepada DPR dan dalam waktu 2 x 24 jam setelah laporan itu diterima, DPR wajib menetapkan apakah menyetujui keputusan forum tersebut. RUU ini memang tidak mengambil kewenangan RUU JPSK yang masuk dalam Program Legislasi Nasional tetapi karena ketentuan tentang ini juga melibatkan OJK, ketentuan ini akhirnya disepakati Pemerintah dan DPR.

Semua materi pokok RUU disepakati Pemerintah dan DPR kecuali Dewan Komisioner (DK). OJK seperti perintah Pasal 34 ayat 1 harus bersifat independen. Penjelasan UU 3/2004 atas Pasal ini menegaskan dalam menjalankan tugasnya, OJK “harus” bersifat independen dan kedudukannya berada di luar pemerintah. Inilah titik perbedaan pandangan antara Pemerintah dan (sebagian) fraksi DPR. Pemerintah menganggap dengan pola dua Anggota ex officio, yang mewakili Pemerintah dan Bank Indonesia, dalam komposisi keanggotaan DK, OJK masih dapat disebut independen. Sementara fraksi-fraksi DPR berpendapat dengan pola ex officio dalam sistem keanggotaan DK yang bersifat kolektif dan kelegial itu justru melanggar prinsip independensi OJK dan tidak dapat lagi lembaga ini disebut kedudukannya di luar pemerintah sesuai amanat Pasal 34 ayat 1 UU 3/2004, yang justru digunakan Pemerintah sebagai rujukan hukum penyusunan RUU ini. Pada saat-saat akhir pembahasan, rapat resmi dan lobi Panja, disepakati masalah ini sementara waktu diendapkan masing-masing pihak mencari solusi terbaik. Selama Pemerintah menggunakan tafsir lain untuk rumusan DK OJK dikuatirkan tercipta UU yang saling bertentangan. Kemungkinan lain, Pemerintah segera saja ajukan amandemen UU 3/2004 tentang BI dan bersamaan ajukan RUU OJK versi baru yang tidak merujuk ke Pasal 34 ayat 1 ini. Kita harus memperkuat harmonisasi sistem perundang-undangan agar tidak memperbesar wilayah abu-abu yang sering dimanfaatkan pelaku kejahatan industri jasa keuangan dan merugikan rakyat. Jalan buntu pembahasan RUU OJK memang harus diterobos dengan bijak!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar